Menuju konten utama
30 Maret 2002

Ibu Suri Elizabeth, Perempuan Paling Berbahaya di Eropa dalam PD II

Kisah Ibu Suri Elizabeth dari Keluarga Bowes-Lyon sebagai ikon busana, penyemangat moral di tengah perang, dan figur kunci keluarga Kerajaan Inggris.

Ibu Suri Elizabeth, Perempuan Paling Berbahaya di Eropa dalam PD II
Header Mozaik Ibu Suri Elizabeth dalam PD II. tirto.id/Tino

tirto.id - Setelah Perang Dunia I (1914–1918), kekuatan Jerman dikerdilkan lewat Traktat Versailles yang memiliki cacat mendasar karena secara sepihak membebankan semua konsekuensi peperangan kepada Blok Poros. Anggota-anggota Blok Poros dengan Jerman sebagai anggota utamanya dipaksa kehilangan kekuatan militer, teritori, dan membayar beban material peperangan kepada Blok Sekutu.

Dalam jangka panjang, pemiskinan tersebut menumbuhkan semangat ultranasionalisme yang digunakan secara piawai oleh Adolf Hitler untuk membawa Jerman dalam Perang Dunia II (1939–1945).

Setelah menyerang Polandia pada 1939, Jerman kemudian menyerbu Negeri-negeri Tanah Rendah (termasuk Belanda) yang saat itu menyatakan dirinya netral. Selain itu, pesawat pengebom Jerman juga berhasil memasuki wilayah udara Kerajaan Inggris dan menjatuhkan bom di Istana Buckingham—kedudukan resmi keluarga Kerajaan Inggris.

Seseorang yang dipandang sebagai pahlawan bagi rakyat Inggris dan populasi Eropa Barat pada umumnya adalah Perdana Menteri Inggris petahana, Winston Churchill (menjabat 1940–1945 dan 1951–1955). Oleh Hitler, Churchill dianggap sebagai “laki-laki yang paling berbahaya di Eropa”.

Namun, ada satu sosok lagi yang mungkin luput dari pandangan internasional. Orang yang juga disebut Hitler sebagai “perempuan yang paling berbahaya di Eropa”. Ia adalah Permaisuri Elizabeth (1900–2002), istri dari Raja George VI dari Inggris (bertakhta 1936–1952).

Bom Jatuh di Istana Buckingham

Permaisuri Elizabeth yang kelak dikenal sebagai Ibu Suri Elizabeth dari Keluarga Bowes-Lyon, tampaknya punya arti penting yang sama dengan Churchill bagi rakyat Inggris dan Eropa pada tahun-tahun genting perang. Penulis biografi keluarga kerajaan, William Shawcross, dalam bukunya berjudul Queen Elizabeth The Queen Mother: The Official Biography (2009) meletakkan matriark itu sebagai pasak yang mempertahankan eksistensi keluarga kerajaan.

Pada Perang Dunia II, Elizabeth menjadi pendukung setia suaminya, Raja George VI yang lemah secara psikis dan memiliki gangguan gagap ketika berbicara di depan publik. Untuk mempersiapkan suaminya sebagai figur pilar negara yang dibutuhkan rakyat pada masa krisis, Permaisuri Elizabeth menyewa seorang pengajar pidato, seorang terapis bahasa, dan aktor dari Australia bernama Lionel George Logue (1880–1953). Kisah perjuangan Raja George VI untuk menanggulangi kendala gagap yang ia derita lewat bantuan Lionel Logue menjadi elemen sentral dari film The King’s Speech (2010).

Selain menjadi sosok di balik layar bagi suaminya, Elizabeth juga menyadari tugasnya dalam menjaga semangat rakyat Inggris. Pada 8 September 1940, bom seberat 50 kilogram jatuh di halaman Istana Buckingham. Beruntung bom tersebut tidak seketika meledak dan dapat ditanggulangi oleh otoritas keamanan.

Namun lima hari kemudian, pada 13 September 1940, pagi hari saat raja dan ratu sedang minum teh, mereka dikagetkan oleh suara ledakan dan reruntuhan dari sisi timur istana. Tentara Jerman rupanya menjatuhkan lima peledak yang menghancurkan gerbang istana, kapel, dan sekitaran Monumen Ratu Victoria yang menjadi simbol Imperium Inggris.

Dalam salah satu suratnya yang dikumpulkan William Shawcross dalam Counting One's Blessings: Selected Letters of Queen Elizabeth the Queen Mother (2012), Elizabeth mengingat bahwa hari itu ia mendengar “suara whirr-whirr yang sudah pasti berasal dari pesawat pengebom Jerman!”.

Sang raja dan ratu—sekalipun terkejut luar biasa—kemudian mengunjungi reruntuhan itu. Dengan gaya bicara yang khas, Elizabeth tidak terlihat gentar dan melontarkan komentar, “[…] saya bersyukur, dengan begini saya dapat menatap langsung kepada rakyatku di London Timur”—gerbang timur Istana Buckingham telah runtuh.

Penjaga Keseimbangan

Sepanjang hidupnya, Elizabeth menjunjung tinggi penggambarannya di depan publik. Berbagai sumber media massa merekam bagaimana ia selalu tampak tersenyum dan memiliki penampilan yang tepat untuk setiap acara. Salah satu pribadi yang berperan besar dalam kesuksesan penampilan sang ratu adalah perancang busananya, Norman Hartnell (1901–1979), yang merancang busana-busana paling necis pada zamannya.

Penampilan seperti itu tidak dibuat tanpa alasan. Sebagai pribadi yang lahir pada periode Edwardian, yaitu periode abad ke-19 yang panjang, Elizabeth memandang keluarga kerajaan sebagai kompas moral masyarakat. Oleh sebab itu, sang ratu harus menjaga semacam keseimbangan antara “menjadi dekat dengan masyarakat” dan “menjadi megah”.

Dalam periode perang, kualitas tersebut ditunjukkan oleh Elizabeth. Raja dan ratu Inggris pada waktu itu menghindari kemewahan di tengah perang seperti yang dahulu ditunjukkan Raja Louis XVI (bertakhta 1774–1992) dan permaisurinya, Marie Antoinette (1755–1793).

Raja George VI dan Elizabeth mengikuti aturan kupon jatah bahan pokok dan bahan kain yang berlaku bagi rakyat Inggris karena terjadi kelangkaan komoditas. Namun, seperti yang ditunjukkan oleh sejarawan mode Sandra Boler dalam dokumenter A Century of Queen Mother (2021), Elizabeth bertindak sangat kreatif dengan topinya. Karena kain telah dibatasi—dan Elizabeth mengikuti aturan pembatasan itu dengan baik—satu-satunya aksesoris yang dapat menjadi objek ekspresi perempuan adalah topi. Elizabeth membuat ornamen-ornamen khas perang seperti sayap dari simbol Angkatan Udara Inggris dan simbol imperium. Ini menjadi salah satu penyemangat rakyat di tengah perang.

Karena alasan-alasan itu, Hitler menganggap Elizabeth sebagai perempuan yang memiliki kekuatan besar untuk memengaruhi rakyat dan kebijakan Inggris—dengan raja yang dianggap berada dalam genggamannya dan popularitas pribadinya yang besar. Hitler tidak salah dalam satu sisi karena Elizabeth memang menjadi tiang pancang moral Inggris. Ia juga memiliki opini anti-fasisme kuat yang tidak segan untuk diutarakan.

Namun, untuk menganggap bahwa sang matriark memiliki pengaruh yang besar dalam keputusan Raja George VI tampaknya terlalu mengada-ada. Hubungan publik dan pribadi dari pasangan George-Elizabeth memiliki dua sisi. Di depan publik Elizabeth memang terlihat lebih kuat, lebih bersuara, lebih ekspresif, dan lebih beropini. Namun, kesan ini dipengaruhi oleh kendala psikologis yang dimiliki oleh Raja George VI. Di depan orang-orang terdekat, George tidak menunjukkan gangguan panik seperti yang menimpanya ketika berhadapan dengan publik.

Infografik Mozaik Ibu Suri Elizabeth dalam PD II

Infografik Mozaik Ibu Suri Elizabeth dalam PD II. tirto.id/Tino

Seperti yang ditunjukkan Sarah Bradford dalam The Reluctant King: The Life and Reign of George VI (1989), karena didikan keras dari Raja George V (bertakhta 1910–1936) dan Ratu Permaisuri Mary dari Teck (1867–1953), putra-putri kerajaan pada generasi George VI menumbuhkan berbagai gejala gangguan psikis atau sosial. Kakak George VI, Raja Edward VIII yang memakzulkan diri sendiri, memiliki kencenderungan terobsesi pada perempuan yang lebih dominan, saudara-saudaranya yang lain juga memiliki kecenderungan psikologis yang tidak umum.

Di tengah keadaan seperti ini, Elizabeth memberikan dukungan psikologis yang baik bagi Raja George VI, yaitu dengan memberinya keluarga yang hangat. Hubungan Elizabeth dengan kedua putrinya, Putri Elizabeth (kelak menjadi Ratu Elizabteh II, lahir 1926) dan Putri Margaret (1930–2002), berlangsung seperti teman—sebuah ketidaklaziman dalam standar masanya.

Daya tarik dan kekuatan Elizabeth—baik dalam perang maupun sesudahnya—terletak pada tindakan-tindakannya yang terlihat sepele, namun secara tidak langsung memosisikan keluarga kerajaan sebagai bagian yang tidak tergantikan di Inggris Raya. Ia adalah anggota keluarga kerajaan dengan masa kerja paling lama.

Sepanjang hidupnya yang mencapai satu abad, Ibu Suri Elizabeth (Bowes-Lyon) berperan sebagai ikon busana, penyemangat moral di tengah perang, dan figur kunci keluarga Kerajaan Inggris. Kebenciannya pada fasisme—yang ia pandang sebagai salah satu penyebab beban pikiran yang bermuara pada kematian dini suaminya, Raja George VI—diungkapkan lewat pantun dan frasa penutup surat-suratnya. Misalnya dalam beberapa surat, ia menulis pantun, “Tinkety tonk old fruit [and] down with the Nazis!” dan “Merry Christmas, one and all, and death to Mussolini!” (Heather Horn, “The Queen Mother's Odd Letters” dalam The Atlantic, 5 Desember 2012).

Tepat hari ini dua 20 tahun lalu, setelah melewati hampir 102 tahun kehidupan—sang matriark dari keluarga Kerajaan Inggris itu wafat tanpa pernah pensiun dari tugas publiknya.

Baca juga artikel terkait RATU INGGRIS atau tulisan lainnya dari Christopher Reinhart

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Christopher Reinhart
Penulis: Christopher Reinhart
Editor: Irfan Teguh Pribadi