Menuju konten utama

INDEF: Fintech Mampu Naikkan PDB Sekitar Rp25,97 Triliun per Tahun

Ekonom INDEF menyebut fintech di Indonesia mampu meningkatkan PDB setiap tahunnya sekitar Rp25,97 triliun.

INDEF: Fintech Mampu Naikkan PDB Sekitar Rp25,97 Triliun per Tahun
Ilustrasi. Andry Huzain, COO Tunaikita (tengah) bersama Kepala Perizinan dan Pengawasan Teknologi Finansial OJK Alvin Taulu, Deputy Komisioner Pengawas IKNB Anggar B. Nurani dan Dirut LPDB Braman Setyo di acara OJK Fintech Day, Medan, Kamis (22/3/2018). Foto/Rilis OJK.

tirto.id - Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) bersama dengan Asosiasi Fintech lndonesia (AFTECH) mengkaji keberadaan Financial Technology (FinTech) telah mampu meningkatkan perekonomian lndonesia secara makro. Saat ini, ada 66 FinTech yang sudah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Ekonom INDEF, Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan Fintech di Indonesia mampu meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) setiap tahunnya sekitar Rp25,97 triliun, baik secara langsung maupun tidak langsung. Lalu, konsumsi rumah tangga mampu meningkat hingga Rp8,94 triliun setiap tahunnya.

Di sisi dunia usaha, FinTech dapat menarik kompensasi tenaga kerja baik berbentuk gaji dan upah mampu meningkat sebesar Rp4,56 triliun. Sektor yang mengalami kenaikan adalah sektor perdagangan, keuangan, dan asuransi.

“Ketiga sektor ini mempunyai peran langsung dalam pengembangan Fintech," ujar Bhima di Jakarta pada Selasa (28/8/2018).

Selain itu, kehadiran Fintech juga mampu menyumbang penyerapan tenaga kerja sebesar 215.433 orang yang tidak hanya dari sektor-sektor tersier. Namun sektor primer, seperti pertanian, juga mengalami penyerapan tenaga kerja yang cukup besar, yaitu 9.000 orang.

Pada 2018, penyaluran kredit Fintech menembus Rp7,64 triliun dan banyak disalurkan kepada sektor perdagangan dan pertanian. “Selain itu, investasi di Fintech di Indonesia mencapai Rp5,69 triliun yang didapatkan dari porsi pembentukan PDB lndonesia dikalikan dengan jumlah investasi Fintech Dunia” ucapnya.

Menurutnya, layanan Fintech berhasil menjangkau sektor-sektor yang saat ini belum tersentuh oleh penyedia layanan keuangan yang ada seperti perbankan. Jadi, sifatnya bukanlah subsitusi perbankan melainkan pelengkap dari jasa keuangan yang sudah ada.

Hal ini, ditunjukkan oleh rasio penyaluran kredit terhadap PDB yang masih berada di angka 39,1 persen (World Bank, 2015). Lebih dalam lagi, pelayanan kredit bagi UMKM bahkan masih sangat rendah.

"Bhima mengatakan bahwa porsi kredit UMKM terhadap total kredit stagnan di kisaran angka 20-22 persen. Di sisi lain, hanya ada setengah penduduk dewasa yang memiliki rekening di bank. Angka-angka tersebut menunjukkan pelayanan perbankan terutama di segmen pelayanan kredit masih sangat rendah tingkat penetrasinya," ungkapnya.

Direktur Asosiasi FinTech Indonesia, Ajisatria Suleiman merekomendasi untuk pemerintah memperkuat peran Fintech, maka diperlukan kebijakan yang mampu menekan biaya akusisi nasabah, meminimalisasi risiko fraud, dan juga dapat melindungi konsumen beritikad baik.

“Ke depannya kami berharap risiko fraud dari nasabah palsu dan risiko gagal bayar dapat diminimalisasi dengan penguatan akses identitas berbasis biometrik, dan juga akses ke layanan biro kredit," ujar Ajisatria.

Saat ini, sudah ada pengaturan di OJK terkait elektronik Know Your Customer (e-KYC) dan informasi kredit. Sehingga, yang dibutuhkan adalah implementasi di level teknisnya, terutama yang bersifat lintas kementerian, seperti contohnya antara Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo).

Baca juga artikel terkait FINTECH atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Bisnis
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Maya Saputri