Menuju konten utama

Igauan Illuminati ala Baequni: Kontraproduktif & Bikin Umat Jumud

Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah menilai teori konspirasi serta simbol Illuminati yang disampaikan Baequni kontraproduktif.

Igauan Illuminati ala Baequni: Kontraproduktif & Bikin Umat Jumud
Penuhi Undangan MUI, Gubernur Ridwan Kamil dan Ustadz Rahmat Baequni Diskusi Membangun Ummat. screenshot/youtube/Humas Jabar

tirto.id - Perseteruan antara Ustaz Rahmat Baequni dengan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil terkait arsitektur Masjid Al-Safar, di Jalan Tol Purbaleunyi Km 88 menjadi kontroversi dan bikin geger. Ridwan Kamil berkali-kali disoraki oleh jemaahnya Baequni saat keduanya berdebat di Balai Asri Pusdai Jawa Barat, pada Senin (10/6/2019).

“Huuuuuu!”

Merujuk video berdurasi 1,5 jam yang diunggah akun Atalia Praratya (istrinya Ridwan Kamil) di YouTube, Ridwan Kamil tengah membantah tuduhan Baequni. Ia menjelaskan bahwa desain segitiga yang dikoreksi trapesium di Masjid Al-Safar bukan simbol Illuminati.

Tuduhan itu menjadi viral, sebab Illuminati dihubungkan sebagai organisasi rahasia elite yang punya kekuatan serta kehendak mendominasi dunia. Tuduhan Baequni bahwa desain Masjid Al-Safar menampilkan ciri khas Illuminati pun ramai di media sosial selama beberapa pekan terakhir.

Di Twitter, misalnya, muncul video tentang penjelasan Baequni yang mempersoalkan desain masjid yang terletak di Rest Area KM 88 B Jalan Tol Purbaleunyi arah Jakarta.

"Ini pintu masuknya dan lihat ini segitiga semua. Nyaris segitiga semua. Bahkan ketika masuk ke dalam, ini segitiga, satu mata. Maka, ketika kita salat, sebetulnya kita menghadap siapa, menghadap Allah atau segitiga satu mata?" kata Baequni dalam video tersebut.

Saat tuduhan itu viral, Ridwan Kamil sempat mengunggah bantahan di Instagram pada 31 Mei lalu. "Saya tidak perlu marah terhadap tafsir, yang penting saya jelaskan bahwa jika Masjid Al Safar dikatakan sebagai implementasi dari simbol2 iluminati itu adalah kesimpulan KELIRU."

Apa yang dijelaskan Baequni soal Illuminati seperti igauan yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti "perkataan yang bukan-bukan; omong kosong; ocehan".

Kemunduran

Menanggapi itu, Ketua Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama, Arifin Junaidi menilai bahwa upaya mempermasalahkan teori-teori konspirasi dan simbol-simbol, seperti kasus di Masjid Al-Safar, merupakan hal yang tidak perlu. Ia mengatakan hal itu justru menunjukkan ketidaktahuan umat Islam.

"Saya sangat setuju dengan paparan Kang Emil kemarin. Orang itu [Ust. Rahmat Baequni] tidak adil, enggak proporsional. Masjid di Madinah, di mihrab nabinya saja ada lambang segitiga, kenapa enggak diprotes?" kata Arifin saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (12/6/2019).

Arifin juga merespons ucapan orang-orang yang masih mengagungkan kubah sebagai simbol masjid. Ia mengatakan bahwa masjid-masjid di zaman pertama kali Islam masuk ke Jawa dibangun tanpa kubah.

Arifin juga menilai dengan adanya pihak-pihak yang mempermasalahkan lambang segitiga, justru membikin peradaban Islam menjadi mundur. Ia sedikit menyinggung Abu Al-Wafa', matematikawan dan astronom Muslim abad ke-10, yang menemukan rumus trigonometri--yang sarat dengan lambang segitiga.

"Ini jelas kemunduran cara berpikir kita. Contoh bagaimana dulu Abu Al-Wafa'. Kenapa lambang FPI yang segitiga itu enggak dipermasalahkan? Mau dituding Illuminati?" kata dia mempertanyakan.

Arifin menuturkan, Baequni sebagai pendakwah dan pendidik sebaiknya tidak mengedepankan hal-hal berbau konspiratif dan simbol-simbol semacam itu. "Anak-anak jangan diajarkan seperti itu. Anak-anak dibuka wawasannya. Belajar menjadi Islam yang rahmatan lil alamin," kata dia.

"Islam itu diawal ditekankan dengan 'iqra', yaitu membaca. Perbanyak membaca dan tahu hal-hal yang berbeda. Islam yang paling penting membaca dan mengajar, bukan malah yang kurang baca tapi menyalahkan yang banyak baca," lanjut dia.

Masjid Al Safar

Masjid Al Safar Masjid Terbesar di Rest Area se-Indonesia. FOTO/Dok. PT Jasa Marga

Kontraproduktif dan Tak Substantif

Sekretaris Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu'ti juga menilai bahwa pendapat Masjid Al-Safar sebagai simbol Illuminati dan melarang umat Islam salat di dalamnya sangat kontraproduktif dan tidak substantif.

"Ketika beberapa tahun lalu logo UIN Jakarta diluncurkan ada juga yang berkomentar logo UIN itu menyerupai simbol-simbol Yahudi. Padahal logo itu merupakan simbol integrasi iman, ilmu, dan akhlak," kata Mu'ti saat dihubungi saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (12/6/2019).

Mu'ti menuturkan di beberapa negara banyak masjid yang sebelumnya merupakan gereja, salah satunya Masjid Hagia Sophia atau Aya Sofya di Istanbul, Republik Turki. Ornamen Kristen di dalam gereja tidak diubah, sampai akhirnya masjid tersebut diubah menjadi museum.

Ia juga menambahkan beragamnya desain masjid menunjukkan kemajuan arsitektur dalam dunia Islam. "Ada masjid gaya Turki, Persia, Eropa, dan arsitektur lokal. Misalnya di Indonesia berkembang masjid arsitektur Walisongo, Banten, Aceh, Minangkabau, dan sebagainya."

"Karena itu soal arsitektur masjid al-Safar tidak perlu dibesar-besarkan. Apalagi sampai ada larangan untuk salat di masjid tersebut," tegas Mu'ti.

Menurut Mu'ti, hal yang penting didorong saat ini adalah bagaimana agar umat Islam semakin taat beribadah. Ia mengatakan khususnya salat berjamah, menjadikan masjid sebagai pusat kebudayaan Islam, pendidikan, dan ekonomi, serta sebagai sarana mempersatukan umat Islam.

"Saatnya umat Islam bersatu serta memajukan umat dan bangsa dengan karya kreatif yang berkemajuan termasuk dalam arsitektur masjid," ujarnya.

Dalam ranah pendidikan dan dakwah, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji juga menilai teori dan simbol konspirasi sangat berbahaya. Menurut Ubaid, selain tak berbasis data empiris, hal tersebut juga menjunjung tinggi praduga.

"Banyak juga guru-guru yang tergiring dengan opini-opini yang berdasarkan pada praduga, yang ujung-ujungnya adalah hoaks," kata Ubaid.

Ubaid menuturkan hal yang lebih penting dikedepankan adalah pendidikan dengan logika berpikir serta beralur. Dan juga, menjunjung tinggi pengetahuan yang berbasis data.

"Ini penting untuk diajarkan dalam dunia pendidikan, supaya kita bisa mengerti alur berpikir yang runtut dan sistematis dan terhindar dari hoaks, yang logika berpikirnya sporadis dan lompat-lompat," kata dia.

Baca juga artikel terkait ILLUMINATI atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Gilang Ramadhan