Menuju konten utama
22 Agustus 1864

Humanisme Henry Dunant Lahirkan Konvensi Jenewa Pertama

Bongkah harapan.
Kemanusiaan di
gelanggang perang.

Humanisme Henry Dunant Lahirkan Konvensi Jenewa Pertama
Henry Dunant dan naskah Konvensi Jenewa pertama. tirto.id/Sabit

tirto.id - Jelang akhir Juni 1859, wilayah Solferino (kini Lombardia, Italia) membara akibat dijadikan medan pertempuran oleh dua monarki Eropa.

Tentara Perancis yang dikomandoi Napoleon III bersekutu dengan Angkatan Darat Sardinia yang merapat di bawah pimpinan Victor Emanuel II. Mereka membentuk Aliansi Franco-Sardinia untuk berhadap-hadapan dengan Angkatan Darat Austria di bawah kepemimpinan Kaisar Franz Joseph I.

Pertempuran Solferino adalah perang besar terakhir dalam sejarah dunia di mana dua pasukan berada dalam komando monarki. Ada kurang lebih 300.000 pasukan yang ikut bagian, dan menjadikannya sebagai perang terbesar setelah Pertempuran Leipzig (1813).

Perancis menang. Tapi kebanggaan itu harus dibayar mahal dengan terbunuhnya 1.700-an pasukan. 10.000 lainnya terluka atau hilang. Korban di pihak seberang lebih mengenaskan lagi: 2.400-an tentara meninggal, 20.000 lain terluka atau hilang.

Darah yang tumpah di Solferino membuat bulu kuduk Henry Dunant bergidik. Rasa kemanusiaannya terusik. Ia datang di saat pertempuran hampir berakhir. Mayat-mayat bergelimpangan di tanah. Tentara yang terluka tidak mendapat perawatan yang memadai.

Pengusaha asal Swiss itu kemudian menggerakkan inisiatif untuk mengorganisasi warga sipil, terutama perempuan, untuk membantu para korban luka. Mereka tentu saja kekurangan modal. Dunant sendiri yang mengatur pembelian persediaan hingga membantu mendirikan rumah sakit darurat.

Ia meyakinkan penduduk untuk melayani para korban luka tanpa mempersoalkan asal kubu mereka selama berperang. Tak disangka-sangka, solidaritas penduduk benar-benar menguat. Para perempuan di kota dekat Castiglione dele Stiviere bahkan menciptakan slogan “tutti fratelli” atau semua bersaudara.

Pengalaman itu—bersama detil pertempuran, biaya, dan dampak mengerikan setelahnya—dituangkan Dunant dalam buku Un Souvenir de Solferino atau A Memory of Solferino. Buku dicetak sebanyak 1.600 eksemplar dan terbit pertama kali pada 1862. Modalnya, lagi-lagi, sepenuhnya dari kantong Dunant.

Buku itu ia distribusikan ke banyak pemimpin politik dan militer terkemuka di Eropa. Di dalamnya ia beri penegasan terkait ide mendirikan organisasi netral yang bertugas menyediakan perawatan bagi tentara yang luka-luka atau sakit usai perang. Agar ide menyebar dengan efektif, ia juga berkeliling Eropa.

Pucuk Dicinta, Ulam Tiba

Tanggapan publik atas buku Dunant cukup positif. Salah satunya datang dari Presiden Masyarakat Jenewa untuk Kesejahteraan Publik, Gustave Moynier, yang kemudian mengajak Dunant untuk membahas realisasi ide. Pertemuan keduanya terjadi pada awal Februari 1863.

Mereka lalu bersepakat untuk membuat komite yang terdiri dari lima orang. Selain Dunant dan Moynier, tiga lainnya yakni Jenderal Swiss Henri Dufour, dokter Louis Appia dan dokter Théodore Maunoir. Pertemuan perdana komite lima berlangsung pada 17 Februari 1863, dan kini dikenang sebagai tanggal pendirian Komite Internasional Palang Merah (ICRC).

Kisah tersebut tertuang dalam Dunant's Dream: War, Switzerland and the History of the Red Cross (1999) karya Caroline Moorehead. Meski ada optimisme di fase permulaan, perbedaan visi Dunant dan Moynier yang muncul sejak awal pertemuan kian mengerucut seiring berjalannya waktu.

Moyner adalah tipikal pragmatis dalam bekerja. Ia berseberangan dengan Dunant yang paling idealis di antara anggota komite lain. Moyner kemudian tidak berfokus pada kesuksesan cita-cita bersama, tetapi berupaya menjatuhkan kredibilitas Dunant.

Persoalan internal ini hanya kerikil kecil bagi Dunant. ICRC terus melobi pemerintah Swiss untuk turut berkontribusi dalam mewujudkan dan mengembangkan kerja-kerja humanitarian ICRC.

Menurut arsip sejarah ICRC, upaya tersebut berhasil ketika setahun setelahnya pemerintah Swiss mengundang seluruh negara dan kerajaan Eropa plus Amerika Serikat, Brazil, dan Meksiko untuk sebuah konferensi diplomatik resmi. Ada 16 negara dan kerajaan yang hadir dan mengirimkan total 25 delegasi ke acara yang digelar di Jenewa itu.

Mereka berembuk mengenai aturan dalam perang yang akan disepakati dan dijalankan bersama. Pada 22 Agustus 1864, tepat hari ini 154 tahun lalu, aturan yang telah disepakati akhirnya ditandatangani 12 delegasi negara dan kerajaan. Sejarah mencatatnya sebagai hasil dari Konvensi Jenewa pertama.

Dua belas negara dan kerajaan itu adalah Konfederasi Swiss, Keharyapatihan Baden, Keharyapatihan Hesse, Kekaisaran Perancis Kedua, serta kerajaan-kerajaan yang meliputi Belgia, Denmark, Italia, Belanda, Portugal dan Algarves, Prusia, Spanyol, dan Wirttemberg.

Biar Tak Ada Auschwitz atau Leningrad Jilid II

Dalam perkembangannya, saat berperang, seluruh penandatangan konvensi dilarang menangkap pasukan yang kalah atau menghancurkan fasilitas perawatan mereka, memberi perlakuan sama kepada semua kombatan, melindungi warga sipil yang memberikan bantuan kepada yang terluka, dan mengakui palang merah sebagai simbol perawatan pasukan yang terluka.

Artikel di dalam konvensi pertama mengandung istilah dan konsep yang ambigu; sementara sifat, metode, dan teknologi peperangan terus berkembang. Apalagi pada awal abad ke-20 dunia menyaksikan perkembangan ideologi yang pesat sekaligus melahirkan perang-perang besar.

Intinya, perlu ada perluasan dan penjelasan. Atas pertimbangan ini, lahir Konferensi Jenewa kedua pada 1906 dan Konvensi Den Haag tahun 1899 dan 1907.

Artikel versi tahun 1906 diperbaharui dan digantikan versi konvensi ketiga tahun 1929, lalu versi finalnya dicetuskan pada konvensi keempat pada tahun 1949. Nama resminya Akta Akhir Konferensi Jenewa.

Jika konvensi pertama membahas aturan tentang perlindungan dan perawatan pasukan darat yang terluka, pada konvensi kedua kesepakatannya meluas ke perlindungan dan perawatan tentara maritim. Di konvensi ketiga fokusnya tentang perlakuan pada tawanan perang, dan yang keempat tentang perlindungan orang sipil selama perang.

Dalam konteks ini istilah “konvensi” kemudian dipakai para humanitarian untuk menyebut “konferensi”. Pada akhirnya dua istilah itu kerap digunakan salah satunya atau secara bergantian dengan makna yang sama, yakni pertemuan untuk pembaruan aturan bersama.

Seluruh rangkaian konvensi dinamakan Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 atau pendeknya Konvensi Jenewa. Seiring diadakannya pertemuan-pertemuan lanjutan, ada tiga protokol tambahan yang berfokus pada perlindungan korban konflik bersenjata internasional dan non-internasional, serta soal adopsi lambang.

Imogen Foulkes dari BBC News mencatat, pada konvensi terakhir tahun 1949 ada 196 negara yang menandatangani kesepakatan. Angka ini adalah rekor di mana tidak ada kesepakatan internasional yang punya dukungan sebegitu luas sebelumnya.

Konvensi tersebut ditujukan untuk membatasi kekejaman dalam perang, seperti yang warga dunia saksikan di Perang Dunia (PD) II. Pembantaian warga Yahudi di kamp konsentrasi Auschwitz atau tragedi pengepungan di Leningrad juga dijadikan contoh jejak-jejak kelam yang tak ingin terulang.

Infografik Mozaik Konvensi Jenewa

Perang Berganti Rupa, Konvensi Masih Relevan?

Di masa akhir PD II optimisme perdamaian dunia naik ke permukaan. Persatuan Bangsa-Bangsa berdiri. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dirancang. Perdamaian jadi harapan baru yang bisa meringankan tugas ICRC serta organisasi humanitarian lain di seluruh dunia.

Orang-orang yang menyusun isi Konvensi Jenewa membayangkan perang konvensional: dua negara berhadap-hadapan, menenteng senjata, berusaha menghabisi lawan untuk menguasai wilayah atau kepentingan politis lain.

Persoalannya, perang berganti rupa. Hingga awal abad ke-21 konflik kebanyakan bersifat internal dan melibatkan kelompok-kelompok sipil yang saling menghabisi satu sama lain. Negara juga kadang jadi aktor utama dalam aksi persekusi terhadap warganya sendiri.

Situasi itu terjadi di negara-negara bekas Uni Soviet hingga ke Afrika Utara dan Timur Tengah. Di negara-negara maju, pemerintah setempat juga dipusingkan oleh perang gaya baru yang dijalankan para teroris.

Sejak satu dekade silam makin banyak orang yang mempertanyakan relevansi Konvensi Jenewa. Kembali merujuk catatan Foulkes, pada 2002, misalnya, pemerintahan George W. Bush menyatakan bahwa Konvensi Jenewa tidak berlaku bagi tahanan perang yang dipenjara (dan disiksa habis-habisan) di Teluk Guantanamo.

Pada perayaan ke-60 Konvensi Jenewa keempat, Simon Hooper dari CNN membela Konvensi Jenewa. Hooper menyatakan bahwa Konvensi Jenewa masih mampu melindungi tahanan perang Bosnia pada pertengahan 1990-an. ICRC juga hadir di lapangan untuk tugas utama lain, yakni memberikan perawatan medis kepada yang membutuhkan.

Beberapa petinggi ICRC dan PBB yang diwawancarai Hooper satu suara: permasalahannya bukan pada aturan, tapi penegakannya di lapangan. ICRC masih berupaya untuk menjalankan tugas kemanusiaan sesuai spirit yang dulu dicontohkan Dunant—terlepas dari status konfliknya, atau dari pihak mana yang terluka.

ICRC seperti menggemakan kembali slogan yang didengar Dunant di Castiglione dele Stiviere satu setengah abad lalu: “tutti fratelli”. Semua bersaudara.

Baca juga artikel terkait KONVENSI JENEWA atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Ivan Aulia Ahsan