Menuju konten utama

Ikut Demo di Usia 10 Tahun, Remaja Saudi Divonis Hukuman Mati

Murtaja Quereiris terancam diganjar hukuman mati karena ikut dalam aksi unjuk rasa damai saat berusia 10 tahun.

Ikut Demo di Usia 10 Tahun, Remaja Saudi Divonis Hukuman Mati
Seorang anggota Penjaga Kehormatan ditutupi oleh bendera Arab Saudi ketika Menteri Pertahanan Jim Mattis menyambut Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman ke Pentagon dengan Honor Cordon, di Kementerian Dalam Negeri Washington Saudi Arabia mengatakan pada hari Selasa, 23 April 2019, bahwa 37 warga negara Saudi telah dipenggal dalam eksekusi massal yang terjadi di berbagai daerah di negara ini. Raja Saudi Salman meratifikasi eksekusi untuk kejahatan terkait terorisme dengan dekrit kerajaan. (AP Photo/Cliff Owen, File)

tirto.id - Di usianya yang ke-18, remaja Arab Saudi bernama Murtaja Quereiris harus menghadapi ancaman hukuman mati atas kesalahan yang dituduhkan bahkan ketika ia masih berusia 10 tahun. Tak sekedar dibinasakan dengan cara dipancung, jaksa penuntut umum memerintahkan agar jasad Quereiris disalib lalu dimutilasi sebagai bentuk hukuman paling berat.

Bila hukuman mati benar-benar terealisasi, keputusan Saudi bakal menjadi salah satu pelanggaran atas perlindungan hukum paling mengerikan bagi anak-anak sedunia.

Apa sebenarnya kesalahan Quereiris sehingga dijatuhi vonis seberat itu?

Merujuk laporan khusus CNN yang digarap Muhammad Darwish, Tamara Qiblawi, dan Ghazi Balkiz, Quereiris terlibat dalam unjuk rasa damai yang dilakukan minoritas Syiah di Provinsi Timur Arab Saudi.

Video eksklusif yang diterima CNN menunjukkan bagaimana Murtaja Quereiris yang saat itu berusia 10 tahun memimpin iring-iringan sekitar 30 anak-anak sebaya yang semuanya naik sepeda. Quereiris tampak berada di tengah barisan terdepan. Dengan memakai setelan jins denim dan sandal jepit hitam, ia sempat menyeringai di hadapan kamera.

Beberapa saat setelah itu, Qureiris menghilang ditelan konvoi anak-anak yang mulai berangkat. Suara lantang Qureiris kemudian terdengar ketika ia mengangkat megafon dan mengatakan, “Orang-orang menuntut hak asasi manusia!” teriaknya.

Tiga tahun setelah kejadian yang terekam dalam video, otoritas Saudi meringkus Qureiris yang saat itu baru berusia 13 tahun. Dia ditangkap oleh otoritas perbatasan Saudi di jalan lintas Raja Fahd saat akan bepergian bersama keluarganya ke Bahrain. Waktu itu, Qureiris disebut-sebut oleh pengacara dan aktivis sebagai tahanan politik termuda di Arab Saudi.

Setelah ditahan hampir empat tahun, Qureiris menghadapi ancaman hukuman mati di usianya yang genap 18 tahun. Usia pertanggungjawaban pidana di Saudi sebenarnya tidak jelas. Tetapi pada 2006, kerajaan Saudi mengatakan kepada Komite Hak Anak bahwa mereka menaikkan batas termuda penahanan menjadi 12 tahun.

Dalam perkembangannya, Qureiris didera banyak tuduhan yang memberatkan hukuman. Ia didakwa telah melemparkan bom molotov ke kantor polisi di kota Aawamiya, Saudi timur, saat iring-iringan pemakaman Ali Qureris lewat. Ali Qureiris adalah abang Murtaja. Ia seorang aktivis yang dibunuh aparat Saudi dalam sebuah demonstrasi pada 2011.

Murtaja Qureiris berusia 11 tahun ketika abangnya meninggal. Dalam video pemakaman yang didapat CNN, para pelayat meneriakkan slogan-slogan anti-pemerintah ketika prosesi itu mengisi sebuah jalan. Tampak pula sang ayah, Abdullah Qureiris, mencium kening Ali sebelum jenazah putranya diarak lautan pelayat.

Perkara Qureiris ditangani oleh pengadilan terorisme. Jaksa penuntut menuduhnya sebagai bagian dari kelompok teroris yang menembaki pasukan keamanan. Qureiris membantah tuduhan tersebut dan mengatakan bahwa ia mengaku di bawah tekanan.

Kelompok Kerja PBB untuk Penahanan Sewenang-wenang yang telah mengendus nasib Qureiris sejak 2016 turut percaya bahwa anak di bawah umur itu telah disiksa agar bisa mengakui segala tuntutan kesalahan yang ditambah-tambahkan oleh otoritas Saudi. Penahanan tersebut dinilai PBB telah melanggar norma-norma internasional.

Direktur Riset Amnesty International untuk Timur Tengah, Lynn Maalouf sangat terkejut oleh vonis Qureiris.

"Pihak berwenang Arab Saudi memiliki rekam jejak mengerikan menggunakan hukuman mati sebagai senjata untuk menghancurkan perbedaan pendapat politik dan menghukum demonstran anti-pemerintah - termasuk anak-anak - dari negara yang menganiaya minoritas Syiah", ujar Maalouf.

Nasib Suram Syiah Saudi di Tangan MBS

Apa yang dilakukan Qureiris saat ia masih berusia 10 tahun adalah sebuah unjuk rasa “wajar” selama Musim Semi Arab. Musim Semi Arab atau Arab Spring adalah serangkaian arus gerakan massa di negeri-negeri Timur Tengah menuntut demokratisasi, jaminan atas hak asasi manusia, perbaikan ekonomi, serta pemberantasan korupsi, dan penghapusan sektarianisme.

Di Saudi, protes terkonsentrasi di provinsi Timur, tempat para minoritas Syiah bermukim. Meskipun populasinya hanya 15 persen atau 25 juta jiwa, Syiah menjadi kelompok mayoritas di kota-kota utama seperti Qatif, Dammam, dan al-Hasa yang juga merupakan ladang minyak Saudi.

Infografik Pedang saudi bagi oposisi

Infografik Pedang saudi bagi oposisi. tirto.id/Nadya

Pemerintah Saudi merespons aksi protes dengan keras. Ratusan pengunjuk rasa ditangkap dan belasan terbunuh dari pihak Syiah. Pemerintah segera memobilisasi pemuka agama untuk memfatwa haram protes terhadap penguasa. Pesan singkat anti-protes yang berisi ancaman denda besar, pencabutan kewarganegaraan, hingga deportasi, turut beredar luas, dilansir dari Guardian.

Saudi dan Iran tegang dalam beberapa tahun terakhir. Selain perang sipil di Suriah, kedua negara juga terlibat perang sipil di Yaman. Belakangan, Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud dan putra mahkota Mohammed bin Salman (MBS) semakin sering membungkam para pengkritik pemerintah, khususnya dari kaum Syiah di Saudi.

Pada April 2019, misalnya, Washington Post melaporkan bahwa Saudi mengeksekusi mati 37 orang yang dianggap terlibat aksi terorisme. Ini adalah eksekusi massal terbesar di Arab Saudi sejak awal 2016 ketika 47 orang dihukum mati. Jumlah orang yang dieksekusi mati mencapai 110 orang dalam lima bulan pertama tahun 2019. Sebagian besar dari 37 orang yang dieksekusi adalah anggota minoritas Muslim Syiah. Setidaknya ada tiga orang di bawah umur yang dituduh melakukan kejahatan.

Otoritas kerajaan pun terus terlibat bentrok dengan kelompok Syiah di Qatif sejak 2017. Pada Februari 2018, MBS tiba-tiba mulai membangun kembali kota Awamiyah di Qatif yang hancur lebur akibat konflik antara pasukan Saudi dengan kelompok Syiah.

Dilansir dari Economist, dalam waktu enam bulan, jalanan baru, pusat perbelanjaan, dan rumah sakit kecil berdiri. Selain pembangunan di bidang infrastruktur, MBS juga menunjuk menteri kabinet Syiah pertama di Saudi. Kata-kata yang menjurus ke narasi anti-Syiah dihapus dari buku pelajaran sekolah hingga jaringan televisi.

Mengapa MBS cepat berbalik arah? Tak lain untuk meredam separatisme di provinsi Timur dan menjauhkan pengaruh Iran dari kawasan tersebut.

Orang-orang Syiah yang diuntungkan oleh restorasi Awamiyah memuji MBS. Namun, pembangunan keembali Awamiyah bukannya tanpa kritik. Kebun sawit ikut diratakan, pasar tradisional diubah menjadi alun-alun dan pertokoan, warga dan pengunjung yang memasuki Awamiyah harus melewati beberapa pos pemeriksaan, mobil aparat lapis baja kerap wara-wiri di kota.

Jika dulu Raja Abdullah bin Abdulaziz Al Saud masih mau berdialog dengan para tokoh Syiah di negaranya, tak demikian bagi MBS. Semua perubahan datang dari keputusannya sendiri. Dia menolak untuk berdialog dengan pemberontak Awamiyah.

Baca juga artikel terkait ARAB SAUDI atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Hukum
Penulis: Tony Firman
Editor: Tony Firman