Menuju konten utama

Hukum Mendahulukan Orangtua atau Diri Sendiri dalam Haji

Mana yang lebih utama dalam haji, apakah mendahulukan orangtua, ataukah mendahulukan diri sendiri?

Hukum Mendahulukan Orangtua atau Diri Sendiri dalam Haji
Ilustrasi. Sejumlah anak melakukan "tawaf" atau berjalan mengelilingi kakbah sambil berdoa saat mengikuti pendidikan manasik haji di Kudus, Jawa Tengah, Kamis (29/8/2019). ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/ama.

tirto.id - Beribadah ke tanah suci untuk mengerjakan rukun islam kelima merupakan harapan setiap umat Islam. Andai kesempatan itu datang, manakah yang harus didahulukan: apakah berhaji untuk diri sendiri, ataukah mendahulukan orangtua?

Perintah agar umat Islam mengerjakan ibadah haji difirmankan Allah dalam Surah Ali Imran:97, "Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah ..."

Dalam ayat tersebut, ditegaskan haji adalah ibadah yang hukumnya wajib, tetapi bagi yang mampu, meliputi kemampuan ekonomi, kemampuan fisik, dan kemampuan batin. Jika seseorang tidak memiliki salah satu kemampuan tersebut, maka ibadah haji tidak akan dikerjakan.

Sebagai contoh, seseorang yang mampu secara ekonomi, sehat secara fisik, tetapi belum mantap secara batin. Terdapat riwayat Nabi Muhammad, yang dikutip dalam "Memahami Kewajiban Melaksanakan Ibadah Haji" oleh Muhammad Ishom, "Barangsiapa hendak melaksanakan haji, hendaklah segera ia lakukan, karena terkadang seseorang itu sakit, binatangnya (kendaraannya) hilang, dan ada hajat yang menghalangi."

3 dari 4 mazhab Islam, yaitu Hanafi, Maliki, dan Hambali punya pandangan yang sama terkait pentingnya menyegerakan haji ketika mampu. Sementara itu, mahzab Syafi'i memiliki pendapat yang lebih lentur, bahwa haji tidak harus disegerakan, tetapi dengan catatan orang yang mampu tersebut, punya tekad kuat untuk melaksanakan pada tahun-tahun berikutnya, ditambah dengan asumsi, ia akan tetap mampu secara fisik atau ekonomi.

Dalam praktiknya, ada kemungkinan seseorang memiliki uang yang cukup untuk haji. Namun, ia bimbang memilih, apakah digunakan untuk dirinya sendiri, ataukah untuk orangtuanya, dengan alasan bakti kepada ayah atau ibu.

Terkait hal ini, hukum berhaji adalah wajib. Namun, kewajiban tersebut mengikat pada diri sendiri. Artinya, seseorang mesti menyelesaikan kewajiban ibadah yang mengikatnya lebih dahulu, baru kemudian membantu orang lain untuk hal yang sama.

Dalam kitab Al-Asybah wan Nazhair oleh Jalaluddin As-Suyuthi, disebutkan "Mendahulukan pihak lain dalam persoalan ibadah adalah makruh."

Jika konteks mendahulukan orang lain tersebut bukanlah ibadah, maka hal tersebut diutamakan. Firman Allah dalam Surah al-Hasyr:9, "Dan mereka (kaum Ansar) mengutamakan (kaum Muhajirin) atas diri sendiri, padahal mereka juga memerlukan."

Dalam "Dahulukan Haji Pribadi atau Membiayai Haji Orang Tua?" oleh M. Mubasysyarum Bih, mendahulukan haji pribadi daripada orang tua tidak lantas bermakna su’ul adab atau perangai buruk. Kewajiban berhaji pribadi dan berbakti kepada ayah dan ibu bukanlah dua hal yang mesti dipertentangkan. Sebaliknya, bila seseorang memiliki kemampuan ekonomi lebih, bisa saja ia mengajak orangtua untuk berhaji bersama.

Baca juga artikel terkait HAJI atau tulisan lainnya dari Balqis Fallahnda

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Balqis Fallahnda
Penulis: Balqis Fallahnda
Editor: Fitra Firdaus