Menuju konten utama

HOTS Idealnya Dipelajari Rutin, Bukan Cuma Bikin Pusing di UNBK

Kemampuan pelajar Indonesia masih di tahap “lower” (ingatan, hafalan), wajar menderita saat menghadapi soal “higher” (analitis, kritis).

HOTS Idealnya Dipelajari Rutin, Bukan Cuma Bikin Pusing di UNBK
Sejumlah siswa mengikuti ujian nasonal berbasis komputer (UNBK) di SMA Negeri 2 Kota Kediri, Senin (9/4/2018). ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani

tirto.id - Indonesia mencatat prestasi buruk dalam Program Penilaian Pelajar Internasional (PISA)—survei tiga tahunan yang menguji kinerja akademis anak-anak sekolah usia remaja. Lemah di PISA menandakan remaja suatu negara loyo di bidang sains, matematika, maupun literasi.

Menurut PISA 2015 (PDF), skor sains Indonesia 403, matematika 386, dan literasi 297. Sains berada di urutan 62, matematika 63, sedangkan literasi 64.

Berdasarkan total 70 negara yang disurvei PISA, artinya Indonesia selalu masuk urutan 10 besar terbawah. PISA 2012 tak kalah memprihatinkan: sains, matematika, dan literasi Indonesia ada di urutan 64, 65, 61— dari total 65 negara.

Indonesia juga belum mencapai hasil yang membanggakan dalam survei Kecenderungan Pembelajaran Matematika dan Sains Internasional (TIMSS). TIMMS turut menjadi salah satu tolak ukur keberhasilan suatu negara dalam memajukan sains maupun matematika di kalangan peserta didik, khususnya kelas 8 dan 4.

Dalam TIMSS 2015 (PDF), perolehan poin Indonesia untuk bidang sains sebesar 387 dan menempati urutan ke 45 dari 48 negara. Sedangkan untuk skor matematika Indonesia meraih poin 397 dan berada di posisi 45 dari 50 negara.

Indonesia kalah jauh dibandingkan Singapura, misalnya, sebagai tetangga dekat, yang prestasi TIMSS per tahunnya rajin menempati posisi pertama.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir memahami kondisi ini. Jumat (13/4/2018) lalu ia menyebutkan capaian PISA Indonesia yang tergolong rendah melahirkan kebijakan memasukkan soal-soal yang membutuhkan daya nalar tingkat tinggi di mata pelajaran matematika di Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK).

Istilahnya HOTS atau High Learning Order Thinking Skill. Tipe soal beracuan HOTS belum pernah disajikan pada para peserta UNBK sebelumnya. Muhadjir mengaku sedang berupaya menaikkan standar.

Kepala Pusat Penilaian Pendidikan (Kapuspendik) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) Muhamad Abduh mengatakan, dari 40 soal yang diujikan, sekitar sepuluh persennya masuk dalam kategori HOTS. Tujuannya, mengulang Muhadjir, untuk meningkatkan kualitas dari UN tahun sebelumnya.

"Soal-soal yang memerlukan daya nalar tinggi ini memang sekitar 4-10 soal tidak pernah keluar dalam tryout di sekolah," ujarnya kepada Tirto.

Kala UNBK untuk siswa sekolah menengah rampung, keluh kesah dari para peserta membikin media sosial gaduh. Mereka membanjiri postingan lama Muhadjir di akun Instagram-nya, yang bahkan tak berhubungan dengan UNBK, dengan protes mengapa soal UNBK banyak yang terlalu susah serta melenceng dari kisi-kisi.

Alfin Febrian Basundoro (18), murid SMA N 1 Sidoharjo menyaksikan fenomena curhat massal di kalangan teman-temannya sesama peserta UNBK. Setelah keluar ruangan ujian mapel matematika, mereka protes mengapa soal-soalnya banyak yang berbeda dari kisi-kisi. Lebih lanjut lagi, bikin pusing sebab terlalu susah.

“Di ruangan ujian saya sendiri ada sekitar 10-15 orang yang mengeluh. Total peserta di ruangan ada 35 orang. Ramai di medsos karena memang susah. Ada soal yang harusnya di nomor awal tapi ditaruh di tengah. Yang di belakangan jadi di awal,” ungkapnya pada Senin (16/4/2018).

Muhadjir kemudian meminta maaf. Sebagaimana dikutip Antara, Jumat (13/4/2018), ia meminta pemakluman jika UNBK akan makin sulit demi mengejar ketertinggalan. Namun, sejumlah pemerhati pendidikan tak tinggal diam karena menilai kebijakan pemerintah kali ini tidak tepat.

Mohammad Abduhzen, pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina, menilai wajar jika para siswa kesulitan mengerjakan soal tipe HOTS. Daya pikir mereka masih rendah, atau di tingkat Lower Order Thinking Skill (LOTS). Kemampuan level ini hanya sekadar menyimpan data-data pengetahuan alias menghafal.

“Sangat kurang dalam mengajarkan kemampuan berpikir,” katanya, Senin (16/4/2018).

Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim bersepakat. HOTS meliputi kemampuan menganalisa, pemikiran kritis, pemecahan masalah, kreativitas, hingga inovasi. HOTS punya level yang lebih tinggi ketimbang LOTS.

Menurut sejumlah teori yang dikutip Edi Susanto dan Heri Retnawati dalam artikel ilmiah yang mereka unggah di Jurnal Riset Pendidikan Matematika (2016), penguasaan HOTS berintikan sejumlah harapan.

Antara lain, membuat para siswa mampu memutuskan apa yang harus dipercayai maupun dilakukan, bisa mencipta ide baru, bisa membuat prediksi, serta mampu memecahkan masalah yang tak lazim muncul dalam kehidupan sehari-hari.

“Kenyataan menunjukkan bahwa HOTS siswa dalam pembelajaran matematika masih tergolong kategori rendah. Data hasil survei TIMSS tahun 2011 menunjukkan bahwa nilai rata-rata skor yang diperoleh Indonesia berada di bawah rata-rata skor internasional yaitu sebesar 500 dengan memperoleh peringkat 38 dari 45 negara yang diikutsertakan,” catat Edi dan Heri.

“Selanjutnya, hasil survei PISA tahun 2009 menunjukkan skor rata-rata Indonesia sebesar 371 di bawah rata-rata skor internasional sebesar 496 dengan peringkat 61 dari 65 negara,” lanjut keduanya dalam artikel bertajuk “Perangkat Pembelajaran Matematika Bercirikan PBL untuk Mengembangkan HOTS Siswa SMA” itu.

Kritik utama Satriwan serupa dengan yang disampaikan Abduhzen. Pola pikir pemerintah seakan-akan menganggap HOTS bisa tercapai, juga demi perbaikan peringkat PISA dan TIMSS, dengan mengandalkan UNBK. Cara pandang seperti ini, papar Satriwan, hanya bersifat parsial alias tidak utuh.

“Padahal sudah harus dimulai sejak proses pembelajaran, bahkan perencanaan. Kalo di SMA itu mulai dari kelas 10-11. Pembelajaran sehari-hari sudah harus HOTS, atau setidaknya mendekati HOTS, “ katanya, Senin (16/4/2018).

Satriwan menyebut kondisinya tak adil. Pertama, tidak menghargai usaha siswa. Hal ini berkaitan dengan betapa heboh, dramatis, dan tegangnya siswa, guru, kepala sekolah, hingga orang tua jelang UNBK.

Meski UNBK bukan lagi penentu utama kelulusan, seluruh tenaga siswa kelas 12 keluar demi pendalaman materi tiap minggu, les tambahan, hingga bikin doa bersama. Lalu tiba-tiba, kekecewaan menampar di hari-H: yang diujikan tidak sesuai dengan yang di-tryout-kan berkali-kali.

“Laporan yang FSGI terima bahkan ada materi yang keluar di soal tetapi dulu mereka tidak pelajari. Ibarat yang dipelajari sepeda, yang keluar sepeda motor. Ya tipe soal HOTS itu."

Ketidakadilan kedua terkait Kurikulum 2013, yang di dalamnya mengandung metodologi belajar level HOTS. Di dalamnya turut dicantumkan pendekatan-pendekatan baru. Salah satunya pendekatan berbasis literasi.

Sayangnya, kebijakan ini bersifat formal belaka. Terhitung sudah sekitar lima tahun berjalan, belum semua sekolah menengah menerapkan Kurikulum 2013, baik yang atas maupun yang kejuruan. Masih banyak yang dipandu Kurikulum 2006 atau yang belum mengandung semangat HOTS.

infografik hots dan pisa

Faktanya, kualitas pendidikan di Indonesia memang tidak merata. Dari pusat modernitas seperti Pulau Jawa hingga ujung nusantara, situasinya amat beragam. Bahkan, berdasarkan laporan yang masuk ke FSGI, pendidikan di daerah urban masih menyisakan masalah.

“Ada siswa yang bilang 'saya saja yang di Jakarta susah menjawab (soal UNBK 2018), Pak, padahal kami sudah berkali-kali tryout'. Nah apalagi siswa yang di daerah?” jelasnya.

Satriwan kembali menyalahkan pemerintah sebab kunci dari persoalan ini ada di pundak para pendidik. Sayangnya, pelatihan guru agar siap menjalankan metode HOTS belum dijalankan dengan optimal.

Hasilnya, nuansa pembelajaran masih berkisar di level LOTS. Level ini masih berfokus di C-,1 atau tahap hafalan dengan tipe soal ujian yang diawali atau diakhiri dengan perintah “menyebutkan”. Akhirnya banyak peserta didik yang belum jago menganalisa, membandingkan, atau mengkritisi.

Ia kemudian menyinggung faktor utama lain, yakni rendahnya minat baca. Berkaca pada data riset UNESCO tahun 2012, situasinya memang menyedihkan. Tingkat melek literasi buku di Indonesia hanya mencapai indeks 0,0001. Ini artinya, dari setiap 1.000 orang di Indonesia, hanya satu orang yang gemar membaca.

Pada Maret 2016 Central Connecticut State University mempublikasikan riset tingkat minat membaca bertajuk "World's Most Literate Nations". Dari 61 negara yang diteliti, Indonesia berada di posisi kedua terbawah alias di urutan 60. Tepat satu tingkat di atas Botswana.

Indonesia kalah dari negara-negara lain di Asia Tenggara seperti Thailand di posisi 59, Malaysia di posisi 53, atau Singapura di posisi 36. Negara Asia lain melesat jauh ke posisi atas. Korea Selatan, misalnya, berjaya di posisi 22. Jepang di posisi 32, Cina 39, dan Qatar 44. Hingga posisi 20 besar, negara-negara Barat masih mendominasi.

Pada akhirnya, HOTS perlu dipandang sebagai keterampilan berpikir yang luas, dan dengan demikian tak bisa dicapai melalui satu ujian final semata.

Satriawan, mewakili FSGI mengapresiasi kebijakan Muhadjir. Namun pemerintah mesti berfokus dulu dalam upaya pematangan keterampilan guru melalui pelatihan berjenjang serta membangun budaya literasi yang bukan sekadar formalitas.

“Berpikir soal pendidikan kok cuma di ujung, cuma ujiannya. Mindset-nya harus diubah. Pembelajaran itu kan dari hulu sampai hilir. Penguatannya mesti di proses belajar. Kalo itu sudah maksimal, mau HOTS, LOTS, tak masalah.”

Baca juga artikel terkait UNBK 2018 atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf