Menuju konten utama

HUT RI ke-75, Asal Usul Gapura dan Arti dalam Merayakan Kemerdekaan

Dari mana asal usul Gapura yang biasanya dipakai untuk memeriahkan Hari Kemerdekaan RI? 

HUT RI ke-75, Asal Usul Gapura dan Arti dalam Merayakan Kemerdekaan
Ilustrasi. Bendera merah putih raksasa berkibar di puncak Menara Suar Kupang di Kota Kupang, NTT, Sabtu (8/8/2020). ANTARA FOTO/Kornelis Kaha/wsj.

tirto.id - Indonesia akan merayakan Hari Kemerdekaan yang ke-75 pada 17 Agustus 2020 mendatang.

Biasanya, rakyat Indonesia selalu melakukan sejumlah kegiatan untuk menyambut hari perayaan tersebut.

Misalnya seperti gotong royong membersihkan desa, memasang bendera, hingga membangun atau mengecat gapura atau gerbang pintu masuk di setiap desa atau daerah.

Lalu, apa sebenarnya yang mendasari adanya pembangunan gapura di hampir semua desa di Indonesia? Bahkan, setiap tahunnya, warga bergotong royong mengecat gapura untuk merayakan hari kemerdekaan Indonesia.

Dilansir dari jurnal berjudul “Karakteristik Gapura di Kecamatan Kebakramat Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah” yang ditulis oleh Umi Kholisya, gapura berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu “Gapura” yang berarti pintu gerbang.

Pada hakikatnya, gapura terdiri dari dua tipe, yakni Gapura Paduraksa dan Gapura Bentar. Gapura dapat dikatakan sebagai bentuk ekpresi yang terkait dengan status sosial masyarakat Indonesia.

Karakteristik gapura juga biasanya dibuat berdasarkan unsur-unsur visual berupa ornamen-ornamen yang mencirikan daerah tempat dibangunnya gapura tersebut.

Pada zaman dulu, candi adalah pengetahuan dasar seni dalam membangun gapura, yaitu sebuah bangunan yang berada pada jalan masuk atau keluar dari suatu tempat, lahan, atau wilayah.

Gapura sendiri bisa berfungsi sebagai petunjuuk bahwa adanya batas wilayah atau pintu keluar masuk yang terletak pada dinding pembatas sebuah kompleks bangunan tertentu.

Sejarah gapura di Indonesia sendiri diawali pada masa kerajaan Majapahit dengan ditemukannya Candi Wringin di Lawang yang berbentuk Bentar dan Candi Bajang Ratu Baka yang berbentuk Paduraksa.

Pada masa itu, candi Bentar adalah pintu gerbang untuk memasuki halaman paling depan atau teras. Bentuk tersebut juga masih bertahan hingga masuknya Islam ke Indonesia.

Sebagaimana dikutip dari jurnal Cakrawala Pendidikan, gapura juga bisa disebut sebagai gerbang atau regol.

Sejak zaman purba (pengaruh kebudayaan Hindu), madya (pengaruh budaya Islam), dan zaman kemerdekaan, gapura telah menunjukkan keberadaannya secara gamblang.

Hal itu dapat dilihat dengan adanya gapura Keraton Ratu Baka di sebelah Selatan candi Prambanan Yogyakarta, gapura di pura-pura (kuil) yang ada di Bali, hingga gapura di Masjid Agung Yogyakarta.

Gapura sendiri secara umum adalah sebutan istilah pintu masuk masjid, candi, rumah bangsawan, keraton, desa, dan negara.

Gapura sebagai suatu karya arsitektur yang mencerminkan ciri budaya dari kelompok manusia yang menciptakannya.

Sehingga, kegiatan mengecat atau membersihkan gapura biasanya dilakukan oleh warga Indonesia setahun sekali, yakni menjelang peringatan hari kemerdekaan Indonesia

Tujuannya adalah untuk kembali mengingat ciri budaya daerah masing-masing serta menjunjung tinggi kebiasaan warga Indonesia yang sudah ada sejak zaman dulu tersebut.

Tahun ini, tema besar yang digunakan untuk merayakan hari kemerdekaan adalah Indonesia Maju.

Tema Besar Indonesia Maju adalah sebuah representasi dari Pancasila sebagai pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Menurut Kementerian Sekretariat Negara, tema ini merupakan simbolisasi dari Indonesia yang mampu memperkokoh kedaultan, persatuan, dan kesatuan.

Makna Kemerdekaan saat ini bukan hanya sebagai kata, kemerdekaan adalah kesempatan. Kesempatan untuk bermimpi hingga jadi nyata dan kesempatan untuk berkarya tanpa batas.

"Sekarang saatnya kita fokus kepada hal yang benar-benar penting dalam menyatukan keberagaman melalui kolaborasi untuk memperkenalkan jati diri bangsa Indonesia," tulis Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg).

Baca juga artikel terkait HUT RI KE-75 atau tulisan lainnya dari Maria Ulfa

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Maria Ulfa
Penulis: Maria Ulfa
Editor: Yandri Daniel Damaledo