Menuju konten utama

Ilhan Omar: Perempuan Berjilbab dari Somalia Lawan Donald Trump

Serangan Trump terhadap Ilhan Omar dinilai sebagai ancaman besar dalam demokrasi Amerika Serikat.

Ilhan Omar: Perempuan Berjilbab dari Somalia Lawan Donald Trump
Ilhan Omar memperkenalkan Zero Waste Act yang akan membuat program hibah federal untuk membantu pemerintah daerah berinvestasi dalam inisiatif pengurangan limbah, di Capitol di Washington, Kamis, 25 Juli 2019. AP Photo / J. Scott Applewhite

tirto.id - Ilhan Omar bukanlah orang Amerika Serikat biasa. Perempuan berkulit hitam yang mengenakan jilbab ini adalah anggota parlemen Amerika Serikat. Namun, dengan segala status minoritas yang disandangnya, hal ironis terjadi: Omar disebut rasis.

Laporan Vox menyebut tuduhan itu bermula dari sebuah video yang diunggah oleh Molly Prince, salah seorang jurnalis politik dari situs berita sayap kanan Daily Caller. Sumber dari cuitan Prince tersebut adalah video sesat itu adalah Christian Broadcasting Network (CBN) yang mengutip rekaman wawancara Omar dengan Al Jazeera pada 2018 secara tak utuh.

Dalam tanya-jawab tersebut, pembawa acara Mehdi Hasan mengajukan pertanyaan terkait menjadi muslim di Amerika. Hasan bertanya soal kaum muslim yang cenderung menjadi teroris, hal yang sering menjadi pembenaran bagi kaum konservatif untuk menjadi islamofobia.

Omar menjawab cukup panjang. Intinya, ia mengatakan bahwa kematian paling banyak disebabkan oleh pria kulit putih, bukan oleh kelompok ras lain dan muslim.

“Saya akan mengatakan [bahwa] negara kita harus lebih takut kepada pria kulit putih di seluruh negara kita, karena mereka sebenarnya yang menyebabkan kematian terbesar di negara ini. Dan jika ketakutan menjadi kekuatan pendorong kebijakan untuk menjaga Amerika agar tetap aman, warga Amerika yang aman di dalam negara ini, kita harus membuat profil, melakukan pemantauan, dan membuat kebijakan untuk melawan radikalisasi pria kulit putih.”

Namun, Prince memangkas video tersebut sehingga yang tersisa dari jawaban Omar terdengar seperti kalimat berbau rasis. “Saya akan mengatakan bahwa negara kita harus lebih takut terhadap pria kulit putih di seluruh negara kita, karena mereka sebenarnya yang menyebabkan kematian terbesar di negara ini.”

Setelah itu, Prince memparafrasa kalimat itu dalam cuitannya: “Ilhan Omar berpendapat bahwa Amerika ‘harus lebih takut terhadap pria kulit putih’."

Unggahan Prince itu di-retweet oleh Marco Rubio, seorang senator senior konservatif di Amerika Serikat. Ia mengecam pernyataan “rasis” dari Omar dan mengklaim bahwa media akan melakukan hal serupa.

Video yang diunggah Prince tentu menjadi kontroversi. Selama ini, Ilhan Omar besama tiga anggota kongres perempuan lainnya—Alexandria Ocasio-Cortez dari New York, Ayanna Pressley dari Massachusetts, dan Rashida Tlaib dari Michigan—dianggap sebagai musuh besar Trump. Mereka semua perempuan, mereka semua memiliki kulit berwarna. Namun, di antara keempat orang tersebut, Omar-lah yang paling sering menjadi sasaran Trump, karena ia tidak lahir di Amerika Serikat.

Kabur dari Somalia ke Amerika Serikat

Perempuan kelahiran 4 Oktober 1981 ini berasal dari Somalia. Omar dan keluarganya kabur akibat perang saudara di sana ketika ia berusia delapan tahun. Namun, saat meninggalkan Somalia pada 1991, mereka tidak langsung ke Amerika Serikat.

Menurut laporan The Guardian, Omar beserta 6 kakaknya, ayah, serta kakeknya sempat menetap selama empat tahun di kamp Utango di dekat Kota Mombasa, Kenya. Di kamp tersebut, Omar mengambil kursus pendidikan agama dan belajar Alquran. Akhirnya, Omar beserta keluarganya meninggalkan Afrika pada 1995 dan menetap di lingkungan Cedar-Riverside, Minneapolis pada 1997.

Kepada The New Yorker, Omar bercerita bahwa ia terlahir dari keluarga kaya dan terkemuka di Mogadishu. Ia beruntung, meskipun lingkungan mereka sangat konservatif, kakeknya adalah orang yang liberal.

“Tidak ada norma gender yang benar-benar diperbolehkan di keluarga kami,” ujar Omar kepada The New Yorker. “Dia [kakek Omar] juga tidak suka hierarki. Kami makan dan menonton TV bersama setiap malam. Kami diizinkan duduk bersama untuk berdebat. Kami dapat mengajukan pertanyaan,” tambahnya.

Cerita Masa Lalu jadi Modal Politik

Cedar-Riverside, tempat Omar tinggal di Amerika Serikat, adalah pusat komunitas besar Afrika Timur. Mulanya, Omar bekerja di bidang pendidikan, kemudian meniti karier politiknya sebagai tim kampanye pencalonan anggota dewan kota dan asistan kebijakan senior untuk seorang politikus Minnesota, Andrew Johnson. Karier politik Omar menanjak setelah ia memenangi pemilihan legislatif di negara bagian tersebut pada 2016, tepatnya di malam yang sama dengan kemenangan Donald Trump.

Karier politik Omar sangat menonjol. Ia berhasil menggulingkan petahana, Phyllis Kahn, yang telah menduduki kursi itu selama 44 tahun. Ia bergabung bersama Minnesota Democratic-Farmer-Labor Party. Partai ini berafiliasi dengan Partai Demokrat Amerika Serikat.

“Seorang gadis pengungsi datang ke sini dan mencapai impian di Amerika,” ujar salah satu pendukungnya, seorang pengungsi Somalia bernama Awmam Mahdi kepada BBC.

“Saya pikir itu sangat positif untuk semua imigran,” ujar penduduk Ohio, yang menyebut Omar sebagai panutan, kepada BBC.

Delapan belas bulan kemudian, ibu dari tiga anak ini mencoba peruntungan dengan mencalonkan diri sebagai anggota kongres Amerika Serikat mewakili Distrik 5 Minnesota. Omar maju berbekal pengalaman pahitnya di masa lalu, sebagai seorang pengungsi dan korban perang, serta pernikahan sirinya di masa lalu.

Manajer kampanyenya, Joelle Stangler, mengatakan bahwa pengalaman Omar membuat ia nekat untuk maju ke Kongres. “Orang-orang akan membencimu karena identitasmu, apa pun yang terjadi. Tidak ada alasan untuk meredam posisinya. Anda akan mengatakan kebenaran itu,” ujar Strangler, seperti dilansir The New Yorker.

Dalam kampanyenya, Omar getol menyuarakan hak-hak para imigran dan mengutuk Perang Gaza.

“Saya punya PTSD, seperti tembakan dan amunisi dan bom,” ujarnya kepada The New Yorker. “Kenangan saya di masa lalu, setiap kenangan tidak bahagia yang saya miliki, sangat menggema di otak seperti suara dari mortir yang jatuh—suara bising yang dihasilkan saat ia lepas landas dan suara bising selanjutnya yang muncul saat ia mendarat di dekat Anda,” tambahnya.

Omar mengungkapkan bahwa kenangan itu membuat dirinya merenung tentang nasib orang-orang di daerah konflik. Berada dalam situasi tersebut membuat orang harus memilih, apakah akan tinggal diam tapi dibayangi kehancuran atau mencari perlindungan yang aman.

Diusir oleh Pendukung Trump, Omar Woles

Akibat video wawancara Al Jazeera dengan Omar yang dipelintir tersebut, para pendukung Trump terus menyanyikan “Send Her Back!”, menuntut Trump mengembalikan Omar ke negara asalnya.

Menurut berita BBC, Trump berusaha menghentikan pendukungnya atas nyanyian tersebut. Ia juga mengungkapkan bahwa dirinya tak setuju dengan tuntutan itu.

“Saya tidak senang dengan itu. Saya tidak setuju dengan itu,” ungkap Trump.

Namun, cek fakta yang dilakukan Washington Post menunjukkan bahwa pernyataan Trump palsu. Nyatanya, Trump telah menggulirkan cuitan di akun Twitternya untuk meminta kepada Omar dan tiga orang anggota parlemen perempuan kulit berwarna itu untuk kembali ke negara mereka.

Setelah itu, Trump pun terus menyebut nama Omar dan menghujani dia dengan beragam kritik saat pendukung Trump meneriakan “Send Her Back!”.

Infografik Ilham Omar

Infografik Ilham Omar. tirto.id/Nadya

Menjawab nyanyian para pendukung Trump tersebut, Ilhan Omar mengatakan ia tak mau ambil pusing. “Setiap orang yang berada di negara ini, yang bercita-cita untuk menjadi bagian dari Amerika memahami bahwa tidak ada yang tak ada ungkapan presiden yang harus diambil hati,” kata Omar, seperti dikutip BBC.

“Ketika dia memuntahkan ideologi fasisnya di atas panggung, meminta warga AS untuk kembali karena tak setuju dengan kebijakannya yang merugikan bagi negara kita, kami memberitahu masyarakat bahwa perbedaan pendapat adalah hal patriotik di Amerika Serikat, negara ini terbuka terhadap perdebatan,” tuturnya lagi.

Melalui opininya yang dimuat The New York Times, Omar mengungkapkan bahwa rally presiden akan menjadi momen yang menentukan dalam sejarah Amerika Serikat, sebab negara itu mulai bersiap dengan pertarungan presiden.

“Bahwa pertarungan ini bukan hanya tentang gagasan kebijakan; itu adalah perjuangan untuk jiwa bangsa kita. Cita-cita di jantung pendiri kami—perlindungan yang setara di bawah hukum, pluralisme, kebebasan beragama—sedang diserang, dan itu semua tergantung kita untuk mempertahankannya,” ungkap Omar.

Baca juga artikel terkait AMERIKA SERIKAT atau tulisan lainnya dari Widia Primastika

tirto.id - Politik
Penulis: Widia Primastika
Editor: Maulida Sri Handayani