Menuju konten utama

Hubertus Soejono: Sang KSAU yang tak Dianggap

Hubertus Soedjono sempat menjadi Kepala Staf Angkatan Udara Republik dari Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang dipimpin Mr Sjafrudin Prawiranegara.

Hubertus Soejono: Sang KSAU yang tak Dianggap
Ilustrasi KSAU PDRI Hubertus Soejono. tirto.id/Sabit

tirto.id - Ketika Jerman menduduki Belanda, ada orang Indonesia yang ikut bertempur bersama Belanda melawan negara fasis itu: Hubertus Soejono Soerjopradigdo. Koran Bataviaasch Nieuwsblad (09/07/1940) ikut menyebut namanya sebagai salah satu dari calon perwira penerbang dalam ikatan dinas pendek armada udara KNIL.

Sebenarnya Soejono yang berasal dari Surabaya itu tak sendirian dalam melawan Jerman. Ada juga Agustinus Adisoetjipto dari Salatiga, Soedjiman dari Surabaya, dan Toegijo dari Solo. Di tahun sebelumnya, Soejono—yang pernah magang di pabrik senjata Bandung ini-adalah pemegang brevet penerbang, jadi tak mengherankan dia dijadikan perwira udara di KNIL.

Setelah Hindia Belanda kalah, Soejono sempat ditahan militer Jepang, sebelum akhirnya dia bekerja pabrik rami di Malang. Hidup di zaman Jepang tak selalu enak baginya. Sebagai bekas perwira di KNIL, ia kerap dituduh mata-mata oleh Jepang.

“Pada bulan November 1944 saya ditangkap Kempeitai (Polisi Militer Jepang) dan dipenjarakan di Lowokwaru Malang selama 6 bulan,” aku Soejono dalam Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan Jilid II (1983:158).

Setelah Jepang kalah, Soejono bergabung dengan Penerbangan Divisi VII pimpinan Imam Sudjai. Namanya Soejono bahkan terdaftar sebagai penerbang dengan nomor 461013 di pusat armada udara tentara Republik di Yogyakarta.

Ketika Angkatan Udara berdiri pada 9 April 1946, Soejono bertugas di Komando Pendidikan Pangkalan Udara Bugis, Malang. Bulan September, Soejono ditugaskan ke Pangkalan Udara Maospati, Madiun. Awal 1948, Soejono dijadikan Komandan Komando Sumatra dengan pangkat Opsir Udara I—setara Kolonel. Untuk menjalankan tugasnya, Soejono harus pergi menuju Bukittinggi, Sumatera Barat. Salah satu tugasnya di Sumatera Barat adalah membangun pangkalan udara, sama seperti yang diinginkan Wakil Presiden Mohamad Hatta.

“Dia tak sempat melakukan pekerjaan itu karena (militer) Belanda telah melancarkan Aksi Militer Kedua (19 Desember 1948),” tulis Rosihan Anwar dalam In Memoriam (2004:385).

Soejono dan pejabat lain di Sumatera tidak menyangka Presiden dan pejabat RI di Yogyakarta ditawan tentara Belanda pada 19 Desember 1948. Salah satu yang tertawan adalah Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU), Soerjadi Soerjadarma. Maka Soejono pun mau tidak mau jadi Kepala Staf Angkatan Udara Republik dari Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang dipimpin Mr Sjafrudin Prawiranegara—yang berpusat di Bukittinggi. Sebelum bertemu Sjafrudin, Soejono mengaku sempat bergerilya di sekitar Sungai Dareh.

Ketika tentara Belanda akan mendekati wilayah PDRI, Soejono sebagai bagian dari kaum gerilyawan itu ikut serta merusak jalan untuk menghambat maju di Koto Tinggi.

Masa-masa PDRI adalah bukti kerja keras Angkatan Udara dalam mendukung pemerintah Republik Indonesia. “Jasa besar Soejono ialah membangun jaringan sender radio (pengirim pesan) sebanyak enam buah di Sumatera sehingga PDRI bisa berkomunikasi ke Jawa dan luar negeri,” tulis Rosihan Anwar.

“Dalam Perang Gerilya, perhubungan radio fungsinya sangat penting oleh karena itu saya diperintahkan agar alat komunikasi harus diaman,” kata Soejono.

Tidak mudah menjalankannya, karena bahan bakar susah didapat. Menurut Rosihan, Soejono ikut jadi orang yang sibuk mencari minyak tanah hingga ke Muara Tebo, Jambi, yang berjarak 300 kilometer lebih dari Bukittinggi.

Sebagai seorang Katolik Jawa, Soejono sukses bekerja dan berbaur dengan orang-orang Sumatera Barat yang mayoritas beragama Islam. Sutan Muhammad Rasjid dalam Di Sekitar PDRI: Pemerintah Darurat Republik Indonesia (1982), mencatat Soejono bahkan ikut berpuasa.

"Soejono ... solider (dengan) turut menjalankan ibadah puasa sekaligus merupakan doa panjang ke hadapan Yang Maha Kuasa. Agar perjuangan Bangsa Indonesia diridai dan sukses," tulis Rasjidi.

Setelah Pengakuan Kedaulatan RI oleh Kerajaan Belanda akhir 1949, Soejono kembali ke Jawa. Rosihan mencatat, status Soejono sebagai KSAU tidak diakui oleh Soerjadi. "Namun dia tetap menjalankan tugasnya secara normal," tulis Rosihan.

Infografik KSAU PDRI

Infografik KSAU PDRI

Jabatan KSAU PDRI yang dipegang Soejono tak pernah diserahterimakan ke siapapun, termasuk ke Soerjadi—yang tidak menganggap penting armada udara PDRI. Soeriadi sendiri berada dalam tahanan tentara Belanda ketika Soejono dan kawan-kawannya di PDRI berjuang dari Sumatera. Namun bukan berarti Soejono lantas benar-benar diabaikan dan dilupakan

Ketika ada serah-terima instalasi Militaire Luchvaart KNIL kepada TNI, Soejono yang mewakili pihak Angkatan Udara. “Saya ikut mendapat tugas melaksanakan timbang-terima dari Belanda ke Republik, baik markas besar AURI maupun pangkalan-pangkalan udara," tutur Soejono. Setelah 27 Desember 1949, Soejono bertugas di Markas Besar.

Setelah Februari 1955, Soeriadi muncul lagi dan masih merasa sebagai KSAU. “Maka sejak 1950 ada dua orang KSAU,” tulis Rosihan. Soejono pada akhirnya kembali ke jabatan Komando Pendidikan Angkatan Udara hingga 13 Mei 1953.

Pada 14 Desember 1955, ketika Komodor Soejono hendak diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Udara (Wakasau), terjadi penolakan. Bahkan penolakan ini juga merembet hingga pertikaian fisik. Marsekal Boediardjo, dalam memoarnya, Siapa Sudi Saya Dongengi (1996), menyebut bahwa Sersan Udara bernama Kalebos bersama kawan-kawannya memukul Komodor Wiweko Supeno yang merupakan kolega dekat Soejono.

Menurut Rosihan Anwar, perwira yang menolak penunjukan Soejono adalah P.G.O Noordraven (mantan anggota jawatan udara Belanda) dan Wiriadianata (yang akhirnya menjadi komandan pasukan payung). Setelah peristiwa yang disebut Affair Soejono itu, banyak perwira AURI yang mundur dan dikeluarkan pada 1956.

Usai pensiun, Soejono “kerja di pabrik” seperti sebelum 1945. Dia membangun industri ban PN Indonesia Tyre and Rubber Works (Intirub). Hingga kini, namanya seperti dilupakan, bahkan dia tak tercatat dalam senarai Kepala Staf Angkatan Udara.

Baca juga artikel terkait KSAU atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nuran Wibisono