Menuju konten utama

Identitas dalam Pakaian Bekas

Baju bekas ikut membentuk gaya subkultur anak muda yang khusus dan unik. Pakaian juga merefleksikan keuangan anak-anak muda yang terbatas. Dia juga menggambarkan gairah akan gaya-gaya pakaian retro yang otentik dan yang tidak ada kembarannya.

Identitas dalam Pakaian Bekas
Calon pembeli memilih pakaian bekas impor (cakar) di Pasar Terong, Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (28/6). Antara foto/dewi fajriani/ama/16

tirto.id - Budaya dan Identitas dalam pakaian bekas anak muda di Indonesia sejatinya sudah berlangsung lama. Bagi yang hidup masuk di usia remaja 10 tahun lalu tentu merasakan budaya identitas dalam pakaian bekas ini melanda anak-anak muda di Jakarta. Baju polkadot, celana warna warni dengan kerah terbuka. Paduan corak warna mentereng mengundang mata ini pernah terjadi ketika si Raja Pentas Seni Group Band The Upstairs dalam kejayaan.

Saban kali manggung, fans The Upstairs dikenal Modern Darling membuat warna warni seisi area panggung. Mereka berdansa mengikuti alunan musik electronics yang dinyanyikan Jimi Multazham. Tren dandanan The Upstairs itu juga kemudian membawa para penggemarnya untuk mengikuti fashion sang idola. Pengambaran pakaian itu juga menandakan jenis musik yang enerjik.

Dari fashion The Upstairs, perburuan pakaiannya pun menjamah Pasar Senen, Jakarta Pusat. Di pasar ini, perburuan barang-barang berbau vintage paling digandrungi kala itu. Pasar Senen pun menjadi idola pagi para pengemar musisi seperti Naif, Club Eighties dan juga Goodnight Electric. Kejayaan para pedagang pakaian bekas di Pasar Senen pun tak terelakkan.

Di Inggris, gaya pakaian bekas mulai marak digunakan era tahun 1980-an dan tahun 1990-an. Penggunanya kala itu adalah kelompok indie dan juga mahasiwa. Mereka biasanya memakasi t-shirt bekas, jumper atau jaket bekas dan kain wol. Penggunaan pakaian bekas itu pun merambah hingga Indonesia. Konsumen baju bekas terbesar di Indonesia adalah mereka para anak-anak muda.

Wahyu Harjanto pernah melakukan penelitian untuk tesisnya di Universitas Gajah Mada (UGM). Dalam penelitian itu, Wahyu melihat pengalaman masyarakat Yogyakarta dalam mengonsumsi pakaian bekas selama satu dasarwarsa. Hasilnya, kebutuhan konsumsi pakaian bekas mempresentasikan pemenuhan kebutuhan konsumen akan identitas. Yaitu mendeskripsikan diri dan tiket masuk ke dunia sosial dan budaya untuk mendapatkan pengakuan dan penerimaan.

Sosiolog Universitas Indonesia, Daisy Indira Yasmine mengatakan, sejatinya pakaian memang menjadi alat komunikasi untuk menunjukkan identitas seseorang. Dia pun menjelaskan jika minat pembeli pakaian bekas kini bukan lagi menyasar masyarakat bawah, melainkan kalangan menengah ke atas. Namun, hanya media pembeliannya saja yang berbeda.

"Fenomena great sale muncul bukan dari kelas menengah bawah saja, justru kelas menangah atas, di mana konsepnya adalah rius. Jadi banyak juga barang-barang yang masih bagus yang dijual dengan harga murah," ujar Daisy dalam perbincangannya dengan tirto.id.

Fashion dan Budaya Konsumtif

Faktor yang memengaruhi penggunaan pakaian bekas adalah tingkat konsumtif masyarakat Indonesia yang tinggi sehingga memunculkan budaya baru. Budaya konsumtif ini sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat, terutama di perkotaan.

Laporan Bank Dunia pada 2010 menyebutkan, jumlah kelas menengah di Indonesia saat ini sekitar 56,5 persen dari total jumlah populasi. Berdasarkan Sensus 2010, penduduk Indonesia berjumlah 237,6 juta. Artinya, jumlah kelas menengah dengan pengeluaran per hari 2 dolar AS (sekitar Rp18.000,-) sampai dengan 20 dolar AS (sekitar Rp180.000,-) tidak kurang dari 134 juta orang.

Dari 134 juta orang jumlah kelas menengah, sekitar 14 juta orang masuk ke dalam rata-rata pengeluaran 6 dolar sampai 20 dolar AS per hari. Sebanyak 68 persen atau sekitar 91 juta orang lainnya merupakan kelas menengah bawah dengan pengeluaran 2-4 dolar AS per hari.

Nafsu kelas menengah untuk berbelanja ternyata sangat tinggi. Hal itu bisa dilihat karena masyarakat kelas menengah memiliki gaya tersendiri dalam berbelanja. Masih menurut Bank Dunia, nilai uang yang dibelanjakan kelas menengah Indonesia sangat fantastis. Belanja pakaian dan alas kaki tahun 2010 mencapai Rp113,4 triliun, belanja rumah tangga dan jasa sebesar Rp194,4 triliun, belanja di luar negeri Rp50 triliun, dan biaya transportasi Rp283,6 triliun.

"Ini terjadi karena pola konsumtif kita juga yang mempengaruhi. Kita cenderung menjadi masyarakat yang konsuntif, apalagi barang-barang lifestyle," kata Daisy. Dia menjelaskan jika saat ini di kalangan menengah keatas budaya menjual baju bekas sudah tak terpakai sedang menjadi tren. Istilahnya disebut Rius. Pakaian bekas yang dijual adalah baju-baju bermerek dari kelas menengah atas.

Parahnya lagi, walaupun pakaiannya bekas harganya juga tinggi, masyarakat tetap membelinya. Hal ini terjadi karena yang dipentingkan bukan lagi fungsi barangnya, tetapi lebih nilai koleksinya. Jadi barang itu bukan sekadar dari nilai harga tapi nilai simboliknya untuk pakaian branded.

Budaya konsumtif sendiri ada pada masyarakat perkotaan hal itu juga yang kemudian membuat rentan penduduk kota dengan nilai-nilai simbolik. Simbolik itu berarti gaya hidup dan status. Status ini bukan sekadar kelas menegah atas saja, tapi juga status berdasarkan kelompok masyarakat, rule mode. Bahkan artis itu gampang dan rentan sekali terpengaruh budaya konsumtif.

Fashion menjadi bagian yang tidak dapat dilepaskan dari penampilan dan gaya keseharian seseorang. Benda-benda seperti baju dan aksesoris yang dikenakan bukanlah sekadar penutup tubuh dan hiasan, lebih dari itu juga menjadi sebuah alat komunikasi untuk menyampaikan identitas pribadi.

"Fashion itu menjadi bagian dari identitas mereka sendiri. Jadi indentitas kita itu banyak ditentukan bukan soal nilai agama dan segala macam tetapi lebih ke komoditas. Fenomenanya lebih gaya hidup dan identitas, simbol itu yang dikejar masayarakat," ujar Daisy.

Saat ini, bukan nilai guna barang tersebut yang dicari tetapi nilai simbolik yang terkandung di barang tersebut. Akibat nilai simbolik itu, harga sebuah barang bisa melebihi harga biaya dikeluarkan dalam ongkos produksi. Padahal konsumen tahu bahwa harga itu bisa lebih mahal daripada barang baru.

Selain nilai simbolik, faktor karena keinginan untuk diterima lingkungan, diakui, dan dipandang sederajat, menjadi kebutuhan urgent di era kehidupan sosial yang serba terkoneksi saat ini. Setiap orang berlomba-lomba untuk tidak tertinggal di kelompoknya. Menurut Daisy, banyak yang tidak sadar bahwa keputusan-keputusan yang kita ambil sebenarnya bukan keputusan kita pribadi.

"Kelemahan dari masyarakat di perkotaan adalah nilai-nilai yang terinternalisasi adalah konsumtif," kata Daisy.

Baca juga artikel terkait PAKAIAN BEKAS atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti