Menuju konten utama

Iklan Terbaru Gillette: Kenapa Dipermasalahkan Kaum Konservatif?

Iklan Gillette teranyar memancing kontroversi. Meski sebagian melihatnya sebagai hal yang progresif, tidak pula sedikit yang merasa diserang.

Cuplikan iklan komersial Gillette "The Best Men Can Be”. YOUTUBE/Gillette

tirto.id - Sejumlah pria dari berbagai kalangan umur tampak gusar, menatap citra diri mereka pada pantulan cermin dalam sebuah video. Bersamaan dengan itu, latar suara laki-laki dan perempuan mengatakan sejumlah frasa bersahut-sahutan.

“Perundungan...”

“Gerakan ‘#Metoo’ melawan pelecehan seksual...”

“Maskulinitas beracun...”

Riuh rendah sahutan frasa tersebut ditutup dengan sebuah pertanyaan oleh seorang pengisi suara pria: “Apa ini hal yang terbaik yang dapat diperoleh pria?”

Pria tanpa sosok dan nama tersebut melanjutkan narasinya, mengatakan bahwa sudah saatnya pria berhenti menyangkal kenyataan buruk tersebut seiring zaman yang mulai berubah.

“Karena kami ... kami percaya dengan yang terbaik dari pria, untuk mengatakan hal yang benar, untuk bertindak yang benar. Beberapa sudah melakukannya, dalam hal kecil maupun besar. Tapi beberapa saja tidaklah cukup, karena anak-anak lelaki yang saat ini menjadi saksi kelak akan jadi laki-laki dewasa.”

Adegan-adegan yang ditampilkan singkat namun intens, menyesuaikan narasi sang pengisi suara pria, di mana para laki-laki mulai bergerak melawan perundungan, pelecehan seksual, serta pemakluman atas maskulinitas beracun (toxic masculinity) yang terjadi pada anak-anak.

Video sepanjang 1 menit 48 detik itu merupakan iklan teranyar besutan Gillette sebagai bagian dari kampanye berjudul “The Best Men Can Be”, sedikit bergeser dari tagline perusahaan mereka “The Best a Man Can Get”.

Melalui kampanye tersebut, Gillette akan menyumbangkan $1 juta dolar Amerika Serikat per tahun dalam periode tiga tahun kepada organisasi-organisasi non-profit. Tujuannya agar mereka dapat membuat program untuk para lelaki agar dapat mencapai potensi maksimal mereka dan dapat menjadi contoh bagi generasi mendatang.

Sejak diunggah ke YouTube pada 13 Januari lalu, iklan berjudul “We Believe: The Best Men Can Be” itu telah ditonton sebanyak 24 juta kali. Yang menarik, iklan itu tak hanya menarik pujian karena berusaha mendobrak rasa abai dan pemakluman laki-laki terhadap berbagai masalah sosial, namun juga kritik dari berbagai kalangan karena merasa ‘diserang’ oleh video tersebut, khususnya dari kalangan konservatif.

Kampanye boikot pada produk pisau cukur Gillette pun mulai menarik perhatian publik. Hingga berita ini ditulis, video tersebut telah mengundang sekitar 655.000 reaksi suka dan 1,1 juta reaksi tidak suka di Youtube. Tak sedikit pula komentar marah yang mengatakan iklan ini merupakan propaganda feminis.

Namun, pihak Gillette tak bergeming. “Kita memang mengharapkan adanya perdebatan. Sebuah diskusi sesungguhnya memang penting. Jika kita tidak berdiskusi dan tidak berbicara mengenai hal tersebut, saya pikir perubahan tidak akan pernah terjadi,” sebut Pankaj Bhalla, Direktur Jenama Gillette Amerika Utara, seperti dilansir CNN Business.

Banyak orang yang berkomentar serupa di media sosial. Beberapa mengatakan reaksi penolakan tersebut menjadi bukti bahwa iklan serupa memang diperlukan.

“Iklan ini bukan tentang maskulinitas beracun. Ini tentang bagaimana pria lebih banyak bertindak dalam kehidupan sehari-hari untuk memberikan contoh terbaik bagi generasi berikutnya,” ujar Bhalla, masih dari CNN. “Iklan ini dimaksudkan untuk mengatakan bahwa musuh kita semua adalah nihilnya tindakan.”

Kontroversi Abadi, Menyasar Masa Depan

Kontroversi serupa telah terjadi beberapa kali sebelumnya. Misalnya pada kampanye "Real Beauty" produk Dove.

Dalam iklan berjudul “You’re More Beautiful Than You Think” yang merupakan bagian dari kampanye tersebut, Dove ingin menunjukkan kesenjangan mencolok antara cara orang lain memandang kita dan bagaimana kita (khususnya perempuan) melihat diri sendiri.

Video itu diunggah di kanal YouTube Dove pada 2013 dan pada 2019 ini telah ditonton lebih dari 68 juta kali. Pada tahun yang sama, seperti dilaporkan Mashable, Dove mengklaim video tersebut sebagai video iklan yang paling banyak ditonton di seluruh dunia, sebanyak 114 juta kali dalam 25 bahasa pada 33 saluran YouTube milik jenama tersebut.

“Kampanye ini membangkitkan reaksi emosional jutaan orang dan mengilhami mereka untuk berbagi pesan positif dengan orang lain,” ucap Fernando Machado, Vice President Dove Skin kala itu.

Meski sukses besar, video tersebut bukan tanpa kritikan. Sejumlah komentar yang muncul di YouTube, misalnya, mempertanyakan ‘kemurnian niat’ kampanye Dove. Dalam sebuah laporan, Huffington Post mempertanyakan hal itu, utamanya berkaitan dengan perusahaan induk mereka, Unilever, yang juga memiliki sejumlah jenama seperti Slimfast, Axe serta Fair&Lovely.

Axe, misalnya, kerap menelurkan iklan-iklan seksis yang menempatkan wanita sebagai obyek yang hanya hadir untuk menyenangkan pria.

Jennifer Pozner, direktur eksekutif Women In Media & News dan penulis Reality Bites Back: The Troubling Truth About Guilty Pleasure TV (2010), juga mengatakan bahwa pesan Dove bertentangan dengan produk-produknya. Perusahaan tersebut, lanjut Pozner, berusaha memanfaatkan citra tubuh perempuan yang buruk.

Infografik Iklan Penantang Status Quo

Infografik Iklan Penantang Status Quo

“[Produk-produk ini] tidak mungkin hadir jika wanita, benar-benar secara demografis, percaya pada prinsip-prinsip inti kampanye tersebut,” kata Pozner masih dari Huffington Post. “Krim selulit tidak akan ada jika wanita percaya mereka cukup cantik apa adanya.”

Pihak Dove merespons dengan cara yang hampir serupa dengan Gillette. Agar tidak dipandang sebagai usaha marketing semata, mereka mengalokasikan pendanaan untuk kerjasama dengan sejumlah organisasi seperti Girl Scouts, Boys & Girls Club of America dan Girls Inc. dalam sejumlah aktivitas program seperti diskusi mengenai perundungan daring serta proyek fotografi terkait keindahan dunia dalam perspektif perempuan.

“Tujuannya untuk mengurangi ‘tekanan’ pada generasi berikutnya,” jelas Janet Kestin, mantan direktur kreatif Ogilvy & Mather di Toronto yang mengerjakan iklan berjudul “Evolution” dalam kampanye Dove yang sama.

Baca juga artikel terkait IKLAN KONTROVERSIAL atau tulisan lainnya dari Ign. L. Adhi Bhaskara

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Windu Jusuf
-->