Menuju konten utama

IDI: Izin Terapi 'Cuci Otak' Dokter Terawan Tergantung Kemenkes

IDI menunda sementara pelaksanaan keputusan pemecatan dokter Terawan. Tapi, selama penundaan itu, dokter Terawan tetap dilarang menerapkan terapi 'cuci otak'.

IDI: Izin Terapi 'Cuci Otak' Dokter Terawan Tergantung Kemenkes
Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Prof. Ilham Oetama Marsis (kanan) bersama dengan Ketua Dewan Pakar PB IDI Prof. Razak Tahar dan Ketua Dewan Pertimbangan PB IDI Errol Hutagalung usai konferensi pers terkait penundaan pemecatan dokter Terawan Agus Putranto, di Jakarta, Senin (9/4/2018). tirto.id/Andrey Gromico.

tirto.id - Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) memutuskan menunda pemecatan atau pencabutan keanggotaan dokter Terawan Agus Putranto di organisasi profesi tersebut. Selama penundaan sementara itu, dokter Terawan masih berstatus anggota IDI, memiliki izin praktik dan bisa menjabat Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto.

Akan tetapi, Ketua Dewan Pertimbangan PB IDI, Prof dr Errol U. Hutagalung mengatakan penundaan pemecatan dokter Terawan memiliki pengecualian. Menurut dia, Dokter Terawan tetap dilarang melakukan praktik pengobatan dengan metode Digital Substraction Angiogram (DSA) atau biasa disebut terapi Brain Wash (Cuci Otak).

"Metode itu, dalam rekomendasi yang kami bilang, supaya di-assessment oleh tim HTA (Health Technology Assessment) Kemenkes (Kementerian Kesehatan)," ujar Errol di Sekretariat PB IDI, Jakarta, pada Senin (9/4/2018).

Ia menjelaskan selama tim HTA Kemenkes belum merilis hasil evaluasi tentang kelayakan terapi DSA, maka metode tersebut tidak bisa digunakan.

"Tergantung tim HTA Kemenkes. Kalau tim HTA bilang oke, ya jalan. Selama tim HTA belum merilis hasil evaluasinya, maka dianjurkan tidak menggunakan metodenya," kata dia.

Tim HTA adalah badan analisis terstruktur yang dimiliki oleh Kemenkes. Badan itu bertugas memeriksa kelayakan suatu metode pengobatan yang dilakukan oleh dokter ke pasien. Selama ini, metode DSA yang diterapkan oleh Terawan belum mengantongi rekomendasi dari Tim HTA.

"Karena belum ada kejelasan. Kalau metode lain silakan. Keanggotaan dokter Terawan di IDI pun masih berjalan, enggak diskors, enggak dipecat," kata Errol.

Ketua Umum PB IDI, Prof dr Ilham Oetama Marsis menambahkan ada beberapa tahapan sebelum suatu metode pengobatan baru dapat digunakan secara sah kepada masyarakat umum.

Tahap pertama adalah keberadaan penelitian akademis pendukung keabsahan metode itu. Menurut Marsis, temuan dokter Terawan adalah penggunaan heparin untuk membuka sumbatan-sumbatan bersifat kronik di pembuluh darah.

Marsis mengaku menerima informasi dari pembimbing S3 dokter Terawan di Universitas Hassanuddin (Unhas), bahwa prosedur-prosedur tersebut sudah dilakukan oleh dokter Terawan.

"Profesor Irwan yang juga pernah menjabat sebagai dekan Unhas sudah mengatakan dengan jelas bahwa apa yang dihasilkan oleh dokter Terawan sudah membuktikan temuannya. Itu sudah dibuktikan secara akademis," kata dia.

Tahapan selanjutnya, adalah uji klinis untuk memastikan terapi 'cuci otak' dapat diterapkan kepada masyarakat tanpa memberika risiko yang merugikan pasien. Menurut Marsis, tahapan uji klinis belum dilalui oleh dokter Terawan.

Dia menjelaskan pengujian itu menjadi domain tugas dari tim HTA Kemenkes, bukan PB IDI. "IDI sebatas skup pada masalah kode etika dokter Terawan," ujar dia.

Marsis beralasan tugas tim HTA Kemenkes menentukan status pemenuhan standar kelayakan pada setiap perkembangan teknologi pengobatan baru.

"Perlu diketahui bahwa ada standar pelayanan, standar operasional prosedur, itu merupakan kewenangan dari Kemenkes. Kalau Kemenkes belum menetapkan sebagai standar pelayanan, tentunya secara praktik tidak boleh dilakukan. Harus melalui uji klinik lanjutan ini agar dapat diterapkan untuk pelayanan masyarakat," ujar Marsis.

Menurut Ketua Dewan Pakar PB IDI, Dokter Abdul Razak Thaha prosedur pemeriksaan itu dapat dilakukan dengan dokter bersangkutan mengajukan uji klinis ke tim HTA Kemenkes. Selain itu, bisa juga tim HTA Kemenkes meminta adanya uji klinis.

"Kalau dokter tidak lapor, HTA harus jemput bola. Kalau sudah begitu, jika terjadi sesuatu, HTA harus bertanggung jawab. Bukan IDI," kata Razak.

Meskipun demikian, Razak enggan menjawab sebab tim HTA Kemenkes selama ini belum melakukan uji klinis ke terapi 'cuci otak' meski metode itu telah diterapkan ke banyak pasien. Dia juga menolak pernyataannya bisa disimpulkan bahwa Kemenkes lalai dalam mengawasi praktik terapi 'cuci otak' yang diterapkan dokter Terawan.

"Saya enggak mau bilang begitu. Itu bahasa kamu sendiri," ujarnya.

Baca juga artikel terkait DOKTER TERAWAN atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Addi M Idhom