Menuju konten utama

Hutan Masyarakat Adat Makin Terimpit Lahan Sawit

Ekspansi lahan sawit di wilayah hutan adat menimbulkan penderitaan dan permasalahan baru bagi komunitas-komunitas adat di Kalimantan hingga Papua.

Hutan Masyarakat Adat Makin Terimpit Lahan Sawit
Sejumlah truk pengangkut kelapa sawit mengantre untuk melewati jalan rusak di Mesuji Raya, OKI, Sumatera Selatan, Rabu (11/1). ANTARA FOTO/Budi Candra Setya.

tirto.id - Sejak 2011 perusahaan kelapa sawit merobohkan tegakan di hutan adat Utaq Melinau, ladang penghidupan masyarakat Dayak Benuaq di Kampung Muara Tae, Kutai Barat, Kalimantan Timur. Sejak saat itu juga mereka mulai meningkatkan perjuangan mereka untuk mempertahankan tanah leluhur.

Dalam laporan Antara dua tahun lalu, pokok persoalannya bisa ditelusuri hingga 1971 saat pertama perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) dan para pemilik modal mulai membabat hutan untuk beragam kepentingan. Dampaknya wilayah hutan Utaq Melinau seluas 300 hektar kini bertumpang tindih dengan perkebunan sawit. Kondisi ini kemudian melahirkan beragam masalah baru yang tak pernah tak dihadapi masyarakat setempat sebelumnya.

Tokoh adat Muara Tae Petrus Asuy bercerita bahwa mereka dulu sempat memanfaatkan lahan tumpang tindih itu untuk direhabilitasi dan ditanami kembali dengan bibit kapur, nyatih, ulin, hingga gaharu—jenis-jenis tanaman lokal, dengan harapan bisa diambil hasilnya untuk menopang kebutuhan hidup. Mereka juga menanam pisang dan karet di dua tempat seluas lima hektar. Sayang, perjuangan itu mesti berakhir dengan sia-sia.

“Gagal (panen) karena kena semprot hama sawit,” kata Petrus.

Jarak perkebunan sawit dan pemukiman yang makin dekat--kurang lebih 500 meter juga meningkatkan potensi kekeringan. Sumber mata air di Muara Tae kini hanya satu karena hutan-hutan telah menghilang. Masyarakat setempat terpaksa membeli air yang dijual dengan tangki dan airnya diambil dari bekas tambang. Sungai sekitar kampung sudah tercemar dan penuh lumpur karena tercampur dengan obat hama untuk sawit.

Permasalahan kedua yakni lahirnya konflik horizontal. Mantan kepada Desa Muara Tae sekaligus anak Petrus, Masrani, berkata bahwa dari 12.000 hektar wilayah adat yang ditandai batas-batas alam seperti aliran sungai, perbukitan, dan pepohonan kini hanya tersisa 4.000 hektar saja. Masyarakat adat tak mengenal batas alam. Namun sejak muncul perusahaan sawit, masyarakat adat setempat mau tak mau harus melakukan perlawanan.

Perusahaan kelapa sawit dianggap bertindak secara sewenang-wenang. Pohon-pohon diratakan dengan tanah dan keesokan harinya sudah ditanami bibit kelapa sawit. Padahal hutan yang telah hadir dan memberikan banyak hal pada masyarakat Dayak Benuaq sejak nenek moyang. Mereka kemudian melakukan penjagaan di pondok jaga secara bergantian. Pondok tersebut sengaja dibangun di dalam hutan-hutan adat.

Muara Tae adalah satu dari 12 kampung di Kecamatan Jempang, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur yang masih memiliki kawasan hutan adat. Keganasan perusahaan sawit dalam mencaplok lahan membuat Muara Tae disesaki oleh warga dari tiga kecamatan lain yakni Siluq Ngurai, Muara Pahu, dan Jempang yang ingin tetap berladang. Luas lahan akhirnya makin mengecil, tapi harus dipakai untuk memenuhi 600 kepala keluarga (KK) dari yang sebelumnya hanya 500 KK. Ini konsekuensi dari ekspansi perkebunan lahan sawit yang mengepung mereka.

Dalam acara Pencanangan Pengakuan Hutan Adat Tahun 2016 di Istana Negara, Jakarta pada Jumat (30/12/2016), Presiden Joko Widodo justru mengeksklusifkan hutan adat Suku Dayak Benuaq di Kampung Muara Tae. Sayangnya hutan adat di Kabupaten Kutai Barat tak dimasukkan dalam sembilan kawasan yang dianggap telah memenuhi peraturan perundangan hutan adat.

Infografik Ekspansi Lahan Sawit

Surga Sawit di Tanah Borneo

Kalimantan adalah surga bagi para pemodal yang mengeruk keuntungan berkat lahan sawit. Harga dan permintaan minyak sawit yang tinggi di tingkat global pelbagai perusahaan berusaha keras menanam sawit di bumi Borneo, meski harus mengorbankan hutan adat.

Lahan adat yang diresmikan Presiden Jokowi di istana dalam acara yang meriah memiliki luas yang tak sebanding dibandingkan dengan betapa luasnya perkebunan kelapa sawit. Dalam pernyataan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, luas hutan adat yang dibagi ke sembilan kelompok masyarakat itu total seluas 13.122,3 hektar. Bandingkan dengan luas total perkebunan sawit di Kalimantan pada 2014 yang mencapai 3,471 juta hektar.

Angka yang dicatat Statistik Perkebunan Indonesia itu kini terus bertambah dan memang meningkat perlahan tapi pasti sejak 2009. Pada 2009 total luas areal kelapa sawit di Kalimantan masih 2,355 juta hektar. Laju pertumbuhannya yang rata-rata 6 persen per tahun bertambah luas jadi 3,306 juta hektar pada 2013. Laju pertumbuhan paling tinggi tercatat dari 2010 ke 2011 yakni sebesar 13,02 persen, dari 2,462 juta hektar menjadi 2,782 juta hektar.

Kalimantan Tengah (Kalteng) menjadi provinsi dengan perkebunan sawit terluas yakni mencapai angka lebih dari 1 juta hektar. Capaian ini tak mampu diraih provinsi Kalimantan Barat, Selatan, Timur, maupun Utara. Sejak 2009 lahan sawit Kalteng saja sudah 1,037 juta hektar, dimana luas perkebunan sawit di provinsi-provinsi tetangga hanya setengahnya. Lewat laju pertumbuhan yang dinamis, pada 2014 luasnya sudah mencapai 1,156 juta hektar di Kalteng.

Suku Dayak Benuaq hanyalah satu dari sekian banyak suku adat di Kalimantan yang harus menderita akibat ekspansi sawit. Suku-suku lain di Pulau Sumatera, Sulawesi, Maluku, hingga Papua, juga mengalami nasib yang sama. Dalam perbandingan tingkat nasional, Kalimantan masih kalah dengan Sumatera dalam hal lahan perkebunan sawit yang luasnya mencapai 7,2 juta hektar. Posisi selanjutnya ditempati Sulawesi seluas 349.464 hektar, Maluku dan Papua 135.303 hektar, dan Jawa 36.163 hektar.

Menurut data dari Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian, luas lahan perkebunan kelapa sawit nasional pada tahun 2013 seluas 10,465 juta hektar, Pada 2014 bertambah menjadi 10,956 juta hektar, dan pada 2015 sudah menembus angka 11,444 juta hektar. Perluasan ini kini terus berjalan, dan dampaknya pada masyarakat sekitar perkebunan termasuk masyarakat adat.

Di Papua, misalnya, pada Januari lalu Pemimpin Gereja Katolik Keuskupan Timika kembali mengkritik keras kebijakan pemerintah di Papua yang terus memberikan izin pembukaan lahan kepada perkebunan kelapa sawit. "Masyarakat Papua makan sagu, makan umbi-umbian, makan pisang. Kita bukan makan kelapa sawit," kata Mgr John Philip Saklil Pr dikutip dari Antara.

Adanya lahan perkebunan sawit seperti di Papua, membuat warga setempat tidak lagi memiliki lahan untuk ditanami sagu dan umbi-umbian karena tanah mereka dijual untuk menjadi perkebunan. Masyarakat di Keerom, Papua misalnya, tak menjadi kaya dengan datangnya perusahaan sawit ke wilayah mereka.

Apa yang terjadi di Papua jadi gambaran bahwa pemerintah daerah tidak hanya memikirkan pendapatan sebesar-besarnya dari investasi perkebunan kelapa sawit, tetapi juga harus memperhatikan dampak sosial dan keberlangsungan hidup masyarakat setempat serta dampak ekologis dari kerusakan lingkungan.

Dampak negatif bagi masyarakat adat dengan kehadiran perkebunan sawit memang harus membuka mata perusahaan sawit dan pemerintah, di tengah kampanye-kampanye negatif sawit Indonesia di dunia. Perusahaan sawit bisa memulai mereduksi kampanye negatif itu dengan lebih memperhatikan masyarakat adat di area perkebunan sawit mereka.

Baca juga artikel terkait PERKEBUNAN SAWIT atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Suhendra