Menuju konten utama

Ilmuwan Cina Rekayasa DNA Bayi untuk Cegah HIV, Etiskah?

Keberhasilan He Jiankui mengedit embrio manusia dibayangi tudingan pelanggaran etika ilmiah.

Ilmuwan Cina Rekayasa DNA Bayi untuk Cegah HIV, Etiskah?
Peneliti Cina He Jiankui Klaim Berhasil 'Ciptakan' Bayi Pertama Hasil Rekayasa DNA. AP Photo/Mark Schiefelbein

tirto.id - Ilmuwan Cina He Jiankui mengklaim telah berhasil merekayasa DNA bayi. Klaim itu jelas bikin geger publik. Pasalnya, kendati jadi lompatan besar dalam sains, penerapan rekayasa genetika pada manusia dianggap bermasalah secara etika, bahkan dilarang.

"Dua gadis Cina kecil yang cantik, bernama Lulu dan Nana (bukan nama sebenarnya), lahir dan menangis ke dunia, sama sehatnya dengan bayi lain beberapa minggu yang lalu," katanya dalam sebuah video yang diunggah di YouTube Minggu lalu (25/11/2018). "Kini, gadis-gadis itu telah pulang ke rumah bersama ibu mereka, Grace, dan ayahnya, Mark."

Dalam video itu, Jiankui sekaligus menerangkan tahapan kerjanya. Dua bayi kembar itu dilahirkan melalui fertilisasi in-vitro (IVF) atau bayi tabung. Perbedaannya dengan metode bayi tabung biasanya adalah proses modifikasi embrio oleh para peneliti sebelum embrio itu dimasukkan ke rahim Grace.

Saat Nana dan Lulu masih berupa sel tunggal para peneliti menyuntikkan protein dan “instruksi operasi gen” untuk memodifikasi gennya. Proses ini menyingkirkan gen yang berpotensi jadi pintu masuk infeksi HIV. Beberapa hari kemudian, sebelum memasukkan embrio Lulu dan Nana ke rahim Grace, tim Jiankui memeriksa perkembangan proses pengeditan gen itu.

Hasilnya menunjukkan keberhasilan operasi sesuai rencana. Kehamilan Grace normal. Meski begitu, tim Jiankui tetap memantau perkembangannya secara ketat dengan peralatan ultrasound dan tes darah. Setelah lahir, tim kembali memastikan keselarasan seluruh genom Lulu dan Nana.

“Ini membuktikan operasi gen ini aman, tidak ada gen yang diubah kecuali yang mencegah infeksi HIV. Gadis-gadis itu aman dan sehat seperti bayi lainnya,” ujar He Jiankui.

Sebelum sampai pada lompatan besar ini, peneliti dari Southern University of Science and Technology of China ini telah bereksperimen dengan embrio tikus dan monyet selama beberapa tahun. Pada tahap selanjutnya, ia dan timnya memodifikasi embrio tujuh pasangan yang identitasnya dirahasiakan. Grace adalah hasil operasinya yang berhasil.

Tujuan operasi ini, jelas He Jiankui, bukan untuk menyembuhkan atau mencegah penyakit turunan, tetapi untuk memberikan sifat unik pada Nana dan Lulu, yakni kemampuan melawan kemungkinan infeksi HIV.

Perlu diketahui, Mark adalah pengidap AIDS. Memiliki anak yang akan mewarisi penyakitnya dalah masalah besar bagi Mark dan Grace. Terlebih lagi, menurut Jiankui, orang-orang seperti Mark di negara-negara berkembang sering mengalami diskriminasi. Jiankui mengaku itulah dorongan terbesarnya untuk melakukan rekayasa genetik terhadap embrio Nana dan Lulu.

"Saya merasakan tanggung jawab besar, bukan hanya karena ini proses yang pertama, tapi juga bakal jadi sebuah contoh. Biar masyarakat yang memutuskan apa yang harus dilakukan selanjutnya (dalam hal mengizinkan atau melarang sains semacam itu)," katanya kepada Associated Press (AP).

Pekerjaan yang Dirahasiakan

Pada Senin (26/11/2018), sebelum dimulainya International Conference on Genome Editing di Hongkong, Jiankui mengumumkan hasil kerjanya lagi kepada publik. Dari situlah kontroversi mengemuka karena para peneliti yang hadir dalam konferensi itu mengecam pekerjaan Jiankui. Mereka menilai tindakan Jiankui melanggar kode etik ilmiah dan tak bertanggungjawab.

Persoalan kian pelik karena pekerjaan itu dilakukan Jiankui secara rahasia. Juru bicara Jiankui mengatakan bahwa dia telah cuti mengajar sejak awal tahun ini untuk memulai eksperimennya. Ia juga dibantu oleh Michael Deem, profesor fisika dan bioteknologi Universitas Rice di AS.

Jiankui merekrut pasangan yang menginginkan anak melalui metode bayi tabung dan bersedia diedit gen embrionya melalui Baihualin, kelompok advokasi pengidap AIDS yang berbasis di Beijing. Para pasangan orangtua yang terlibat menolak identitas mereka dipublikasikan atau diwawancarai. He Jiankui juga tak buka suara terkait lokasi ekperimen.

Yang jadi masalah adalah tak ada publikasi resmi dari He Jiankui soal kapan ia memulai eksperimen pengeditan gen manusia itu. Registrasi uji klinisnya baru diajukan pada 8 November. Pengakuannya beberapa hari lalu pun adalah publikasi pertamanya tentang eksperimen ini.

Karena para peserta eksperimen dirahasiakan, sulit mengonfirmasi apakah mereka memahami risiko dan manfaatnya. Laporan AP juga menyebut bahwa dalam formulir persetujuan peserta ekperimen ini disebut sebagai program "pengembangan vaksin AIDS".

Hal lain yang membikin eksperimen ini kian dikecam adalah kenyataan bahwa Jiankui dan Michael Deem adalah ahli fisika yang tak punya pengalaman menjalankan eksperimen klinis pada manusia. Ketika Jiankui buka suara, hasil eksperimen ini belum pernah dipublikasikan dalam jurnal ilmiah mana pun. Akibatnya, tak ada peneliti lain yang bisa menguji metode dan hasil eksperimen itu.

Ketertutupan He Jiankui atas eksperimennya ini mengecewakan sebagian ilmuwan.

“Ilmu pengetahuan terbuka, sains bersifat kolaboratif dan komunikatif,” kata Feng Zhang, salah satu penemu sistem CRISPR-Cas9 dan anggota inti MIT Broad Institute, AS, usai presentasi He Jiankui dalam konferensi rekayasa genetika. “Apa yang dia lakukan tidak transparan. Itu bertentangan dengan konsensus komunitas ilmuwan.”

Akan tetapi, sebelum segala tudingan miring diarahkan padanya, He Jiankui sudah mengatakan dalam videonya bahwa ia telah memahami bila pekerjaannya akan mengundang kontroversi. Di sisi lain, ia juga mengatakan "banyak keluarga membutuhkan teknologi ini" dan bahwa dirinya "bersedia menerima kritik".

Infografik Eugenika

Perdebatan Panjang

He Jiankui menggunakan metode CRISPR-cas9 untuk mengedit DNA embrio Lulu dan Nana. Sederhananya, CRISPR (Clusters of Regularly Interspaced Short Palindromic Repeats) adalah metode mengedit susunan DNA. Sedangkan Cas9 adalah protein yang digunakan untuk memotong utas DNA yang hendak diedit.

Ada tiga tahapan penyuntingan gen menggunakan CRISPR. Pertama, ilmuwan mesti tahu secara spesifik bagian DNA yang hendak diganti. Lantas, tahap kedua ialah mengirimkan Cas9 untuk mencari letaknya. Setelah ketemu, Cas9 akan memotong bagian DNA itu dan menyambung bagian yang terpotong dengan pengulangan DNA.

Dalam dunia bioteknologi, metode CRISPR-Cas9 adalah metode yang sudah jamak digunakan.

Ilmuwan biasa menggunakan metode ini untuk melakukan eksperimen seluler di laboratorium. Metode yang sama juga diterapkan untuk memproduksi tanaman pangan dan ternak unggul. Penerapan metode ini pada manusia sifatnya sangat eksperimental. Dalam kasus He Jiankui, metode CRISPR-Cas9 digunakan untuk mengedit gen CCR5 dalam utas DNA agar lebih resisten terhadap HIV.

Karena sifat eksperimental tersebut, ilmuwan belum sepenuhnya tahu dampak jangka panjang dari metode pengeditan DNA ini bagi manusia. Terlebih lagi, seturut artikel lanjutan dari AP, perubahan gen dalam sperma, ovum, atau embrio bersifat permanen dan menurun ke generasi selanjutnya.

Dr. Kiran Musunuru, pandit rekayasa genetika Universitas Pennsylvania dan salah satu pengkritik He Jiankui, mengemukakan masih ada banyak virus baru yang bisa mengancam manusia, bahkan jika rekayasa terhadap gen CCR5 itu sukses dilakukan. Lagipula, kini ada banyak cara untuk mencegah infeksi HIV.

Menyadari resiko yang belum terpahami itu, Akademi Sains, Teknik, dan Kedokteran Nasional AS pada 2017 menetapkan bahwa metode pengeditan gen dibenarkan secara etis hanya untuk penelitian laboratorium. Di luar laboratorium, rekayasa genetik pada manusia hanya diizinkan untuk mengobati atau mencegah penyakit serius yang tak punya alternatif penyembuhan lain. Sementara itu, pemerintah Cina melarang kloning manusia tetapi tidak secara khusus mengatur tentang rekayasa genetika.

Kelemahan-kelemahan itu sebenarnya bukan hambatan, mengingat kemajuan teknologi yang pesat. Bukan tak mungkin dalam beberapa tahun ke depan para ilmuwan mampu menemukan solusinya. Jadi, sejatinya, hal utama yang memagari penerapan rekayasa genetika adalah etika ilmiah. Dan etika itulah, menurut para pengkritiknya, yang tak dipenuhi oleh He Jiankui.

Baca juga artikel terkait REKAYASA DNA atau tulisan lainnya dari Fadrik Aziz Firdausi

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Windu Jusuf