Menuju konten utama

Imbas Putusan MA soal Syarat Remisi Bikin Koruptor Kian Tak Jera

Imbas putusan MA terhadap PP 99/2012 dinilai tidak akan membuat koruptor jera.

Imbas Putusan MA soal Syarat Remisi Bikin Koruptor Kian Tak Jera
Ilustrasi korupsi. FOTO/ Getty Images.

tirto.id - Narapidana koruptor, Otto Cornelius (OC) Kaligis telah bebas dalam waktu yang relatif cepat. Ia mendapatkan cuti menjelang bebas (CMB) pada 15 Maret 2022.

OC Kaligis menjadi terpidana kasus suap hakim dan panitera Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan. KPK menahan OC sejak Juli 2015. Mestinya ia baru bebas pada Juli 2022.

Menurut Kepala Lapas Sukamiskin, Elly Yuzar, OC Kaligis masih dalam pengawasan Balai Pemasyarakatan (Bapas) Bandung. Namun OC Kaligis tak berkewajiban mendatangi kembali Lapas Sukamiskin dan ia tidak dilarang bepergian ke luar kota.

Sementara itu, Kepala Bagian Humas Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham, Rika Aprianti mengatakan OC Kaligis belum bebas murni.

“[OC Kaligis bebas murni] 6 Mei 2022,” ujar Rika kepada wartawan pada 19 Maret 2022.

OC Kaligis sebelumnya dinyatakan bersalah melanggar Pasal 6 ayat 1 huruf a UU Nomor 31 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.

Ia menyuap Tripeni Irianto Putro selaku Ketua Majelis Hakim PTUN Medan sebesar 5 ribu dolar Singapura dan 15 ribu dolar AS.

Selain itu, OC Kaligis juga terbukti menyuap dua anggota majelis hakim, Dermawan Ginting dan Amir Fauzi masing-masing 5 ribu dolar AS. Aliran dana suap juga mengalir ke Syamsir Yusfan selaku Panitera PTUN Medan sebesar 2 ribu dolar AS. Total suap kasus OC Kaligis mencapai 27 ribu dolar AS dan 5 ribu dolar Singapura.

Hal tersebut imbas dari putusan Mahkamah Agung mengabulkan uji materiel Peraturan Pemerintah (PP) 99/2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan.

Sejumlah pasal dicabut, semisal pasal Justice Collaborator (JC) pada Pasal 34A ayat (1) huruf a dan ayat (3) dan Pasal 43A ayat (1) huruf a dan ayat (3). Sehingga, seorang narapidana koruptor, terorisme, narkotika, kejahatan terhadap keamanan negara, dan kejahatan HAM berat tidak perlu menjadi JC hanya untuk mendapat remisi.

Lalu putusan MA direspons Kemenkumham dengan menerbitkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 7 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menkumham Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimiliasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.

Napi Koruptor Makin Tidak Jera

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Fakultas Hukum UGM, Zaenur Rohman menilai putusan MA terhadap PP 99/2012 tidak akan membuat koruptor jera. Sebab, para koruptor akan menakar jumlah remisi yang mereka dapatkan dengan mudah.

“Terpidana korupsi itu idealnya di dalam lembaga pemasyarakatan, mungkin hanya menjalani kurang dari 2/3 masa hukuman. Karena mendapatkan banyak potongan,” ujar Zaenur kepada Tirto, Senin (21/3/2022).

Zaenur menyayangkan sikap MA yang terkesan inkonsistensi dalam upaya pemberantasan korupsi. Sebab, putusan MA Nomor 28P/HUM/2021 bertentangan dengan putusan Nomor 51 P/HUM/2013. MA mengatakan korupsi itu bentuk kejahatan yang berbeda dengan karakter kejahatan lainnya, kata Zaenur. Sehingga butuh persyaratan tambahan dalam pemberian remisi.

“Sekarang dihapus, syarat-syarat remisi itu. Kejahatan korupsi bukan kejahatan luar biasa dan sama saja dengan kejahatan lainnya,” ujar Zaenur.

Diskon Hukuman Koruptor Preseden Buruk Pemberantasan Korupsi

Fenomena terpidana korupsi mendapatkan diskon hukuman akan menjadi preseden buruk bagi pemberantasan korupsi di Indonesia. Terlebih lagi, upaya pemulihan aset belum berjalan optimal. Karena pengembalian keuangan negara selama ini sangat susah.

“Pengembalian keuangan negara tak bisa diandalkan karena susah mengejar harta hasil korupsi,” ujar Zaenur.

Dalam catatan pengembalian aset (asset recovery), KPK telah mengembalikan Rp107 miliar ke negara pada 2014, Rp193 miliar pada 2015, Rp335 pada 2016, Rp342 miliar pada 2017, Rp600 miliar pada 2018, Rp468 miliar pada 2019, Rp294 miliar pada 2020, dan Rp374 miliar pada 2021.

Sementara itu, mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM sekaligus Guru Besar Hukum Tata Negara, Denny Indrayana menilai putusan MA terhadap PP 99/2012 menjadi indikator bahwa rezim Presiden Joko Widodo tidak serius terhadap pemberantasan korupsi.

Apalagi sebelumnya masyarakat disuguhkan oleh perubahan UU KPK yang membuat lembaga tersebut seperti tak bertaji dan banjir diskon hukuman yang diberikan oleh Mahkamah Agung kepada para terpidana koruptor.

“Saya melihat rezim sekarang tidak lagi menganggap tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Tapi kembali menjadi kejahatan yang biasa-biasa saja,” ujarnya kepada Tirto, Senin.

Menurut Denny, cara untuk memulihkan kembali pemberantasan korupsi di Indonesia ialah dengan penyegaran perspektif; salah satunya mesti ditempuh dengan cara mengganti rezim yang berkuasa sekarang. Sulit mengubah keadaan kalau cara pandang rezmim berteman mesra dengan koruptor, ujar Denny.

“Mesti ada pergantian rezim melalui pemilu. Pemilu 2024 harus dipastikan dilaksanakan dan tidak ditunda,” tukasnya.

Baca juga artikel terkait KORUPSI atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Maya Saputri