Menuju konten utama

IGJ: Kerja Sama Perdagangan Bebas Desak Produk Lokal Indonesia

Sejumlah perjanjian perdagangan bebas yang melibatkan Indonesia dinilai malah memberikan dampak buruk terhadap nasib produk-produk lokal.

IGJ: Kerja Sama Perdagangan Bebas Desak Produk Lokal Indonesia
(Ilustrasi) Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, Jawa Tengah, Rabu (15/11/2017). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra.

tirto.id - Indonesia for Global Justice (IGJ), lembaga swadaya masyarakat yang berfokus pada isu perdagangan bebas, mengkritik sejumlah kerja sama internasional untuk perdagangan bebas, yang diteken oleh pemerintah Indonesia, justru meningkatkan ketergantungan pasar dalam negeri terhadap produk-produk impor.

Direktur IGJ Rachmi Hertanti menilai kerja sama perdagangan bebas antara Indonesia dengan sejumlah negara terindikasi mendesak produk-produk lokal yang kalah bersaing dengan barang impor. Hingga September 2017, tercatat sudah 10 perjanjian ekonomi internasional telah ditandatangani dari 21 perundingan yang dilakukan di Indonesia.

"Fakta menunjukkan bahwa kebijakan liberalisasi perdagangan yang diambil oleh Indonesia tidak mendorong terjadinya trade diversion, tetapi semakin mengarah kepada trade creation yang meningkatkan ketergantungan pada produk impor sebagai substitusi produk lokal yang dianggap mahal dan tidak kompetitif," kata Rachmi saat diskusi dengan sejumlah wartawan di Jakarta, pada Selasa (30/1/2018) seperti dikutip Antara.

Trade diversion adalah pengalihan perdagangan dari negara, yang tidak ikut serta dalam perjanjian kerja sama perdagangan, tapi lebih efisien, ke negara yang ikut serta dalam perjanjian walau kurang efisien. Sementara itu, trade creation adalah penggantian produk domestik suatu negara, yang melakukan integrasi ekonomi regional, dengan produk impor yang lebih murah dari anggota lain.

Menurut Rachmi, tidak adanya trade diversion terlihat dari masih rendahnya pemanfaatan Preferential Free Trade Agreement (FTA). Dari beberapa perjanjian perdagangan bebas, yang telah ditandatangani oleh Indonesia, belum juga dapat memanfaatkannya secara maksimal.

Rata-rata pemanfaatan Preferential FTA untuk mendorong kinerja ekspor masih sangat rendah, yakni hanya 30-35 persen. Bahkan, dalam ASEAN-India FTA, pemanfaatan Preferential FTA masih 6,05 persen. "Rendahnya pemanfaatan Preferential FTA mengindikasikan rendahnya daya saing (Indonesia)," ujar Rachmi.

Dia menambahkan produk keunggulan komparatif Indonesia masih sedikit karena didominasi oleh barang berteknologi rendah. Hal tersebut disebabkan oleh rendahnya nilai tambah produksi yang dimiliki oleh produk-produk asal Indonesia. Akibatnya, sebaran pasar produk asal Indonesia menjadi sangat terbatas.

Rachmi melanjutkan ketergantungan yang tinggi terhadap produk impor menyebabkan industri lokal semakin tidak kompetitif. Misalnya, industri baja lokal yang akhirnya kewalahan menghadapi gempuran produk baja impor.

Data perdagangan Indonesia 2017, yang dihimpun oleh IGJ, menunjukkan bahwa penggunaan bahan baku impor terus meningkat. Sepanjang 2017, kontribusi impor bahan baku penolong sebesar 75,46 persen atau terjadi peningkatan sebesar 16,56 persen bila dibandingkan dengan data pada 2016.

"Walaupun dalam kurun lima tahun terakhir, sejak 2013, kontribusi impor terjadi penurunan, namun impor bahan baku penolong tetap mendominasi dan sangat jauh dibandingkan impor di sektor lainnya," kata Rachmi.

Rachmi berpendapat belum ada kebijakan insentif dari pemerintah yang efektif mendorong penguatan industri dalam negeri. "Kewajiban penggunaan kandungan dalam negeri atau TKDN seharusnya mampu mendorong peningkatan peran industri dalam negeri dalam mengambil peran lebih. Namun kebijakan ini terus menghadapi tantangan, FTA menyebutnya sebagai aturan yang haram," ujar Rachmi.

IGJ Minta Pemerintah Kaji Ulang Perjanjian Perdagangan Bebas

Peneliti senior IGJ Olisias Gultom mendesak pemerintah membatasi sekaligus mengkaji ulang pembukaan akses pasar secara komprehensif di dalam perjanjian perdagangan bebas atau Free Trade Agreement (FTA). "Jangan sampai situasi seperti sekarang, pasar kita banyak dimanfaatkan daripada kita memanfaatkan," kata Olisias.

Berdasar analisis lembaganya terhadap sejumlah perjanjian FTA, menurut Olisias, Indonesia hanya memanfaatkan 30-an persen dari Preferential FTA. Selain itu, peneterasi pasar komoditas ekspor unggulan Indonesia pun terbatas. Oleh karena itu, Olisias menilai perjanjian perdagangan bebas tidak perlu memberikan konsesi tarif terbuka untuk pasar domestik dan hanya ditujukan untuk sektor-sektor unggulan Indonesia saja.

Selain itu, Dia menambahkan, untuk meningkatkan pertumbuhan kinerja ekspor, pemerintah Indonesia harus berpijak pada strategi jangka panjang ketimbang jangka pendek. "Artinya, kinerja ekspor yang berbasis komoditas bahan mentah harus segera dibatasi atau bahkan ditinggalkan dan memperkuat kinerja ekspor yang bernilai tambah," kata dia.

Baca juga artikel terkait PERDAGANGAN BEBAS

tirto.id - Ekonomi
Sumber: antara
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom