Menuju konten utama

Huru-Hara pada Pertemuan G20, Tradisi Protes Black Bloc

Barisan Black Bloc selalu hadir dalam protes-protes anti-globalisasi. Taktik Black Bloc digunakan untuk bersiasat dengan represi polisi

Huru-Hara pada Pertemuan G20, Tradisi Protes Black Bloc
Anggota Black Bloc menentang Presiden Mohamed Mursi dalam protes Anti Mursi dan Muslim Brotherhood di Tahrir Square, Kairo, 15 Februari 2013. REUTERS/Amr Abdallah Dalsh (EGYPT - Tags: POLITICS CIVIL UNREST) - RTR3DU9O

tirto.id - Pakaian serba hitam, molotov, bentrok dengan polisi, pentungan baseball, batu, ‘sepakbola’ gas air mata—pemandangan ini muncul di berbagai berita tentang protes sepanjang pertemuan G20 di Hamburg, Jerman.

Sejumlah media menyebut mereka organisasi “perusuh”, “preman”, “anak muda berandalan”, dst. Black Bloc, barisan hitam-hitam itu, selalu dibicarakan tiap kali forum-forum ekonomi yang dihadiri para pejabat dunia. Jauh sebelum Hamburg, Black Bloc telah muncul dalam pemberitaan-pemberitaan berbahasa Inggris setidaknya sejak aksi-aksi protes menyambut pertemuan WTO di kota Seattle 1999.

Dalam video-video demonstrasi Seattle, diperlihatkan barisan berpakaian hitam memecahkan deretan jendela bank dan toko-toko mewah di jalan-jalan utama.

Stephen D’arcy, dalam Languages of the Unheard: Why Militant Protest is Good for Democracy (2014), mengatakan bahwa Black Bloc terlihat mencolok karena demonstrasi damai telah menjadi norma dan gagal merebut perhatian publik. Ia memanfaatkan pola-pola pemberitaan di media yang cenderung berfokus pada beberapa jenis tindakan seperti perusakan atau pengotoran taman alih-alih menelusuri pesan yang dibawa demonstran, lalu membuatnya menjadi promosi gratis.

Ideologi dan Taktik

Bermula di Berlin, pada Hari Buruh Internasional 1988, Black Bloc muncul sebagai reaksi atas pendekatan represif polisi terhadap demonstrasi damai. Aktivis-aktivis kiri Jerman memandang Black Bloc sebagai koreksi atas, tulis D’Arcy, “kepasifan dan kegagalan menghadapi represi polisi yang melanda gerakan anti-perang arus utama yang dipengaruhi Gandhi.”

Mengambil inspirasi dari tradisi klasik pembangkangan sipil, protes-protes liar kelompok Autonomen di Jerman Barat pada 1970an dan gerakan mahasiswa pada Peristiwa Mei 1968 yang melumpuhkan Paris selama beberapa minggu, Black Bloc merupakan sebuah taktik. Sebagaimana yang dikatakan Francis Dupuis-Déri dalam Who's Afraid of the Black Blocs?: Anarchy in Action Around the World (2013), Black Bloc bekerja dengan membentuk formasi relatif kecil dan disiplin di dalam aksi protes yang lebih besar. Prinsip anonimitas kolektif dipraktikkan dengan mengenakan atribut berwarna hitam sekujur tubuh, untuk menunjukkan simbol “bendera hitam besar” dalam arak-arakan, tulis Dupuis-Déri.

Taktik Black Bloc memiliki kedekatan dengan—atau lahir dari—kultur aktivisme gerakan anarkis, anti-otoritarian, anti-kapitalis, serta anti-fasis. Anarkisme--gerakan politik yang menghendaki demokrasi langsung dengan cara meminimalisir (bahkan meniadakan) mekanisme representatif yang diselenggarakan negara—turut memberi warna dalam dalam protes-protes anti-globalisasi yang meledak hanya delapan tahun sejak Uni Soviet bubar dan pasar bebas mengklaim sebagai pemenang.

Encyclopedia of Activism and Social Justice (2007) mendefinisikan gerakan anti-globalisasi sebagai istilah payung untuk merangkum inisiatif, aksi, atau protes melawan korporasi, kebijakan-kebijakan ekonomi neoliberal yang mendominasi wacana dan praktik pembangunan dan perdagangan internasional sejak beberapa dekade terakhir abad ke-20.

Kelompok-kelompok yang tergabung dalam gerakan ini meliputi serikat buruh, aktivis lingkungan, anarkis, aktivis masyarakat adat, organisasi yang mempromosikan HAM dan dan pembangunan berkelanjutan, aktivis penolak privatisasi. Protes-protes gerakan anti-globalisasi diorganisir untuk menggagalkan pertemuan-pertemuan lembaga internasional seperti WTO, IMF, Bank Dunia, World Economic Forum, Kelompok G8, serta belakangan G20.

Black Bloc terlibat sejak awal gelombang protes anti-globalisasi yang merebut perhatian dunia pada pertemuan WTO di Seattle (1999) dan G8 di Genoa (2001). Setelah itu, taktik Black Bloc tersebar ke seluruh dunia.

Problem Kekerasan

Kekerasan dalam protes-protes Black Bloc merupakan sebuah pertunjukan, tulis Jeffrey Juris dalam “Violence Performed and Imagined Militant Action, the Black Bloc and the Mass Media in Genoa” (2005), untuk memperkuat pesan ke publik serta membentuk identitas kelompok. Konfrontasi dengan polisi atau kelompok-kelompok sayap kanan (neo-Nazi, kelompok supremasi kulit putih, dst), serta perusakan properti pun menjadi ciri khas taktik Black Bloc.

Namun, berbeda dari aksi-aksi kekerasan kelompok-kelompok sayap kanan yang menyasar orang (minoritas etnis, keagamaan, seksual), aksi kekerasan Black Bloc menyasar properti: bank, kompleks pertokoan mewah, serta tempat-tempat di mana pertemuan tingkat tinggi yang didatangi pejabat mancanegara.

Namun, tak jarang pula, aksi berjalan damai.

Infografik Black Bloc taktik bukan organisasi

James Anderson, aktivis anarkis dan editor situs anti-fasis It’s Going Down menuturkan kepada Newsweek pada Februari lalu. “Sebagian besar aktivitas kami malah tidak melawan polisi dan tidak berpakaian hitam-hitam,” ucap Anderson menjelaskan kegiatan sehari-hari para aktivis di balik Black Bloc di luar protes. “Mengorganisir masyarakat untuk bergabung ke serikat buruh atau membela isu-isu lingkungan dan hak atas hunian.”

Baru-baru ini, metode Black Bloc juga digunakan dalam demo besar pelantikan Trump pada Januari 2017. Sebulan kemudian, taktik yang sama muncul dalam aksi protes menyambut kedatangan Milo Yiannopoulos untuk berbicara di kampus UC Berkeley, California. Para komentator dari beragam spektrum politik di televisi mengecam aksi perusakan bangunan di sekeliling kampus. Donald Trump mengancam akan memangkas anggaran federal untuk UC Berkeley.

“Mengapa sebuah protes demokratis justru seolah mengancam kebebasan berbicara?” demikian pertanyaan yang diajukan para komentator.

Yvette Felarca, seorang guru yang mengorganisir protes Berkeley membela taktik tersebut. Milo Yiannopoulos adalah editor Breitbart, situs sayap kanan yang mempromosikan kebencian, ucap Felarca, “dia seorang fasis, suprematis kulit putih, didanai Steve Bannon [penasehat Trump], dia datang ke UC Berkeley untuk merekrut lebih banyak lagi fasis dan memperhebat serangan terhadap mahasiswa imigran, muslim, perempuan, dan transgender.”

Pernyataan Felarca dilatarbelakangi meningkatnya serangan-serangan yang dilakukan kelompok-kelompok supremasi kulit putih terhadap muslim, pendatang, warga kulit hitam, etnis minoritas dan orang yahudi, sejak terpilihnya Trump. "Kaca yang pecah tidak sebanding dengan nyawa yang dipertaruhkan," ujar Ferlarca.

Tidak semua aktivis sepakat dengan taktik Black Bloc. Kalangan konservatif pada umumnya menjadikan aksi-aksi Black Bloc untuk melabeli aktivisme kiri secara keseluruhan. Sementara kalangan kiri cenderung memandang taktik Blac Bloc kontraproduktif dan mencederai gerakan. Salah satu penyebab bubarnya gerakan Occupy di Amerika pada 2011 bermula pada perdebatan mengenai perlu-tidaknya kekerasan sebagai taktik.

Di sisi lain, dengan atau tanpa Black Bloc, bentrokan dengan polisi huru hara, atau kelompok-kelompok paramiliter, semakin sering terlihat dalam pelbagai protes seiring menguatnya polarisasi politik di akar rumput. Merunut sejarah tradisi protes sayap kiri, kehadiran Black Bloc juga merupakan cerminan bahwa banyak privilese seperti jaminan hak-hak sipil, hak berserikat, upah mininum, jaminan kesejahteraan, diperjuangkan selama bertahun-tahun dengan aksi-aksi liar di jalanan oleh beragam aktor.

Baca juga artikel terkait G20 atau tulisan lainnya dari Windu Jusuf

tirto.id - Politik
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Maulida Sri Handayani