Menuju konten utama

Hydroxychloroquine untuk COVID-19 Disebut Bisa Tingkatkan Kematian

Menurut sebuah studi, hydroxychloroquine bisa meningkatakan risiko kematian yang tinggi pada pasien COVID-19.

Hydroxychloroquine untuk COVID-19 Disebut Bisa Tingkatkan Kematian
Staf Khusus Kementerian BUMN Arya Sinulingga menunjukkan kotak berisi obat Chloroquine yang akan diserahkan kepada RSPI Sulianti Saroso di Jakarta, Sabtu (21/3/2020).ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/pras.

tirto.id - Pasien yang diberikan hydroxychloroquine untuk pengobatan COVID-19 bisa menyebabkan risiko kematian yang tinggi saat menggunakannya.

Sebuah studi di Columbia VA Health Care System di Universitas South Carolina dan Universitas Virginia menyebutkan, tidak menemukan manfaat hydroxychloroquine, yang ada justru tingkat kematian yang lebih tinggi pada pasien yang menggunakan hydroxychloroquine.

Seperti dilansir dari CNN, Kamis (30/4/2020), penelitian soal hydroxychloroquine yang mengulas grafik medis veteran itu diposting Selasa di medrxiv.org. Penelitian ini didanai oleh National Institutes of Health dan University of Virginia.

Dalam studi 368 pasien, 97 pasien yang menggunakan hydroxychloroquine memiliki tingkat kematian 27,8 persen. Sementara 158 pasien yang tidak menggunakan obat tersebut memiliki tingkat kematian 11,4 persen.

"Asosiasi peningkatan kematian secara keseluruhan diidentifikasi pada pasien yang diobati dengan hydroxychloroquine saja. Temuan ini menyoroti pentingnya menunggu hasil studi prospektif, acak, terkontrol sebelum adopsi yang luas dari obat ini," tulis para penulis tersebut.

Para peneliti juga melihat apakah pengambilan hydroxychloroquine atau kombinasi hydroxychloroquine dan antibiotik azithromycin memiliki efek, dan apakah pasien perlu menggunakan ventilator.

"Dalam penelitian ini, kami tidak menemukan bukti bahwa penggunaan hydroxychloroquine, baik dengan atau tanpa azitromisin, mengurangi risiko ventilasi mekanik pada pasien yang dirawat di rumah sakit dengan Covid-19," tulis para penulis.

Saat ini, tidak ada produk yang disetujui oleh Administrasi Makanan dan Obat AS atau Food and Drug Administration (FDA) untuk mencegah atau mengobati COVID-19, meskipun penelitian sedang dilakukan pada banyak obat.

Hydroxychloroquine telah digunakan selama beberapa dekade untuk mengobati pasien dengan penyakit seperti malaria, lupus dan rheumatoid arthritis.

Presiden Donald Trump juga telah menggembar-gemborkan obat ini sebagai game changer untuk COVID-19 dan mengatakan hydroxychloroquine menunjukkan "janji yang luar biasa."

Sementara Trump mengaku antusias dengan obat ini, para dokter telah memperingatkan bahwa masih perlu dipelajari untuk melihat apakah penggunaan hydroxychloroquine bekerja dan apakah itu aman.

Dalam studi terbaru lainnya, para peneliti di Perancis memeriksa rekam medis untuk 181 pasien COVID-19 yang menderita pneumonia dan membutuhkan oksigen tambahan.

Sekitar setengahnya menggunakan hydroxychloroquine dalam waktu 48 jam setelah dirawat di rumah sakit, dan setengahnya tidak.

Ditemukan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik dalam tingkat kematian kedua kelompok, atau peluang mereka untuk dirawat di unit perawatan intensif.

Namun, ditemukan delapan pasien yang menggunakan obat tersebut mengalami irama jantung abnormal dan harus berhenti meminumnya. Penelitian ini juga belum diterbitkan dalam jurnal medis.

FDA Larang Hydroxychloroquine

Sebelumnya, FDA memperingatkan para konsumen agar tidak menggunakan obat malaria chloroquine dan hydroxychloroquine untuk mengobati COVID-19 di luar rumah sakit setelah adanya laporan kematian dan keracunan.

Menurut FDA seperti dikutip dari CNBC, pasien yang menggunakan obat untuk alasan yang disetujui, termasuk malaria atau untuk mengobati kondisi autoimun seperti lupus, harus terus minum obat sesuai resep.

Badan itu juga mengatakan mereka mengetahui laporan masalah irama jantung yang serius pada pasien dengan virus yang diobati dengan obat malaria, sering dalam kombinasi dengan antibiotik azithromycin, yang umumnya dikenal sebagai Z-Pak.

FDA juga memperingatkan dokter agar tidak meresepkan obat untuk mengobati virus corona di luar rumah sakit.

"Hydroxychloroquine dan chloroquine dapat menyebabkan irama jantung yang tidak normal seperti perpanjangan interval QT dan denyut jantung yang cepat dan berbahaya yang disebut ventricular tachycardia," tulis badan tersebut dalam pemberitahuan itu.

"Kami akan terus menyelidiki risiko yang terkait dengan penggunaan hydroxychloroquine dan chloroquine untuk COVID-19 dan berkomunikasi secara publik ketika kami memiliki informasi lebih lanjut," tambahnya.

Peringatan FDA dikeluarkan setelah Journal of the American Medical Association (JAMA) berbagi hasil penelitian dengan komunitas ilmiah dan belum mempublikasikannya.

Tidak ada perawatan yang terbukti untuk COVID-19, yang telah menginfeksi lebih dari 2,7 juta orang di seluruh dunia dan membunuh setidaknya 191.231 pada Jumat pagi, menurut data yang dikumpulkan oleh Universitas Johns Hopkins.

Pejabat kesehatan A.S. mengatakan, vaksin untuk mencegah penyakit ini akan memakan waktu setidaknya 12 hingga 18 bulan, yang berarti penting untuk segera menemukan pengobatan ang efektif.

Chloroquine dan hydroxychloroquine diketahui memiliki efek samping yang serius, termasuk kelemahan otot dan aritmia jantung.

Chloroquine disetujui oleh FDA pada tahun 1949 untuk mengobati malaria. Turunannya, hydroxychloroquine, sering digunakan oleh dokter untuk mengobati rheumatoid arthritis dan lupus.

Obat Remdesivir untuk COVID-19

Data dari Johs Hopkins University mencatat, Kasus meninggal dunia akibat virus corona di Amerika Serikat hingga Kamis (30/4/2020) pagi telah mencapai angka lebih dari 60.000 orang.

Angka tersebut pernah diproyeksikan Presiden Trump akan menjadi batas atas, karena harapan meningkat untuk penggunaan obat remdesivir yang menurut pakar penyakit menular di A.S. telah menunjukkan manfaat yang jelas dalam uji coba awal.

Trump menyambut tanda-tanda awal yang menjanjikan bahwa obat antivirus eksperimental, remdesivir, dapat efektif dalam mempercepat waktu pemulihan untuk pasien yang berusia 19 tahun.

“Data menunjukkan bahwa remdesivir memiliki efek positif yang jelas, signifikan, dalam mengurangi waktu untuk pemulihan. Itu benar-benar sangat penting," kata Anthony S. Fauci bersama Trump di Gedung Putih, Rabu (29/4/2020), seperti dilansir dari The Washingthon Post, hari ini.

Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular, yang dipimpin Fauci, mengawasi penelitian lebih dari 1.000 pasien di Amerika Serikat dan di seluruh dunia.

Penelitian menunjukkan bahwa pasien yang diobati dengan remdesivir siap untuk keluar dari rumah sakit dalam waktu rata-rata 11 hari dibandingkan dengan rata-rata 15 hari untuk pasien yang telah menerima plasebo.

"Apa yang telah dibuktikan adalah bahwa obat dapat memblokir virus ini," kata Fauci.

Namun menurut hasil uji coba sebelumnya, remdesivir juga memiliki efek samping yang serius, termasuk kehilangan fungsi ginjal dan penurunan tekanan darah.

Gejala-gejala tersebut disebabkan oleh kasus COVID-19 yang parah, sehingga sulit untuk menentukan masalah mana yang disebabkan oleh obat dan oleh penyakit apa.

Baca juga artikel terkait HYDROXYCHLOROQUINE atau tulisan lainnya dari Dewi Adhitya S. Koesno

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Dewi Adhitya S. Koesno
Editor: Agung DH