Menuju konten utama

HUT RI ke-50: Pameran Kejayaan Orde Baru Menjelang Keruntuhannya

Peringatan HUT ke-50 Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1995 bukan lagi soal Proklamasi Kemerdekaan tetapi ambisi kejayaan politik Orde Baru.

HUT RI ke-50: Pameran Kejayaan Orde Baru Menjelang Keruntuhannya
Potret besar Presiden Indonesia Soeharto di Lapangan Monumen Nasional, Rabu, 16 Agustus 1995. AP/Mike Fiala

tirto.id - Peringatan HUT ke-50 Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1995 adalah perayaan hari merdeka paling membekas dalam ingatan anak-anak generasi 90-an. Serangkaian lomba, pawai, dan acara perayaan berbalut simbol-simbol perjuangan digelar serentak di setiap kampung dan permukiman. Suasananya yang meriah adalah puncak euforia kemerdekaan yang sudah dirasakan masyarakat sejak beberapa bulan sebelumnya.

Mendekati detik-detik 17 Agustus, film-film bertemakan sejarah perjuangan seolah menjadi tontonan wajib di televisi. Film-film drama peperangan seperti Janur Kuning, Serangan Fajar, dan Soerabaja '45 disiarkan silih berganti selama satu bulan penuh. Saat jeda pariwara tiba, iklan layanan masyarakat bertema kemerdekaan dengan lagu pengiring Terima Kasih Indonesia yang dinyanyikan oleh artis-artis ibukota selalu muncul di televisi. Puncaknya adalah siaran langsung Pesta Rakyat Indonesia Emas yang diselenggarakan pada tanggal 12 Agustus dan disiarkan ulang ke 53 negara melalui jaringan televisi internasional Star-TV.

Jauh-jauh hari, setiap desa atau rukun warga disibukkan oleh persiapan yang lumayan panjang. Warga kampung bergotong-royong membangun gapura dan memasang ornamen merah-putih berpola seragam dengan logo “50 Tahun Indonesia Merdeka”. Tulisan tinta emas dengan gambar dasar lima bendera merah-putih berkibar itu kemudian dikenal sebagai logo resmi pertama HUT RI yang pernah dirilis pemerintah Indonesia.

Angka 5 menjadi angka sakral pada peringatan menyambut ulang tahun emas Republik Indonesia tahun itu. Dalam upacara bendera di Istana Negara, Presiden Soeharto mengundang sekitar 5.000 orang pegawai pemerintahan, veteran, dan anggota organisasi kemasyarakatan. Aubadenya melibatkan tidak kurang dari 5.200 paduan suara siswa, pemain angklung, dan korps musik remaja asal Jakarta.

Selang satu pekan kemudian, tepatnya pada 26 Agustus, tasyakuran memperingati ulang tahun RI digelar di Istana Merdeka. Presiden Soeharto dan Ketua ICMI, BJ Habibie, hadir dalam rangka memberikan amanat dan pesan bagi umat Islam dalam menghadapi era IPTEK. Acara kemudian diikuti pembacaan zikir oleh sekitar 5.000 orang Majelis Taklim dan 2.500 santri yang membawakan konfigurasi seni gerak dan lagu.

Peringatan Hari Kemerdekaan RI tahun 1995 semakin gegap gempita berkat simbol-simbol perjuangan yang dikombinasikan dengan nilai-nilai kerakyatan ala Orde Baru. Pada titik ini, Soeharto dengan percaya diri memanfaatkan momentum peringatan 50 Tahun Indonesia Merdeka sebagai latar pameran keberhasilan pembangunan Orde Baru yang sudah berlangsung selama hampir tiga dasawarsa.

Perayaan yang Dikomando

Peringatan 17 Agustus 1995 menandai persiapan menyambut hari kemerdekaan yang lebih sistematis dan terkomando dibandingkan sebelumnya. Jauh-jauh hari, pemerintah sudah menetapkan agar pelaksanaan peringatan melibatkan partisipasi rakyat secara merata dari seluruh wilayah. Untuk itu, terdapat seruan agar seluruh lapisan masyarakat dari desa sampai kota besar membuat peringatan dengan caranya masing-masing.

Pada 3 Februari, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden No.7 Tahun 1995 tentang Panitia Nasional Penyelenggara Peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan RI ke-50. Panitia yang diketuai oleh Menteri Sekretaris Negara, Moerdiono, ini diberi tugas mempersiapkan pedoman dan petunjuk tentang kegiatan perayaan yang akan diselenggarakan di seluruh Indonesia, dari tingkat pusat sampai ke daerah.

Menurut pewartaan Kompas (7/3/1995), panitia nasional menetapkan bahwa setiap daerah berhak menyelenggarakan perayaan secara mandiri namun tetap berpedoman kepada petunjuk pemerintah pusat. Perayaan kemerdekaan kala itu setidaknya wajib memenuhi satu dari tiga ciri pokok yang telah ditentukan, yakni: pembangunan berdasarkan Pancasila, semangat kerakyatan, dan wawasan masa depan.

Dalam melaksanakan tugas kepanitiaan, Moerdiono dibantu ekonom Emil Salim selaku Wakil Ketua Harian. Sosok yang disebut-sebut sebagai bagian dari Mafia Berkeley itu bertugas memastikan peringatan 50 Tahun Indonesia Merdeka bebas dari proyek mencari keuntungan oleh banyak pihak. Lebih jauh dia mengklaim bahwa perayaan ulang tahun emas Kemerdekaan Indonesia akan diselenggarakan seperti pesta rakyat yang mirip dengan lebaran.

“Ini pesta rakyat. Jadi cara bersyukur kita terserah rakyat. Panitia tidak ingin menentukan,” katanya seperti dikutip Kompas (17/4/1995).

Infografik 50 Tahun Indonesia Merdeka

Infografik 50 Tahun Indonesia Merdeka. tirto.id/Fuadi

Pameran Kejayaan Orde Baru

Sejarawan Anthony Reid dalam artikel “Remembering and Forgetting War and Revolution” secara spesifik menyebut peringatan HUT ke-50 Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1995 sebagai bentuk komemorasi dari prestasi pemerintahan Soeharto mempertahankan Republik Indonesia selama lebih dari seperempat abad. Untuk itu, tidak mengherankan jika pemerintah kala itu berusaha mengecilkan peran tokoh-tokoh revolusi seperti Sukarno, Mohammad Hatta, atau Sutan Sjahrir.

“Bagi Soeharto, peringatan harus berfokus pada prestasi selama 30 tahun berkuasa, sebagai perwujudan nyata dari 20 tahun perjuangan menyakitkan yang mendahuluinya,” tulis Reid dalam tulisan yang terbit di buku Beginning to Remember: The Past in the Indonesian Present (2005: 174).

Cara Orde Baru menonjolkan kekuasaan itu tercermin dari upaya pemerintah menerbitkan buku sejarah bergambar berjudul 50 Tahun Indonesia Merdeka (1995). Terdapat dua jilid buku setebal 900 halaman yang masing-masing merinci kembali narasi sejarah populer Indonesia yang dibagi ke dalam dua periode tahun 1945-1965 dan 1965-1995.

Pada 12 Agustus 1995, kedua buku tersebut diluncurkan dalam sebuah acara resmi yang masih satu rangkaian peringatan hari ulang tahun emas Kemerdekaan RI. Jilid pertama menggambarkan Indonesia pada periode pemerintahan Sukarno sebagai negara yang dipenuhi krisis politik. Sementara jilid kedua dimulai dari peristiwa penghancuran PKI dan diakhiri dengan segala bentuk kebaikan program-program pembangunan Orde Baru.

Hal tersebut kembali diungkit dalam Pidato Kenegaraan Presiden di depan Sidang DPR tanggal 16 Agustus. Pada kesempatan itu, Soeharto menyebut tercapainya stabilitas nasional terpanjang sejak Proklamasi Kemerdekaan lahir berkat hasil kerja kolektif yang terdapat dalam REPELITA, Keluarga Berencana, Wajib Belajar Enam Tahun, Transmigrasi, dan Swasembada Beras. Dia juga menunjuk pada peristiwa uji terbang perdana pesawat N-250 Gatotkaca enam hari sebelumnya sebagai salah satu pencapaian terpenting.

“Renungan kita bertambah khusus, karena kita mengalami kurun stabilitas nasional, pemerataan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi yang paling lama sejak Proklamasi Kemerdekaan, yaitu selama tiga dasawarsa,” kata Soeharto dalam pidatonya.

Soeharto di fase terakhir periode kepemimpinannya pada medio 1990-an memang sedang ditantang banyak kekuatan baru. Para pesaingnya seperti Megawati atau Gus Dur dari Forum Demokrasi mulai punya suara menentang Soeharto. Maka ketika momen peringatan setengah abad Indonesia merdeka tiba, dia tidak ingin membuang banyak waktu. Demi memperkuat posisinya dalam sejarah Indonesia, peringatan Hari Kemerdekaan bukan hanya tentang peristiwa 17 Agustus 1945, tetapi juga soal kejayaan politik Orde Baru.

Baca juga artikel terkait HUT RI atau tulisan lainnya dari Indira Ardanareswari

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Indira Ardanareswari
Editor: Irfan Teguh