Menuju konten utama

Hukum Berciuman di Bulan Puasa: Apakah Membatalkan Puasa Ramadhan?

Apa hukum berciuman di bulan puasa? Apakah berciuman membatalkan puasa Ramadhan?

Hukum Berciuman di Bulan Puasa: Apakah Membatalkan Puasa Ramadhan?
Ilustrasi Ramadhan. foto/IStockphoto

tirto.id - Hukum berciuman di bulan puasa Ramadhan adalah makruh, terutama bagi orang yang nafsunya bergejolak. Sementara itu, berciuman tanpa disertai nafsu diperbolehkan saat puasa, bagi suami-istri. Berciuman tidak membatalkan puasa sepanjang aktivitas itu tidak memicu keluarnya mani.

Namun, para ulama berbeda pendapat tentang aktivitas berciuman yang menyebabkan keluarnya madzi. Sebagian ulama menyatakan keluarnya madzi itu tidak membatalkan puasa. Adapun yang lainnya berpendapat bahwa keluarnya madzi saat berciuman, membuat puasa tidak sah sehingga harus di-qadha. Terkait perbedaan ini, pendapat yang pertama dianggap paling masyhur.

Dalam syariat Islam, definisi formal puasa adalah ibadah yang dijalankan dengan menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa, seperti makan, minum, hingga berhubungan badan, sejak waktu subuh datang (fajar shadiq terbit) hingga matahari terbenam (maghrib).

Berciuman tidak dikategorikan sebagai berhubungan badan yang membatalkan puasa. Salah satu dasar hukum bahwa aktivitas berciuman bagi suami-istri tidak membuat puasa batal adalah hadis berikut:

"Kadang-kadang Rasulullah SAW mencium sebagian istri-istrinya, padahal Beliau sedang berpuasa, kemudian Aisyah RA tertawa." (Hadis Shahih, riwayat al-Bukhari: 1793 dan Muslim: 1851. Teks hadis riwayat al-Bukhari).

Para ulama menyimpulkan, bahwa berciuman diperbolehkan pada saat berpuasa dan tidak makruh selagi ia menjadi bentuk ekspresi kasih sayang.

Maka itu, apabila suami atau istri mencium pasangannya saat berpuasa, tetapi dengan nafsu yang bergejolak, hukumnya adalah makruh. Sebab, nafsu syahwat bisa membuat ciuman berlanjut pada aktivitas lain yang membatalkan puasa, seperti berhubungan badan atau keluarnya mani.

Meski diperbolehkan, berciuman pada saat berpuasa sebaiknya dihindari sebab berpotensi memicu syahwat. Mengutip NU Online, anjuran ini merujuk pada hadis berikut:

"Rasulullah SAW mencium dan mencumbu (dengan istrinya), padahal Beliau sedang berpuasa. Namun Beliau adalah orang yang paling kuat menahan syahwatnya di antara kamu sekalian,” (Hadits Shahih, riwayat al-Bukhari: 1792 dan Muslim: 1854, teks hadits riwayat al-Bukhari).

Hukum Berciuman saat Puasa Jika Keluar Mani & Madzi

Para ulama bersepakat bahwa hukum aktivitas berciuman suami-istri yang memicu keluarnya mani membatalkan puasa. Karena itu, orang yang melakukannya harus mengqadha puasa Ramadhan.

Dalam kitab Al Majmu Syarah Al Muhadzdzab, Syekh Nawawi Al Bantani mengutip penjelasan Al Mawardi dari Muhammad bin Al Hanafiyah dan Abdullah bin Shubrumah, sebagai berikut:

"Seluruh fuqaha mengatakan bahwa ciuman tidak membatalkan puasa kecuali jika mengeluarkan mani. Dan jika mengeluarkan air mani maka batal puasanya dan ia harus mengqadha puasanya dan tidak harus membayar kafarat."

Pendapat ini juga dikuatkan oleh Imam Malik dan Ibn Ishak. Namun, keduanya menyatakan bahwa puasa yang batal karena keluarnya mani harus di-qadha sekaligus dibebani hukuman kafarat.

Penjelasan Imam Malik dan Ibn Ishak tersebut termuat dalam kitab Fathul Baari karya Ibnu Hajar Asqalani sebagai berikut:

"Hendaknya seseorang mengganti puasa dan membayar kafarat apabila keluar mani. Tetapi apabila yang keluar adalah madzi maka ia cukup mengganti puasanya tanpa membayar kafarat."

Adapun jika yang keluar madzi, hukumnya tidak membatalkan puasa. Para ulama bersepakat jika madzi najis. Cara menyucikannya cukup dengan membersihkan dengan air dan berwudhu. Syekh Hasan Hitou dalam kitab Fiqh ash-Shiyam memberikan penjelasan sebagai berikut:

"Jika seorang suami mencium istrinya pada saat sedang berpuasa, kemudian merasa nikmat dan keluar madzi, tetapi tidak mengeluarkan mani, maka jumhur berpendapat puasanya tidak batal, dan itu adalah pendapat ulama Syafi’iyyah tanpa ada perbedaan di antara mereka."

Syekh Hasan Hitou menyandarkan penjelasannya kepada pendapat Ibnu al-Mundzir yang merujuk ke pandangan dari Hasan al-Bashri, asy-Sya’bi, al-Awza’i, Abu Hanifah, hingga Abu Tsaur.

Baca juga artikel terkait PUASA RAMADHAN atau tulisan lainnya dari Syamsul Dwi Maarif

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Syamsul Dwi Maarif
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Addi M Idhom