Menuju konten utama

Hun Sen Makin Diktator, Cambodia Daily Dibungkam

Surat kabar harian independen Cambodia Daily ditutup oleh rezim Hun Sen setelah 24 tahun terbit.

Hun Sen Makin Diktator, Cambodia Daily Dibungkam
The Cambodia Daily. FOTO/Istimewa

tirto.id - Senin (4/9) adalah edisi terakhir bagi Cambodia Daily. Harian itu tutup bukan karena sepi peminat atau senjakala media cetak yang menggejala secara global, melainkan karena tuduhan penunggakan pajak.

Pajak yang ditetapkan pemerintah sangat besar. The Daily, julukan akrab harian tersebut, wajib segera membayar 6.3 juta dollar agar kantornya tidak ditutup.

Meski pada akhirnya The Daily dinyatakan tutup akibat tidak sanggup memenuhi kewajiban, namun hal itu tidak menurunkan semangat para editor dan jurnalis menggarap laporan terakhir mereka soal ditangkapnya pemimpin oposisi Kem Sokha.

Kem Sokha dibawa oleh kepolisian Kamboja dari rumahnya dengan tangan diborgol pada Minggu pagi. Ia dituduh telah melakukan pengkhianatan dengan berkolusi dengan Amerika Serikat.

Cambodia Daily memang punya reputasi sebagai surat kabar independen di Kamboja yang menyuarakan isu-isu sensitif di Kamboja. Mereka kerap mengungkap topik korupsi, pemborosan dana, masalah lingkungan dan hak atas tanah.

Tetapi kiprah perjalanan The Daily selama 24 tahun terakhir ini harus dijegal lewat aturan pemerintah berbau manuver politik dengan cara menjatuhi denda pajak yang sangat besar.

“Kekuatan pajak adalah kekuatan untuk menghancurkan. Dan setelah 24 tahun 15 hari, pemerintah Kamboja telah menghancurkan Cambodia Daily, sebuah pers khusus dan tunggal mewakili pers bebas di Kamboja.” kata Deborah Krisher dan Steele selaku pemilik Cambodia Daily.

Menurut rilis resmi Cambodia Daily, pengumuman soal tunggakan pajak datang tepat satu bulan setelah dokumen dari Departemen Pendidikan Umum dibocorkan secara online. Perdana Menteri Hun Sen kemudian bereaksi dengan menyatakan surat kabar tersebut sebagai maling, sampai pada akhirnya mereka dijatuhi aturan pembayaran pajak. Jika tidak sanggup membayar, mereka dipersilahkan angkat kaki dari Kamboja.

Harian Cambodia Daily berpendirian keras bahwa sengketa pajak yang melilitnya itu bermotif politik. Mereka sudah berusaha negosiasi baik-baik, tapi rapat antara manajemen The Daily dan petugas pajak gagal menemui titik kesepakatan.

Meski sudah ditutup, Direktur Jenderal Pajak Kamboja, Kong Vibol mengatakan bahwa The Daily tetap harus bertanggung jawab atas tagihan pajak tersebut.

Baca juga: Pertumbuhan Oplah Koran: Melambat, Melambat, Menurun

“Mereka yang bertanggung jawab atas surat kabar ini juga bertanggung jawab atas pajak negara dan meninggalkan Kamboja begitu saja karena kita menerapkan undang-undang pajak Kamboja,” kata Vibol. “Jika tidak ada uang untuk membayar pajak ... perampasan harta benda ini harus dilakukan sesuai dengan hukum pajak Kamboja.”

Sejak didirikan tahun 1993 oleh jurnalis Amerika Serikat Bernard Krisher, The Daily menjadi semacam tempat inkubator bagi para jurnalis muda di dalam maupun luar Kamboja memulai karier yang berani. Ada banyak para jurnalis terkemuka Kamboja, termasuk banyak yang sekarang dipekerjakan di kantor berita internasional di negara tersebut, yang memulai karier mereka di The Daily.

Semboyan Cambodia Daily berbunyi “All the News Without Fear or Favor” (Semua Berita yang Terbit Tanpa Tekanan dan Pesanan) hendak menunjukkan prinsip The Daily sebagai suara independen di Kamboja, sebuah negeri dengan tradisi kebebasan berekspresi yang terbatas.

Dari penelusuran The New York Times, di antara alumni Cambodia Daily adalah para jurnalis yang kini bekerja di berbagai kantor berita utama dunia, termasuk di Associated Press, National Public Radio dan di New York Times sendiri.

“Ini pengalaman yang mengubah cara saya melihat dan hidup di dunia,” kata Robin McDowell, seorang reporter pemenang Pulitzer dari Associated Press yang masuk The Daily saat usianya 27 tahun dengan keadaan pengalaman minim. “Ini meluncurkan karier saya sendiri dan banyak orang asing lainnya. Yang paling utama, tempat itu (Cambodian Daily) merupakan pelatihan bagi generasi wartawan lokal.”

Baca juga: The Intercept dan Upaya Jurnalisme Agresif Melawan Penguasa

Bukan hanya Cambodia Daily saja yang bernasib menghadapi sanksi penutupan oleh pemerintah Kamboja. Dalam beberapa pekan terakhir, pemerintahan Perdana menteri Hun Sen juga penutupan 15 stasiun radio serta penghentian siaran program Voice of America dan Radio Free Asia.

Bahkan pemerintah juga mengusir National Democratic Institute, LSM pro-demokrasi yang berafiliasi dengan Partai Demokrat Amerika Serikat.

Keadaan di Kamboja saat ini yang alergi terhadap kebebasan berekspresi dan mempersempit ruang gerak pers banyak dikaitkan dengan persiapan pemerintahan Perdana Menteri Hun Sen pada Pemilu Juli 2018 mendatang.

Rezim Hun Sen

Menjelang pemilu Kamboja 2018, media-media independen, politisi oposisi dan aktivis hak asasi menghadapi represi yang semakin luas.

Berkuasa selama 32 tahun sejak 1985 dan masuk dalam daftar pemimpin dengan masa jabatan terpanjang di dunia, Hun Sen dipastikan akan menghadapi tantangan terberatnya dalam Pemilu 2018 akibat ketidakpuasan publik dan semakin majunya oposisi.

Karier Hun Sen dimulai pada 1979-1990 sebagai Menteri Luar Negeri Kamboja. Pada 1970 ia bergabung dengan Khmer Merah dan mengganti namanya dari Hun Bunal menjadi Hun Sen dua tahun setelahnya. Gelar kehormatannya adalah Samdech Akeak Moha Sena Padey Techo Hun Sen yang artinya “Tuan Perdana Menteri, Panglima Tertinggi Militer Hun Sen”.

Baca juga: Kepahlawanan dan Kediktatoran Ferdinand Marcos dan Soeharto

Hun Sen sudah lama dituduh oleh para oposisi sebagai mata-mata Vietnam.

Pangeran Norodom Sihanouk, raja Kamboja yang ikut memperjuangkan kemerdekaan Kamboja dari penjajahan Prancis berseberangan dengan Hun Sen secara ideologis. Pendiri Cambodia Daily Bernard Krisher diketahui juga berteman dengan Raja Norodom Sihanouk pada 1900-a. Waktu itu, Krisher masih bekerja sebagai koresponden asing di Kamboja untuk Newsweek.

Bagi oposisi, karier politik Hun Sen didongkrak oleh Vietnam saat Kamboja berada di bawah pendudukan militer Vietnam. Terlebih lagi, Hun Sen adalah Ketua Partai Rakyat Kamboja yang dulunya bernama Partai Revolusioner Rakyat Kampuchea (PRRK). PRRK pernah memerintah Kamboja sebagai partai tunggal di bawah pendudukan militer Vietnam antara 1975-1993.

Hun Sen dan PRRK dianggap menempatkan Kamboja sebagai sebuah negara yang siap dijual untuk asing. Laporan panjang The Guardian menyebutkan bahwa keduanya mengizinkan para investor untuk mendirikan perusahaan yang 100% sahamnya boleh dimiliki asing . Investor juga diizinkan membeli tanah dan real estate dengan durasi sewa 99 tahun.

Tidak ada negara lain di dunia ini yang menyetujui kesepakatan semacam itu, setidaknya saat laporan tersebut diturunkan pada tahun 2008. Bahkan di Thailand dan Vietnam, di mana pengaturan dan pencatatan soal tanah sedang berlangsung, orang asing hanya bisa menjadi pemegang saham minoritas.

Baca juga: Utang Berdarah AS dan Strategi Merusak Masa Depan Kamboja

Sebelumnya, pada Juli 2007 Hun Sen pernah berulah dengan mengubah nama pulau-pulau di wilayah selatan supaya bisa dijual. Hutan, danau, pantai dan terumbu karang yang termasuk penopang kehidupan ribuan penduduk diam-diam berpindah tangan ke tangan para pengembang swasta dari Barat. Hun Sen berdalih bahwa Kamboja bisa menjadi magnet wisata menyaingi Thailand.

Pada 2008, hampir semua pantai yang dapat diakses di Kamboja sudah jadi milik para konglomerat Kamboja maupun orang asing non-Kamboja. Warga setempat yang memprotes kompensasi yang minim dipukuli dan beberapa lainnya dipenjara.

Laporan dari Global Witness (2009) menuduh Hun Sen sebagai “penjual negara.” Dia dan rekan-rekan dekatnya dituding melakukan perundingan rahasia dengan pihak swasta yang berminat mengeksploitasi kekayaan alam Kamboja. Uangnya diambil Hun Sen, ditukar dengan hak untuk mengeksploitasi sumber daya alam Kamboja, termasuk minyak bumi.

Baca juga: Menyelamatkan Leuser, 'Harta Karun' Sumatera

infografik cambodia daily

Rezim Hun Sen juga menyerang para demonstran yang dianggapnya sebagai pemberontak pada 2014 lalu. Buntutnya, empat pekerja garmen yang menuntut kenaikan upah minimum ditembak mati oleh pasukan keamanan Kamboja di ibukota Phnom Penh.

Partai Rakyat Kamboja memang telah membatasi aksi-aksi demonstrasi dan mendorong kelompok oposisi untuk menyuarakan aspirasinya di Freedom Park. Hun Sen juga menyiapkan para preman dan ormas paramiliter yang memegang tongkat. Mereka diizinkan memukul demonstran dan menahan langsung para pemimpin serikat pekerja.

Cambodia Daily tampaknya menjadi korban pembungkaman yang paling menyedot perhatian. Hun Sen berani menutup surat kabar independen yang dikenal paling berani di Kamboja.

Bersama dengan penangkapan oposisi Kem Sokha, Cambodian Daily mempersembahkan laporan terakhirnya di koran dengan judul “Descent Into Outly Dictatorship" (Terjun Bebas Ke Pangkuan Tiran) pada Senin (4/0) kemarin.

Baca juga artikel terkait KAMBOJA atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Politik
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf