Menuju konten utama

INDEF: Janji Capres Swasembada Energi Dalam 5 Tahun Tak Realistis

INDEF menilai janji kedua pasangan capres-cawapres mewujudkan swasembada energi dalam lima tahun tidak realistis. Menekan defisit perdagangan migas justru lebih mungkin diwujudkan.

INDEF: Janji Capres Swasembada Energi Dalam 5 Tahun Tak Realistis
Capres nomor urut 01 Joko Widodo (kanan) bersalaman dengan capres no urut 02 Prabowo Subianto sebelum mengikuti Debat Pertama Capres & Cawapres 2019, di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (17/1/2019). ANTARA FOTO/Setneg-Agus Suparto/foc.

tirto.id - Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai janji kedua pasangan capres-cawapres di Pilpres 2019 mewujudkan swasembada energi dalam lima tahun tidak realistis.

Direktur Program INDEF Berly Martawardaya menilai target swasembada energi dalam lima tahun ke depan sulit tercapai karena Indonesia masih menghadapi banyak masalah di sektor ini.

"Apakah bisa swasembada energi dalam 5 tahun? Saya kira enggak ya," kata dia dalam konferensi pers INDEF di ITS Tower, Jakarta pada Kamis (14/2/2019).

Di antara masalah sektor energi saat ini adalah defisit perdagangan migas yang sudah terjadi sejak lama. Dia berpendapat sebaiknya kedua capres-cawapres berfokus menyelesaikan masalah penting seperti defisit migas. Apalagi, produksi migas RI masih jauh di bawah angka kebutuhan.

"Target-targetnya perlu yang lebih realistis. Paling enggak bisa mempersempit defisit migas yang terus melebar sejak 2009. Ini menantang tapi realistis," kata Berly.

Dia menjelaskan defisit migas yang terjadi menahun perlu segera diatasi. Sebab, kondisi tersebut terus memicu pelebaran defisit neraca perdagangan. Defisit neraca transaksi berjalan pun makin besar karena impor migas dan non-migas sulit dikurangi.

Persoalan ini, menurut Berly, dapat terus mangganggu stabilitas perekonomian Indonesia jika tidak segera ditangani. Apalagi, tren defisit migas terus melebar di era pemerintahan Presiden Joko Widodo.

"Selama defisit ini tidak dikurangi, maka ekonomi kita akan rentan terhadap fluktuasi. Kita akan bergantung pada modal asing yang masuk ke Indonesia dan kalau investor enggak masuk, ya bahaya," ujar Berly.

Menurut Berly, perhatian para calon presiden seharusnya tertuju untuk menahan laju menurunnya cadangan minyak Indonesia, terutama nilai lifting migas yang sudah turun jauh di angka 500-600 barel per hari.

Dia mengatakan kondisi ini tidak lepas dari lesunya eksplorasi ladang minyak baru akibat investasi blok migas di Indonesia tidak menarik.

"Kalau enggak ada yang dicari, ya enggak bisa eksplorasi, jadi enggak bisa produksi. Kemarin saja [tahun 2018] dari 34 [blok migas] yang laku cuma 6," ucap Berly.

Pilihan lainnya, kata dia, presiden terpilih dapat bertempur melawan konsumsi BBM yang terus meningkat sejalan dengan melonjaknya jumlah kendaraan bermotor di tahun 2017 menjadi sebanyak 137 juta, dari 20 juta unit pada 2003.

Hal itu menurutnya dapat dilakukan dengan mendorong peralihan penggunaan kendaraan pribadi ke transportasi publik. Disamping itu, jika presiden terpilih mampu menggenjot realisasi mobil listrik dan sumber energi terbarukan lainnya, persoalan defisit migas dapat diatasi.

"Sekarang antara kita kurangi jumlah kendaraan atau jangan pakai lagi BBM fosil," ucap Berly.

Pembahasan mengenai energi menjadi salah satu topik yang akan dibahas oleh Jokowi dan Prabowo Subianto dalam Debat Pilpres 2019 tahap kedua, 17 Februari mendatang.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Addi M Idhom