Menuju konten utama

ICW Temukan Kekosongan Obat Pasien BPJS PBI pada 4 Kota

Berdasar survei terhadap 400 pasien BPJS Kesehatan pada 4 daerah, ditemukan kekosongan obat memicu potensi pelanggaran (fraud) dalam pengadaan obat di fasilitas kesehatan.

ICW Temukan Kekosongan Obat Pasien BPJS PBI pada 4 Kota
Petugas kesehatan memeriksa seorang warga peserta BPJS Kesehatan di Medan, Sumatera Utara, Rabu (14/11/2018). ANTARA FOTO/Septianda Perdana/hp.

tirto.id - Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis temuan kasus kekosongan obat layanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di sejumlah daerah.

Dari pemantauan 4 daerah, yakni Kota Banda Aceh, Kota Medan, Kota Banten, dan Kota Blitar, ICW menemukan indikasi fraud (potensi pelanggaran) perencanaan dan pengadaan obat di fasilitas kesehatan.

"Tunggakan pembayaran [klaim] dari BPJS ke rumah sakit kemudian dari rumah sakit ke distributor menjadi penyebab kekosongan obat," kata peneliti ICW, Dewi Anggraeni di daerah Cikini, Jakarta, Selasa (26/2/2019).

Dewi mengatakan, temuan itu berasal dari survei yang digelar ICW dan jaringan pemantau periode Juli-Desember 2018.

Terdapat 100 pasien Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Penerima Bantuan Iuran (PBI) pada per daerah yang disurvei dengan metode survei dengan observasi, investigasi, dan wawancara.

Mereka menemukan ada sejumlah pasien tersebut tidak mendapat obat dari rumah sakit.

Rincian survei tersebut, yakni di Medan ada 33 pasien yang membeli obat di 5 rumah sakit. Kemudian, ada 7 pasien di Blitar yang mengalami kasus kekosongan obat pada 8 fasilitas.

Temuan lain, ada 24 pasien di Banten mengalami kekosongan obat pada 4 fasilitas kesehatan. Lalu, ada 21 pasien mengalami kekosongan obat di 5 rumah sakit.

"Mereka yang [mengalami] kekosongan obat, akhirnya mengeluarkan biaya tambahan sebesar Rp8 ribu hingga Rp750 ribu untuk mendapatkan obat dari tempat lain," ungkap dia.

Persoalan lain yang mendorong stok obat kosong, kata Dewi, terdapat pada pengelolaan Rencana Kebutuhan Obat (RKO) yang bermasalah.

ICW juga mewawancarai pengelola fasilitas kesehatan. Hasilnya, pembelian obat dalam kurun waktu setahun harus dilaporkan ke dinas kesehatan setiap Maret.

Dalam pengadaan obat oleh fasilitas kesehatan, lanjut Dewi, distributor obat bisa langsung memasok tanpa mekansime lelang, karena kebutuhan obat mendesak.

"Tapi ketika diperbolehkan mengadakan obat ke distributor, nah distributor ini memiliki kemampuan yang misalnya dia bisa produksi kebutuhan satu tahun. Nah, obat butuhnya akhir tahun, tidak mampu produksi obat lagi," kata Dewi.

Proses penunjukan langsung terhadap distributor, kata Dewi berpotensi fraud. Hal ini diperparah dengan temuan ICW, sejumlah rumah sakit belum menerapkan sistem pengadaan, karena tak menerapkan e-katalaog dalam pengadaan obat.

ICW juga menemukan potensi fraud, dari sisi petugas medis (dokter), karena tidak memberikan resep obat berdasarkan acuan formularium nasional. Hal ini diakibatkan, kekosongan obat.

Asisten Deputi Bidang Utilisasi dan Anti-Fraud Rujukan BPJS Kesehatan, Elsa Novelia mengamini temuan ICW. Dia mengakui, masih ada kekosongan obat di sejumlah daerah.

"Kalau kita lihat temuan ICW, kami tidak memungkiri ini masih terjadi. Kami juga masih menemukan itu juga," kata Elsa.

BPJS Kesehatan, kata dia, menerima 487 pengaduan terkait kekosongan obat pada 2017. Kemudian, ada 233 pengaduan serupa pada 2018.

Untuk menekan kekosongan obat, kata Elsa, pemerintah memperbolehkan fasilitas kesehatan membeli obat secara mandiri berdasarkan ketentuan yang ditetapkan, lalu mengklaim biayanya pada pemerintah.

BPJS Kesehatan, kata dia, juga meminta fasilitas kesehatan mengembalikan uang, apabila ada peserta BPJS mengeluarkan uang di luar biaya yang ditentukan.

“Kalau ditemukan kasus seperti itu, kelebihan biaya yang dibayarkan pasien harus dikembalikan,” kata Elsa.

Baca juga artikel terkait BPJS KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Zakki Amali