Menuju konten utama

Ide Bank Dunia Melindungi Buruh yang Tak Pro Buruh

Bank Dunia dalam laporan terbarunya menggagas agar negara-negara menerapkan kebijakan yang lebih lunak terhadap para pengusaha.

Ide Bank Dunia Melindungi Buruh yang Tak Pro Buruh
Sejumlah pekerja pabrik rokok menerima uang Tunjangan Hari Raya (THR) Lebaran di Kudus, Jawa Tengah, Kamis (15/6). ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho

tirto.id - World Bank atau Bank Dunia mengusulkan agar negara-negara miskin maupun berkembang mengurangi sejumlah peraturan ketenagakerjaan. Di antara aturan yang dimaksud adalah soal upah minimum, pesangon, serta wewenang pemberi kerja dalam merekrut atau menghentikan pekerjanya. Dengan kata lain, World Bank ingin relasi kerja atau hubungan industrial yang lebih fleksibel.

"Dalam banyak kasus, peraturan ketenagakerjaan--termasuk upah minimum, hambatan dalam keputusan perekrutan dan pemecatan, dan uang pesangon--membuat perusahaan terlalu mahal dalam menyesuaikan tenaga kerjanya untuk mengakomodasi perubahan teknologi," demikian tulis World Bank dalam laporan kerja bertajuk World Development Report 2019 halaman 117 (PDF).

Visi dari usulan tersebut, menurut institusi yang lahir setelah konferensi Bretton Woods pada 1944 itu, adalah untuk menyiapkan negara-negara miskin dan berkembang dalam menghadapi perubahan iklim pada industri kerja.

Mereka sedang bicara soal perubahan karena teknologi yang kerap disebut "Revolusi Industri 4.0." Dalam lanskap revolusi ini, penggunaan kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence dan otomatisasi meningkat sehingga tenaga kerja manusia semakin tak dibutuhkan secara langsung untuk menggerakkan mesin-mesin pabrik.

Bank Dunia menilai peraturan ketenagakerjaan yang tidak terlalu membebani pemberi kerja dapat menjadi peluang bagi perusahaan dan berdampak baik bagi keseluruhan iklim ketenagakerjaan.

"Dengan menciptakan lingkungan bisnis yang lebih baik, secara alamiah semakin banyak perusahaan yang sukses mencapai puncak." (hlm. 78).

Sebagai ganti dari pereduksian hak-hak pekerja itu, World Bank menawarkan apa yang dinamakan dengan "Kontrak Sosial Baru" yang salah satunya adalah menghabiskan lebih banyak investasi ke bidang sumber daya manusia. "Investasi dalam sumber daya manusia meningkatkan peluang bagi pekerja untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Investasi semacam itu meningkatkan prospek pekerjaan untuk bayi yang baru lahir atau anak-anak sekolah."

Simpulan Bank Dunia bertolak belakang dengan apa yang mereka katakan lima tahun lalu lewat laporan yang sama. Ketika itu World Bank bilang peraturan ketenagakerjaan tidak atau berdampak minimal pada tingkat pekerjaan. Laporannya bisa dibaca di sini (PDF).

Usulan Bank Dunia ini, seperti bisa ditebak, akan ditentang oleh buruh. Perwakilan Konfederasi Serikat Buruh Internasional (International Trade Union Confederation), Peter Bakvis, menilai usulan tersebut merupakan bentuk kemunduran. Bakvis menyebutkan rekomendasi ini tidak sesuai dengan agenda kemakmuran bersama yang digagas Presiden Bank Dunia, Jim Yong Kim.

Infografik Robot Pengancam Buruh

Bakvis berpendapat bahwa usulan itu hampir sepenuhnya "mengabaikan hak-hak pekerja."

"Visi ini akan membuat perusahaan terbebas dari beban kontribusi untuk jaminan sosial, punya fleksibilitas untuk membayar upah serendah yang diinginkan, serta memecat sesuka hati," kata Bakvis di Washington DC, Amerika Serikat, kepada The Guardian.

"Serikat pekerja pun akan memiliki peran yang berkurang dalam pengaturan baru yang bertujuan untuk memperluas suara pekerja," tambahnya.

Seorang juru bicara Bank Dunia yang tidak disebutkan namanya mengatakan kepada The Guardian bahwa gagasan pada laporan tersebut dapat diaplikasikan pemerintah di seluruh dunia. Ia berharap usulan ini dapat menciptakan manfaat bagi buruh, dan semua masyarakat.

"Untuk menghapus kemiskinan dan meningkatkan kemakmuran bersama, kita perlu mempertimbangkan inisiatif-inisiatif baru guna mengatasi gangguan yang pasti akan datang dari berbagai perubahan struktural," katanya.

Revisi UU Ketenagakerjaan

Dalam konteks Indonesia, aturan mengenai ketenagakerjaan diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaaan. Jika rekomendasi Bank Dunia ini hendak diterapkan, maka yang pertama mesti dilakukan adalah merevisi UU ini.

Namun ini sebetulnya bukan perkara baru. Revisi UU Ketenagakerjaan telah diwacanakan sejak lama meski laporan Bank Dunia baru dilansir April lalu. Revisi pertama telah diwacanakan ketika aturan ini baru berusia tiga tahun.

Pun demikian dengan tahun lalu. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengatakan salah satu yang mesti diatur ulang adalah uang pesangon. Sekretaris Umum Apindo, Iftida Yasar mengatakan pengusaha keberatan dengan uang pesangon yang nominalnya sebesar 32 kali gaji.

Bahkan lebih jauh dari revisi, dalam situsnya Apindo merekomendasikan pemerintah dan DPR untuk mengganti UU Ketenagakerjaan dengan UU baru. UU Ketenagakerjaan secara kebetulan lahir pada masa partai yang berkuasa saat ini, melahirkan UU ini 15 tahun lalu.

"Apindo menilai UU No 13/2003 tidak sekadar perlu direvisi, namun arus diganti. Pembentukan UU yang baru harus dilakukan satu paket dengan UU Serikat Pekerja (SP/SB) dan UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) secara komprehensif," tulis mereka pada 19 Mei 2017.

Meski didesak kalangan pengusaha, UU Ketenagakerjaan tetap dalam posisi status quo. Aturan ini tidak masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2018.

Namun, catatan dari Bank Dunia ini menjadi sinyal bahwa gagasan hubungan industrial yang menyesuaikan dengan perkembangan teknologi nampaknya sedang berlangsung di dunia.

Baca juga artikel terkait UU KETENAGAKERJAAN atau tulisan lainnya dari Damianus Andreas

tirto.id - Bisnis
Reporter: Damianus Andreas
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Rio Apinino