Menuju konten utama

Ikonoklasme: Cara Taliban Balas Sanksi PBB & Beberkan Hipokrisinya

Peledakan patung Buddha di Bamiyan adalah tindakan ikonoklasme Taliban untuk membalas sanksi PBB.

Patung Buddha Bamiyan tertinggi di dunia, setinggi 180 kaki, terlihat di Bamiyan, Afghanistan. FOTO/ AP

tirto.id - Pada November 1999, Afghanistan menerima sanksi ekonomi dan aviasi dari Dewan Keamanan PBB. Sanksi itu ditujukan untuk membatasi ruang gerak kelompok militan Taliban. Langkah itu juga merupakan upaya komunitas internasional untuk menghentikan jalur pendanaan serta penyaluran senjata bagi kelompok teroris Al-Qaeda yang operasinya dibantu oleh Taliban.

Sebagaimana diuraikan dalam laporan Office of the UN Coordinator for Afghanistan (2000), sanksi ekonomi tersebut berlaku untuk semua entitas yang “dimiliki atau dikontrol, secara langsung maupun taklangsung” (owned or controlled, directly or indirectly) oleh Taliban. Ketentuan itu rupanya berdampak lebih luas daripada prediksi PBB karena Taliban menguasai hampir semua organ pemerintah sejak 1996.

Kala sektor esensial milik negara seperti perusahaan air bersih, listrik, dan fasilitas publik lainnya ambruk gara-gara sanksi itu, rakyat Afghanistan pun ikut terseret ke jurang krisis.

Laporan Office of the UN Coordinator for Afghanistan menunjukkan memburuknya situasi karena rakyat Afghanistan masih juga berhadapan dengan perang, bencana kekeringan, serta kekacauan sosio-politik di saat yang sama. Lain itu, sanksi aviasi berdampak pada kemampuan Afghanistan untuk mengimpor produk-produk pangan, sandang, dan papan yang tak bisa dipenuhi dari pasokan dalam negeri. Organisasi kemanusiaan pun sulit masuk ke Afghanistan akibat sanksi PBB itu.

Di tengah kondisi serba buruk itu, pada 26 Januari 2001, pemimpin Taliban Mullah Omar mengeluarkan dekret yang merevisi pandangan Taliban atas situs-situs Kekayaan Kultural Dunia yang ada di Afghanistan. Taliban kini tak lagi mendukung pelestarian situs-situs itu.

“Mengingat fatwa ulama terkemuka Afghanistan dan putusan Mahkamah Agung Afghanistan, telah diputuskan untuk merobohkan semua patung/berhala di berbagai bagian Afghanistan. Hal ini dilakukan karena berhala-berhala ini adalah dewa orang-orang kafir yang menyembah mereka, dan sekarang ini dihormati dan mungkin bisa diubah menjadi dewa lagi. Tuhan yang sesungguhnya hanyalah Allah, dan semua tuhan palsu lainnya harus disingkirkan,” demikian isi sebagian dekret itu.

Dekret Mullah Omar itu tentu saja menghebohkan komunitas internasional. Pasalnya, Afghanistan adalah rumah bagi patung-patung Buddha bergaya Helenistik yang langka di Lembah Bamiyan. Patung-patung Buddha raksasa yang tingginya berkisar antara 37 dan 55 meter itu telah dikukuhkan UNESCO sebagai situ Warisan Kultural Dunia. Jadi, ia bukan hanya situs penting bagi umat Buddha, melainkan juga untuk komunitas internasional.

Patung Buddha di Lembah Bamiyan

J.C. Harle dalam studi berjudul The Art and Architecture of the Indian Subcontinent (1994) menyebut patung Buddha Bamiyan itu unik dan hanya satu-satunya di dunia. Ia juga menjadi tengara eksplisit adanya akulturasi budaya Eropa dan Asia yang terjadi sekira abad ke-6. Di situs Bamiyan, sang Buddha digambarkan mengenakan toga (pakaian khas dewa-dewi Yunani kuno) dan dipahat dengan langgam Helenistik.

Menurut Harle, patung Buddha di Bamiyan itu istimewa karena ia dibangun ketika umat Buddha di bagian dunia lainnya tengah mengalami periode anikonisme—sang Buddha tidak boleh digambarkan secara eksplisit sebagai sosok manusia. Tapi, di Asia Tengah, penggambaran dewa-dewi atau figur Tuhan menjadi krusial sebagai lambang kekuasaan politik atas suatu daerah.

Patung-patung Buddha di Lembah Bamiyan itu merupakan hasil perpaduan langgam Helenistik yang menyebar di Afghanistan pada abad ke-4 SM dan langgam seni Kerajaan Kusana yang berkembang di Asia Tengah sekira abad ke-3 masehi. Di era Kusana yang merupakan monarki Buddhis, figur Buddha kerap ditampilkan dalam koin, benda seni, dan arsitektur.

Perpaduan dua langgam itu kemudian melahirkan sebuah gerakan artistik khas di daerah Gandhara—mencakup India bagian utara, Pakistan, dan Afghanistan. Kekhasan itu terlihat dari penggunaan gaya seni Helenistik untuk menggambarkan ikon-ikon agama Buddha. Patung Buddha di situs Bamiyan adalah contoh terbaiknya.

Ikonoklasme dan Hipokrisi PBB

Pernyataan Taliban untuk menghancurkan semua artefak penting Warisan Kekayaan Dunia di Afghanistan, termasuk patung Buddha di Bamiyan, tentu saja memicu protes dari komunitas internasional. Pemerintah negara-negara Timur Tengah, misalnya, mengeluarkan petisi mengecam tindakan Taliban itu. Lain itu, Director General UNESCO saat itu Koichiro Matsuura menyurati Mullah Omar agar mempertimbangkan kembali dekret tersebut.

Kepala New York Metropolitan Museum (The Met) bahkan mengajukan dirinya dan museumnya untuk membeli patung-patung Buddha Bamiyan. Jika bisa, mereka akan menyimpan artefak penting itu secara ex-situ dalam The Met.

Reaksi komunitas internasional ini ternyata justru makin menyulut emosi Taliban. Pada 11 Maret 2001, dua patung Buddha raksasa di Bamiyan diledakkan dengan dinamit. Taliban juga memvideokan aksi itu dan kemudian mengunggahnya ke internet.

Tak hanya itu, Taliban dikabarkan juga menjarah Museum Nasional Afghanistan, Museum Kabul, dan menghancurkan berbagai artefak peninggalan sejarah lain di antero negeri. Beberapa hari kemudian, Taliban mengundang jurnalis internasional untuk mengabarkan aksinya.

Koichiro Matsuura, sebagaimana dikutip K. Warikoo dalam buku Bamiyan Challenge to World Heritage (2001), menyatakan bahwa insiden itu adalah kejahatan atas budaya. Sementara itu, International Council on Monuments and Sites (ICOMOS) dalam laporan periode 2001/2002 menyebut insiden itu sebagai tindakan vandalisme barbar.

Namun, Professor Sejarah Seni Global Universitas Heidelberg, Austria, Michael Falser menyatakan bahwa tindakan Taliban itu lebih tepat disebut ikonoklasme daripada vandalisme. Dalam makalah “The Bamiyan Buddhas, Performative Iconoclasm and the Image of Heritage” (2011, PDF), Falser menjelaskan bahwa vandalisme adalah tindakan spontan tanpa motivasi tertentu, sedangkan ikonoklasme adalah tindakan yang sudah dipikirkan secara matang untuk menyerang suatu institusi—juga doktrin—di balik suatu karya seninya.

Menurut Falser, langkah Taliban yang sengaja merekam proses peledakan, mengunggahnya ke internet, dan kemudian mengundang jurnalis merupakan tindakan terkalkulasi untuk mencari perhatian dan menyerang institusi di balik situs Bamiyan. Namun, institusi yang disasar Taliban dalam konteks ini bukanlah agama Buddha dan umatnya, melainkan UNESCO dan PBB.

Mengapa? Mudah diduga jawabannya terkait dengan sanksi ekonomi dan aviasi yang dijatuhkan PBB atas Afghanistan.

Meski melebih-lebihkan motivasi keagamaan di balik tindakan itu, menurut Falser, Taliban nyatanya tidak menghancurkan peninggalan umat Buddhis lain yang esensial bagi praktik ibadah. Benda-benda anikonik lain, seperti telapak kaki, pohon, roda, atau singgasana Buddha, tetap aman di tempatnya. Taliban hanya menargetkan patung-patung Buddha raksasa yang berstatus Warisan Budaya UNESCO.

Tindakan selektif semacam itu juga dilakukan Taliban ketika menjarah Museum Kabul.

Falser juga menguraikan bahwa status Warisan Budaya UNESCO itu lebih tampak sebagai hipokrisi di mata Mullah Omar dan Taliban. Pasalnya,PBB—institusi induk UNESCO—jugalah yang menjatuhkan sanksi kepada Afghanistas dan membuat rakyat di negara itu sengsara.

Dalam perspektif Taliban, komunitas internasional pada dasarnya tidaklah benar-benar pedulu pada kondisi rakyat Afghanistan. Sebaliknya, PBB dan komunitas internasional justru lebih peduli pada patung-patung Buddha di Bamiyan yang berstatus Warisan Kultural Dunia. Lain itu, catat Falser, reaksi atas pemberitaan peledakan situs Bamiyan rupanya jauh lebih ramai daripada reaksi atas tindakan brutal minoritas Syiah dan Hazara yang juga tinggal di Lembah Bamiyan.

Taliban lantas menggunakan retorika hipokrisi PBB itu untuk meraup simpati rakyat Afghanistan dan jadi modal untuk merekrut orang-orang baru. PBB—melalui UNESCO dan ICOMOS—yang tahu akan hal ini, kemudian memilih untuk menyebut aksi itu sebagai vandalisme, alih-alih ikonoklasme.

Infografik Patung Buddha Bamiyan

Infografik Patung Buddha Bamiyan. tirto.id/Quita

Mengkaji Ulang Status Warisan Kultural Dunia

Bagi Falser, peristiwa peledakan patung Buddha di Bamiyan semestinya jadi pengingat bagi komunitas internasional, khususnya Eropa dan Amerika Serikat, untuk mengkaji ulang definisi Warisan Kultural Dunia yang hipokrit.

Ide tentang status benda warisan kultural pertama kali muncul pada abad ke-18. Ia muncul bersamaan dengan berkembangnya museum dan praktik konservasi modern sebagai hasil dari Revolusi Perancis.

Awalnya, ide status warisan kultural ini dikemukakan oleh Alexander Lenoir, pendiri Musée des monuments français, pada 1793. Tujuannya adalah untuk melindungi makam keluarga monarki Perancis di Katedral St. Denis dari penjarahan yang dilakukan kaum revolusioner.

Jadi, konsep awalnya adalah mengangkat suatu objek privat—dalam hal ini makam keluarga monarki Perancis—menjadi objek kultural dengan mengangkat signifikansi sosialnya. Tak hanya itu, Lenoir juga melambari objek privat itu dengan nilai humanitarian dan kesejarahan.

Konsep yang dianggap “universal” ini kemudian menyebar ke Asia dan Afrika berkat kolonialisme. Komunitas internasional, terlebih PBB dan UNESCO, harus lebih sensitif terhadap konteks ini.

Kini, Taliban kembali berkuasa di Afghanistan. Seakan mengulang sejarah, UNESCO pun kembali mengeluarkan pernyataan terbuka dalam usaha untuk menjaga situs-situs Warisan Kultural Dunia di Afghanistan.

Paragraf pembukanya menyebut, “Setiap kerusakan atau hilangnya warisan budaya hanya akan berdampak buruk pada prospek perdamaian abadi dan bantuan kemanusiaan bagi rakyat Afghanistan.”

Pelestarian benda bersejarah tentu penting. Tapi, yang lebih penting lagi adalah kemanusiaan. Institusi seperti PBB dan UNESCO seharusnya lebih sensitif terhadap penderitaan rakyat Afghanistan.

Baca juga artikel terkait IKONOKLASME atau tulisan lainnya dari Pia Diamandis

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Pia Diamandis
Penulis: Pia Diamandis
Editor: Fadrik Aziz Firdausi