Menuju konten utama

Idul Adha 1955: Sukarno Naik Haji di Tengah Pemberontakan DI/TII

Sukarno menunaikan ibadah haji pada 1955 ketika pemberontakan DI/TII masih belum padam. Ada yang menganggapnya "haji politis".

Idul Adha 1955: Sukarno Naik Haji di Tengah Pemberontakan DI/TII
Sukarno menunaikan ibadah haji; 1955. FOTO/Wikicommon

tirto.id - Pergi ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji merupakan impian setiap umat Islam. Berhaji adalah sebuah kewajiban untuk menyempurnakan Rukun Islam yang kelima, bagi mereka yang mampu. Ibadah ini dilakukan di bulan Zulhijah yang berpuncak pada hari raya Idul Adha. Presiden Sukarno pun melaksanakan ibadah ini pada 1955.

Saat itu, penyelenggaraan haji sudah diambilalih pemerintah. Sebelumnya, menurut Moeflich Hasbullah dalam Islam dan Transformasi Masyarakat Nusantara (2017), melalui Keputusan Presiden Nomor 53 tahun 1951, diambil kebijakan untuk menghentikan keterlibatan pihak swasta dalam penyelenggaraan ibadah haji.

Pada 1952, dibentuk perusahaan pelayaran PT Pelayaran Muslim, sebagai satu-satunya panitia haji, dan diberlakukan sistem kuota. Saat itu pula untuk pertama kali diadakan transportasi haji lewat udara.

Ketika itu, pergi haji banyak dilakukan lewat jalur transportasi laut. Tentu saja, sebagai seorang presiden, Sukarno pergi ke tanah suci menggunakan pesawat. Pesawat yang ditumpangi Sukarno adalah Garuda G-340.

Namun, jangan membayangkan situasi udara seperti sekarang ini. Dalam perjalanan udara, Sukarno dan rombongannya, harus beberapa kali singgah di sejumlah negara, menghabiskan waktu enam hari penerbangan untuk sampai ke Jeddah, Arab Saudi.

Haji Politis?

Menurut Mangil Martowidjojo dalam Kesaksian tentang Bung Karno 1945-1967 (1999), Sukarno beserta rombongan berangkat pada 18 Juli 1955 dari lapangan udara Kemayoran, Jakarta. Jumlah rombongan yang ikut Bung Karno sebanyak 31 orang, terdiri dari pengawal pribadi, pejabat, dan beberapa orang wartawan. Di antara rombongan itu ada Roeslan Abdulgani, Achmad Soebardjo, dan Menteri Agama K.H. Masjkur. Mangil, sang penulis buku tersebut, saat ikut rombongan menjabat sebagai Komandan Polisi Pengawal Pribadi Presiden.

Ada enam negara yang disinggahi sebelum sampai ke Jeddah. Sukarno dan rombongan terlebih dahulu singgah di Singapura, Bangkok (Thailand), Kalkuta, New Delhi, Karachi (ketiganya di India), Sharjah (Uni Emirat Arab), Bagdad (Irak), dan Kairo (Mesir).

Star Weekly edisi 6 Agustus 1955 menulis, di setiap kota yang disinggahinya, Sukarno menyempatkan bertemu sejumlah tokoh dan masyarakat Indonesia. Saat tiba di Singapura, Sukarno disambut masyarakat Indonesia yang tinggal di sana. Di Kairo, Sukarno bersua Perdana Menteri Gamal Abdel Nasser. Lalu, di New Delhi, dia bertemu Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru dan Duta Besar Indonesia untuk India L.N. Palar.

Ada dugaan, naik hajinya Sukarno terkait masalah politis. Sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara dalam Api Sejarah 2 (2010) menulis bahwa Sukarno naik haji untuk memenuhi kriteria sebagai seorang presiden yang bergelar wali al amri dharuri bi al syaukah.

“Selain harus ada masjid Baiturrahim di Istana Merdeka, presiden juga harus naik haji,” tulis Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya.

Ahmad Mansur menyebutkan, gelar untuk Sukarno itu disematkan pada 7 Maret 1954. Ketika itu diadakan Konferensi Ulama di Cipanas, Bogor, yang didukung Departemen Agama, dengan Menteri Agama K.H. Masjkur dari Nahdlatul Ulama. Konferensi tersebut digelar sebagai upaya untuk melawan pengaruh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, Abdul Kahar Muzzakar, dan Teungku Muhammad Daud Beureueh yang tergabung dalam Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Saat itu, Kartosoewirjo mendaku sebagai imam umat Islam Indonesia.

Konferensi diadakan pada 2 hingga 7 Maret 1954. Menurut Ahmad Mansur, dalam konferensi itu para ulama bersepakat untuk mengangkat Sukarno sebagai wali al amri dharuri bi al syaukah atau presiden sebagai pelindung umat Islam Indonesia yang secara darurat diberikan kekuasaan.

Terlepas dari dugaan politis, toh Sukarno tak pernah menyinggungnya di kemudian hari. Tapi ia tetap bangga karena sudah menuntaskan Rukun Islam kelima itu.

“Naik haji di hari yang suci ini membikin seseorang menjadi Haji Akbar. Haji Besar. Ini menandakan bahwa orang mempunyai jiwa keagamaan tujuh kali lebih dalam daripada manusia biasa rata-rata,” kata Sukarno dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang ditulis wartawan Amerika Serikat, Cindy Adams.

Sukarno melaksanakan ibadah haji persis di hari Jumat, yang menurut kepercayaan menjadi seorang Haji Akbar, karena dilakukan di hari yang dianggap suci. Menariknya, tak pernah ada informasi bahwa pemimpin DI/TII yang mengklaim sebagai imam umat Islam Indonesia, Kartosoewirjo, sudah melaksanakan ibadah haji.

Infografik Sukarno Naik Haji

Kronik Ibadah Haji Sukarno

Sukarno dan rombongan tiba di Jeddah pada 24 Juli 1955. Upacara penyambutan pun digelar oleh Raja Saud bin Abdulaziz Al Saud. Menurut Mangil Martowidjojo dalam Kesaksian tentang Bung Karno, saat penyambutan bendera merah-putih dikibarkan, ditembakkan meriam sebanyak 21 kali, dan dikumandangkan lagu kebangsaan Indonesia dan Arab Saudi.

Mangil mengisahkan dengan rinci segala aktivitas Bung Karno di Arab Saudi.

Pada 25 Juli 1955, Sukarno beserta rombongan melakukan aktivitas dengan berziarah ke makam Nabi Muhammad di Madinah. Di sana, Sukarno menangis sejadi-jadinya.

“Lama Bung Karno berdiri mengheningkan cipta, berdoa di samping makam Nabi Muhammad di Madinah itu, sedangkan rombongan yang sangat kecil jumlahnya itu berdiri di belakang, termasuk saya,” tulis Mangil.

Pada 26 Juli 1955, Sukarno dan rombongan berangkat dari Jeddah menuju Mekah, menggunakan pakaian ihram untuk berumrah. Sore hari pada 28 Juli 1955, Sukarno dan rombongannya menuju Arafah. Keesokan harinya, mereka wukuf di Arafah. Malam hari, mereka menuju Muzdalifah. Sukarno mengumpulkan batu di sini untuk melontar. Tengah malam, mereka menuju Mina.

Hari Raya Idul Adha jatuh pada 30 Juli 1955. Di hari itu, Sukarno melontar batu. Usai melakukan rangkaian lontar batu, dia dan rombongannya menuju Mekah untuk tawaf dan sai. Usai tawaf dan sai, Sukarno beserta rombongan bertolak ke Mina. Pada 31 Juli 1955 sore, Sukarno melontar batu.

Pada 1 Agustus 1955 sore, Sukarno dan rombongannya meninggalkan Mina menuju Taneem. Usai mengenakan pakaian ihram di Taneem, mereka menuju masjid Al-Haram di Mekah untuk berumrah.

Menariknya, insting arsitek Sukarno tersengat saat menyaksikan kondisi masjid Al-Haram yang berjubal umat saat berhaji. Menurut Yuke Ardhiati dalam Bung Karno Sang Arsitek (2005), Sukarno lantas tergerak untuk menyumbangkan ide arsitektural kepada pemerintah Arab Saudi. Bung Karno menyarankan agar jalur sai dibagi menjadi dua dan didirikan bangunan dua lantai untuk melakukan sai.

“Pemerintah Arab Saudi akhirnya memang melakukan renovasi masjid Al-Haram secara besar-besaran yang dipimpin Raja Khalid bin Abdul Aziz pengganti Raja Saud. Renovasi yang dirintis sejak 1955 tersebut mulai dilaksanakan pada 1966, termasuk pembuatan lantai bertingkat bagi umat yang melaksanakan sa’i menjadi dua jalur dan lantai bertingkat untuk melakukan tawaf,” tulis Yuke.

Sumbangan ide lain dari Bung Karno yang masih bisa disaksikan hingga kini adalah penanaman pohon di Padang Arafah. Dia pun memberikan bibit pohon mindi, yang sekarang disebut pohon Sukarno, kepada Raja Saud untuk ditanam.

Pada 2 Agustus 1955, Sukarno dan rombongan menjalankan tawaf wada. Kemudian meninggalkan Mekah menuju Jeddah. Keesokan harinya, mereka bertolak dari Jeddah menuju tanah air. Pada 5 Agustus 1955, rombongan tiba di Jakarta.

Selain beribadah, di Arab Saudi Sukarno menyempatkan untuk menerima jamuan dari pihak kerajaan, melakukan konferensi pers dengan wartawan, menerima para pemuda Indonesia, dan alim ulama setempat.

Dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Sukarno mengatakan, menurut kebiasaan, sandal, kain, atau apa saja yang dipakai dalam menjalankan ibadah haji selama satu minggu akan menjadi milik seseorang. Saat akan kembali ke Indonesia, Raja Saud memberikan hadiah mobil Chrysler Crown Imperial.

“Presiden Sukarno, mobil Chrysler Crown Imperial ini telah tuan pakai selama berada di sini. Sekarang, saya menyerahkannya kepada tuan sebagai hadiah,” kata Sukarno dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

Sukarno rupanya memang sudah naksir dengan mobil itu sejak pertama kali melihatnya. Namun, sayangnya, mobil tersebut menjadi korban peristiwa Cikini pada 30 November 1957.

Dalam bukunya, Mangil menyebutkan, peristiwa itu terjadi di sekolah Perguruan Cikini, Jakarta, sewaktu Bung Karno menghadiri perayaan sekolah. Bung Karno memang wali murid, karena putra-putrinya bersekolah di sana.

Hari itu, sejumlah granat dilontarkan ke arah Bung Karno. Mobil pemberian Raja Saud pun mengalami kerusakan dan berlubang kena pecahan granat. Pelaku pelemparan itu antara lain Saadon bin Muchamad, Joesoef Ismail, dan Tasrip yang bertindak atas perintah Saleh Ibrahim.

Aktivitas berhaji Sukarno memberikan timbal-balik yang dikenang, baik untuk Indonesia maupun Arab Saudi. Sukarno mewarisi ide arsitektural di masjid Al-Haram dan penanaman pohon di Padang Arafah, sedangkan Raja Saud memberikan hadiah sebuah mobil, yang akhirnya ringsek karena granat.

Baca juga artikel terkait IDUL ADHA 2018 atau tulisan lainnya dari Fandy Hutari

tirto.id - Humaniora
Penulis: Fandy Hutari
Editor: Ivan Aulia Ahsan