Menuju konten utama

IEEFA: Pembangkit Listrik Surya Indonesia Tertinggal di ASEAN

Kebijakan yang berubah-ubah menjadi penyebab rendahnya capaian pembangkit tenaga surya di Indonesia tertinggal dari negara-negara ASEAN.

IEEFA: Pembangkit Listrik Surya Indonesia Tertinggal di ASEAN
Pekerja menyelesaikan pemasangan instalasi lampu tenaga Surya (solar panel), di kawasan Sport Center Kudus, Jawa Tengah, Selasa (5/12/2017). ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho

tirto.id - Kajian Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) mendapati perkembangan energi surya sebagai pembangkit listrik di Indonesia tertinggal dibanding negara-negara ASEAN.

Dalam data yang dikutip dari The Lantau Group, kapasitas energi surya Indonesia hanya bertambah sekitar 200 Megawatt (Mw) pada 2020 nanti.

Jumlah itu jauh di bawah Malaysia dan Thailand yang mampu menambah 1.000 Mw. Capaian kedua negara itu pun disusul oleh proyeksi Vietnam, Filipina, dan Myanmar yang masih mengungguli Indonesia.

"Indonesia ketinggalan dibanding negara-negaea ASEAN. Kita tidak punya cukup ambisi untuk perkembangan energi listrik tenaga surya," ucap Peneliti IEEFA, Elrika Hamdi dalam paparan bertajuk 'Indonesia's Solar Policies Designed to Fail?' di Plaza Kuningan, Rabu (27/2/2019).

Elrika berkata, energi surya di Indonesia sebenarnya melimpah baik untuk komersial maupun hunian. Hanya saja, perkembangannya terhambat oleh kebijakan pemerintah.

Ia mencontohkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang belum memaksimalkan potensi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).

Hingga 2028 saja, kata dia, kapasitas PLTS Indonesia masih di bawah 1.000 MW. Sementara Malaysia dan Vietnam diperkirakan mencapainya di tahun 2020.

Menurut Elrika, capaian yang stagnan itu disebabkan karena kesulitan yang dialami pengembang PLTS swasta (IPP).

Misalnya, lanjut dia, listrik PLTS yang dihargai 85 persen lebih rendah dari Biaya Pokok Produksi pembangkit konvensional PLN. Alhasil, kata dia, PLTS sulit bersaing dengan PLTU berbasis batu bara yang rutin menerima subsidi pemerintah.

Selain kurangnya transparansi dibalik BPP, Elrika juga mendapati ketidakpastian kebijakan Kementerian ESDM.

Sejak 2013, sudah terdapat 2 perubahan peraturan yang diubah pada tahun yang sama. Seperti Permen ESDM nomor 17 tahun 2013 dan Permen ESDM nomor 50 tahun 2017.

"Kebijakannya sendiri berubah-ubah dan tidak jelas. Bahkan kebijakan tersebut sebelum diimplementasikan sudah diubah lagi," ucap Elrika.

Hal ini, kata dia, masih diperburuk dengan ketentuan pengalihan kepemilikan proyek usai 20 tahun beroperasi.

Semula dimiliki swasta menjadi milik pemerintah. Namun, lanjutnya, pembelian pemerintah ditempuh dengan harga yang justru mengurangi keekonomian proyek listrik tenaga surya.

Alhasil, ungkap dia, menjadi penghambat bagi pengusaha untuk mengakses pendanaan perbankan yang berdampak memburuknya investasi PLTS di Indonesia.

Baca juga artikel terkait PEMBANGKIT LISTRIK atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Zakki Amali