Menuju konten utama

ICW Sebut Pelemahan KPK Dilakukan Secara Terstruktur dan Sistematis

Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai pelemahan kelembagaan KPK belakangan ini dilakukan secara terstruktur dan sistematis.

ICW Sebut Pelemahan KPK Dilakukan Secara Terstruktur dan Sistematis
Peneliti Transparancy International Indonesia Nur Fajri (kiri) bersama Direktur LBH Jakarta Arif Maulana (kedua kiri), memegang poster berisi penolakan terhadap Calon Pimpinan KPK bermasalah, di Jakarta, Selasa (3/9/2019). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/ama.

tirto.id - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai pelemahan kelembagaan KPK belakangan ini dilakukan secara terstruktur dan sistematis. Hal itu bisa terlihat dari rancangan UU KPK hingga proses seleksi calon pimpinan KPK yang buruk.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan pelemahan lembaga antirasuah itu sebenarnya sudah terindikasi ketika Presiden Jokowi membentuk panitia seleksi KPK secara tergesa-gesa, sehingga menghasilkan 10 nama calon pimpinan yang tidak ideal.

"Kami kecewa setelah pansel tak mepertimbangkan rekam jejak capim. Padahal presiden punya wewenang untuk menelusuri hasil pansel," kata Kurnia di Jakarta, Minggu (08/09/2019).

Selain itu, lanjut Kurnia, ICW juga sudah menyuarakan dugaan pelanggaran kode etik, gratifikasi, hingga uji kualitas ketika pansel melakukan wawancara dan uji publik. Menurutnya, 10 capim KPK ini tak punya kemampuan untuk memimpin KPK hingga 2023.

Ia mencontohkan terdapat sejumlah figur yang dinilai kontraproduktif dan mengebiri kewenangan KPK dalam menindak aparat hukum. Selain itu, ada juga capim yang terindikasi sudah melanggar kode etik, namun tetap saja lolos.

Pelemahan fungsi KPK semakin kuat manakala DPR menghasilkan revisi UU KPK, di mana tidak sesuai dengan harapan banyak orang, terutama dari komisi antirasuah tersebut. Rancangan UU KPK itu terlihat melemahkan, bukan menguatkan fungsi KPK.

Bukan tanpa sebab, ada pihak-pihak tertentu yang ingin melemahkan KPK. Menurut Kurnia, hal itu dikarenakan KPK hingga saat ini berhasil menangkap sejumlah petinggi partai, terutama yang menempati kursi ketua umum.

Sebut saja mantan Ketum Demokrat Anas Urbaningrum didakwa menerima hadiah dari berbagai proyek pemerintah, termasuk proyek Hambalang.

Kemudian mantan Ketum PKS Luthfi Hasan Ishaaq terbukti menerima suap Rp1,3 miliar dari Direktur Utama PT Indoguna Utama Maria Elizabeth Liman, terkait kepengurusan penambahan kuota impor daging sapi, saat masih jadi anggota DPR Komisi 1.

Lalu mantan Ketum PPP Suryadharma Ali, di mana saat itu menjabat sebagai Menteri Agama. Suryadharma terbukti menyalahgunakan wewenangnya selaku Menteri Agama selama pelaksanaan ibadah haji periode 2010-2013.

Ada lagi, mantan Ketum Golkar Setya Novanto dengan kasus korupsi e-KTP sampai kasus terbaru yakni mantan Ketum PPP Muhammad Romahurmuziy yang terjerat soal kasus suap atas jual beli jabatan di Kementerian Agama.

"Dari itu kami tarik memang ada upaya sistematis dari dulu dalam lingkup legislatif untuk mengebiri kewenangan KPK," jelas Kurnia.

Baca juga artikel terkait REVISI UU KPK atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Politik
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Ringkang Gumiwang