Menuju konten utama
Transportasi Publik

Impor KRL Bekas Ditolak, Bagaimana Dampaknya ke Layanan KCI?

Opsi retrofit tidak tepat lantaran membutuhkan proses waktu yang cukup panjang.

Impor KRL Bekas Ditolak, Bagaimana Dampaknya ke Layanan KCI?
Penumpang kereta rel listrik (KRL) commuter line menunggu kereta di Stasiun Tanah Abang, Jakarta, Selasa (9/6/2020). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/hp.

tirto.id - Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) telah menyelesaikan hasil reviu rencana impor kereta rel listrik (KRL) dari Jepang pada akhir Maret 2023. Hasilnya, BPKP tidak merekomendasikan PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) untuk melakukan impor tersebut.

Dari hasil reviu BPKP, setidaknya terdapat empat hal menjadi pertimbangan utama tidak direkomendasikannya impor KRL. Pertama, BPKP menilai rencana impor KRL bukan baru tidak mendukung pengembangan industri perkeretaapian nasional yang berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 175 Tahun 2015 tentang Standar Spesifikasi Teknis Kereta Kecepatan Normal dengan Penggerak Sendiri.

Dalam peraturan tersebut, ditetapkan persyaratan umum pengadaan sarana kereta kecepatan normal dengan penggerak sendiri termasuk KRL ini harus memenuhi spesifikasi teknis. Di mana salah satunya adalah mengutamakan produk dalam negeri.

Kedua, Kementerian Perdagangan juga sudah memberikan tanggapan terkait dengan permohonan dispensasi impor KRL dalam keadaan tidak baru yang menyatakan tidak dapat dipertimbangkan. Hal ini karena fokus pemerintah yaitu pada peningkatan produksi dalam negeri dan substitusi impor melalui program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN).

Ketiga, KRL bukan baru yang akan diimpor dari Jepang tidak memenuhi kriteria sebagai barang modal bukan baru yang dapat diimpor. Ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri Perdagangan yang mengatur kebijakan dan pengaturan impor.

Terakhir, BPKP juga melihat jumlah KRL yang beroperasi saat ini masih terdapat 1.114 unit. Jumlah ini tidak termasuk 48 unit yang aktiva tetap diberhentikan dari operasi dan 36 unit yang dikonversi sementara.

"Saat ini tidak direkomendasikan untuk melakukan impor," kata Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves, Septian Hario Seto dalam konferensi pers, di Kantornya, Jakarta, Kamis (6/4/2023).

Sebagai solusi pengganti impor, Seto justru meminta kepada PT KCI agar segera melakukan retrofit atau penambahan teknologi fitur baru pada sistem rangkaian kereta lama. Hal ini perlu dilakukan untuk memenuhi ketersedian KRL yang beroperasi di lapangan.

“Jadi, pertama, review pola operasi untuk tetap bisa dioptimalkan lagi. Dan kedua, review sistem perawatan menjamin keselamatan dan keandalan sarana, khususnya pada teknologi-teknologi yang memang sudah tua,” ujar dia.

Seto berharap pemesanan untuk retrofit bisa dilakukan lebih awal. Karena perbandingannya, pengadaan melalui impor maupun retrofit akan sama-sama membutuhkan waktu paling tidak hingga 2024.

“Jadi kalau retrofit ini bisa dilakukan pemesanannya dari sekarang, harusnya 2024 kita bisa melihat beberapa hasil retrofit ini datang,” katanya.

Untuk menjaga keberlangsungan layanan publik, PT KCI juga diminta melakukan proses retrofit dan pengadaan kereta baru dari produksi dalam negeri secara paralel. Terlebih sejauh ini pemerintah belum merekomendasikan pengadaan KRL bekas melalui impor.

So far kita akan berpegang pada rekomendasi dari BPKP. Tapi nanti mungkin rencananya akan diadakan rapat yang dipimpin Pak Menko (Luhut Binsar Pandjaitan) langsung terkait dengan rencana retrofit dan optimalisasi pola operasinya. Mungkin minggu depan,” jelasnya.

Padahal impor kereta bekas dilakukan KCI sebetulnya mendesak untuk mengganti rangkaian kereta yang akan dipensiunkan. PT KCI sendiri akan mempensiunkan sebanyak 29 rangkaian kereta rel listrik hingga 2024. Rinciannya: 10 kereta akan pensiun pada 2023 dan 19 kereta pada 2024.

“Impor kereta bukan baru, memang menjadi pilihan utama untuk menggantikan kereta-kereta yang dikonservasi,” ujar Vice President Corporate Secretary KCI, Anne Purba dalam keterangannya beberapa waktu lalu.

KEMENPERIN TOLAK IMPOR KRL JABODETABEK

KRL Commuter Line melintas di Stasiun Manggarai, Jakarta, Selasa (28/2/2023).ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/nym.

Retrofit Perlu Biaya Mahal

Ketua Institut Studi Transportasi (Instran), Darmaningtyas menyatakan, pilihan retrofit bukan menjadi salah satu solusi tepat untuk mengatasi persoalan KRL. Sebab opsi ini akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan akan membebankan keuangan KCI.

"Retrofit itu biayanya mahal dan itu akan berdampak pada tarif," kata dia kepada reporter Tirto.

Sementara pemerintah sendiri, sampai hari ini tidak mau menaikkan tarif KRL. Tarif KRL menurut Darmaningtyas sejak 2016 tidak mengalami perubahan. Padahal inflasi naik terus dan harga barang-barang lain juga naik.

"Di sisi lain pemerintah juga tidak nambah Public Service Obligation (PSO)," jelasnya.

Direktur Eksekutif Instran, Deddy Herlambang menambahkan, opsi retrofit tidak tepat lantaran membutuhkan proses waktu yang cukup panjang. Karena belum tentu suku cadang penggantian KRL tersebut masih ada, mengingat Jepang sendiri sudah tidak lagi produksi KRL.

“Kita perlukan, kan, beberapa hari atau bulan untuk mengganti KRL. Kalau semisal retrofit, retrofit itu kan berarti kereta lama diambil, terus baru nunggu setahun onderdil dan suku cadang. Terus kereta KRL yang pensiun mau diganti pakai apa?” katanya.

Untuk menutup kebutuhan tersebut, maka salah satu solusinya adalah impor KRL bekas. Karena untuk membeli KRL baru buatan INKA pun membutuhkan waktu kurang lebih dua tahun.

Pada 9 Maret 2023, KAI bersama anak usahanya PT KCI memang resmi menandatangani kontrak kerja sama dengan PT INKA (Persero) untuk pembelian 16 rangkaian KRL. Namun rangkaian kereta baru tersebut tersedia pada 2025-2026.

"Yang kita perlukan, kan, untuk mengisi kekosongan kereta yang sudah uzur yang mau diganti. Bagaimana solusinya?” kata Deddy.

Peneliti di Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Muhammad Andri Perdana memandang, opsi retrofit ini sangat tidak bijaksana dari teknis. Sebab rangkaian KRL milik KAI yang akan dipensiunkan ini usianya lebih dari 50 tahun, yang mana tidak terbayangkan jika dipaksakan untuk kembali dilakukan retrofit.

Andri juga mengamini pembelian sparepart saja akan sangat sulit karena tahun pembuatannya yang sudah primitif (beberapa KRL ini tahun pembuatannya 1969). Apalagi jika mempertimbangkan aspek keselamatan dan kualitas teknologi yang sudah tidak layak.

Lagi pula, kata Andri, proses retrofit juga akan membutuhkan waktu setidaknya satu tahun, sehingga tidak akan bisa menjawab urgensi kebutuhan yang melebihi kapasitas saat ini.

“Jadi jika pemerintah memutuskan untuk membatalkan impor KRL yang saat ini sebenarnya saat ini sangat dibutuhkan bagi publik, maka kita patut mempertanyakan seberapa besar keseriusan pemerintah kita untuk berpihak pada kepentingan publik," jelasnya.

Kekacauan Terhadap Layanan KCI

Di sisi lain, Darmaningtyas mengaku tidak mempersoalkan impor KRL bekas tidak diperbolehkan oleh pemerintah. Akan tetapi, dia meminta pemerintah tidak lepas tangan jika kemudian dampaknya bisa kepada layanan KCI.

"Yang penting para pengambil kebijakan siap kalau nanti ada kekacauan di layanan KCI karena keterbatasan sarana," tegasnya.

Pengamat Kebijakan Publik, Agus Pambagio justru mempertanyakan nasib ratusan ribu penumpang akibat impor KRL bekas ditolak. Sebab dengan ditolaknya impor KRL ini, maka dipastikan tidak akan ada tambahan armada untuk memenuhi ketersediaan di lapangan.

“Lalu bagaimana nasib 200.000 penumpang per hari yang nantinya tidak terangkut KRL Jabodetabek," kata dia.

Muhammad Andri Perdana menambahkan, jika pemerintah memutuskan untuk batal mengimpor KRL di saat jumlah penumpang telah melebihi kapasitas saat ini, dampaknya hampir bisa dipastikan akan mendorong masyarakat untuk kembali bergantung pada kendaraan pribadi.

"Ini biaya tidak langsungnya bisa sangat besar, mulai dari meningkatnya emisi karbon, konsumsi BBM subsidi, bertambahnya kemacetan, dan semakin dialihkannya sumber daya pembangunan kita untuk melayani kendaraan pribadi," katanya saat dihubungi Tirto.

Menurut Andri, kondisi di atas sebenarnya perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Apalagi jika melihat perkembangan urgensi perubahan iklim kedepannya, maka biaya dari emisi karbon dan ketergantungan terhadap BBM ini bisa akan sangat di luar perkiraan kita saat ini.

"Di saat negara-negara maju berlomba-lomba mendorong masyarakatnya untuk segera beralih ke transportasi publik, jangan sampai negara kita justru kembali mengambil kebijakan yang menambah ketergantungan masyarakat pada kendaraan pribadi," jelasnya.

Dia juga mengingatkan kepada pemerintah bahwa menyediakan transportasi publik yang layak pada dasarnya bukan bisnis, namun merupakan PSO yang diamanatkan oleh UUD Pasal 34 ayat 3. Jadi sudah sewajarnya jika negara mengutamakan ketersediaan transportasi publik yang layak bahkan jika secara bisnis sekalipun kurang menguntungkan.

Baca juga artikel terkait KRL atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz