Menuju konten utama

Horor Serangan di Parlemen Venezuela

Persaingan politik di Venezuela makin memanas sebab melibatkan milisi bersenjata yang menyerang anggota parlemen hingga di dalam gedung pemerintahan.

Horor Serangan di Parlemen Venezuela
Seorang demonstran berjalan di antara sepeda motor aparat keamanan yang dibakar saat protes anti presiden Nicolas Maduro di Caracas, Venezuela, 31 Mei 2017. REUTERS/Carlos Garcia Rawlins.

tirto.id - Situasi di Venezuela makin panas. Krisis ekonomi yang berdampak pada krisis politik di Venezuela tak kunjung membaik. Insiden kekerasan di gedung parlemen kian menyiratkan seriusnya konflik politik yang berlangsung di sana.

Insiden terakhir terjadi saat Presiden Nicholas Maduro dan jajaran birokrat lain sedang melaksanakan sidang paripurna untuk memperingati Hari Kemerdekaan. Tak diduga, setelah sidang berakhir, para pendukung pemerintahan yang berada di luar gedung parlemen tiba-tiba merengsek masuk. Bersenjatakan pipa besi dan tongkat kayu, mereka menyerang para anggota parlemen dengan ganas.

BBC News melaporkan pada Kamis (6/7/2017), para petugas keamanan dan personil militer yang berjaga di tempat kejadian tak bisa berbuat apa-apa. Tal Cual, surat kabar Venezuela, mengatakan bahwa kejadian itu diinisiasi milisi pro-pemerintah bernama “Colevtivos”. Intimidasi para anggota parlemen dimulai dengan menembakkan petasan juga mercon saat akan menerobos masuk gedung.

Sebagaimana terlihat dalam video yang beredar di media sosial, lokasi kejadian pun berasap dan sesekali terdengar ledakan dari beberapa sudut gedung. Ada perusuh yang memukuli pejabat parlemen dengan tongkat bendera. Korban pemukulan berusaha dilindungi oleh anggota parlemen lain, namun segera diserbu penyerang lainnya. Kondisi ini membuat kurang lebih 350 orang terjebak di lokasi selama berjam-jam.

Sejumlah foto dan video yang beredar di media sosial menunjukkan betapa horornya kondisi di lokasi. Para korban pemukulan terlihat terluka di beberapa bagian tubuh, termasuk kepala, dan darah mengalir membasahi sebagian besar wajah dan sisanya mengalir menodai pakaian mereka. Pakaian sejumlah korban ada yang terkoyak. Beberapa lainnya duduk di kursi karena belum bisa diamankan ke luar gedung.

Salah seorang politikus Venezuela, Julio Borges, berkata melalui akun Twitter bahwa ada 108 jurnalis, pelajar, dan pengunjung yang turut terjebak. Ia juga menyebutkan, ada lima petugas pembuat undang-undang yang terluka dan harus dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan.

Anggota parlemen yang lain, Armando Armas, dalam kondisi kepala diperban dan sedang dimasukkan ke ambulans, berkata pada awak media: “Luka ini tak sesakit ketimbang harus menyaksikan bagaimana kita kehilangan negara kita hari demi hari."

Krisis Multidimensi di Venezuela

Venezuela memang berada dalam krisis multi dimensi (politik, sosial, ekonomi) sejak beberapa tahun terakhir. Perseteruan antara pemerintah yang diwakili Presiden Maduro dengan anggota parlemen dari kelompok oposisi semakin meruncing. Perang kata-kata sudah berlangsung lama, sehingga dianggap tidak relevan lagi -- situasi yang memicu perseteruan di level yang lebih fisikal: baku hantam dan kekerasan.

Sejak pemilihan umum yang diselenggarakan pada Desember 2015 silam, kubu oposisi menguasai parlemen Venezuela. Jumlah oposisi yang mendominasi parlemen membuat pihak oposisi leluasa melancarkan kritik kepada pemerintah.

Pada bulan Januari 2016, Partai Persatuan Demokratik sebagai oposisi memenangi 109 kursi di Kongres, jauh lebih banyak ketimbang partai sosialis yang mendukung Maduro yang hanya mendapat 55 kursi. Oposisi kini memegang kurang lebih 65 persen kekuasaan di Kongres dan kekuatan ini telah dipakai untuk memecat anggota kabinet Maduro dan meloloskan undang-undang yang tak bisa dibatalkan oleh pemerintah.

Maduro, yang telah berkuasa sejak 2013, dianggap sebagai biang kejatuhan negara ke dalam krisis yang tak berkesudahan dan membuat situasi di akar rumput semakin parah. Warga Venezuela kelaparan, dan bentrok rakyat sipil dengan polisi telah menelan banyak korban.

Buntut “Petro-Sosialisme”

Situasi politik yang tak stabil adalah kabar buruk bagi ekonomi yang sudah lebih dulu remuk redam. Dalam catatan CNN, pada 2015, $1 senilai dengan 175 bolivar. Namun pada 2016, nilai tukar dollar telah melonjak menjadi senilai 865 bolivar. Artinya, satu bolivar hanya senilai $0.0011.

Tahun lalu utang Venezuela telah mencapai $10 miliar. Inflasi meroket hingga 141 persen per September 2015, naik 800 persen pada 2016. Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksi inflasi di negara ini akan mencapai 1.660 persen tahun ini.

Akarnya adalah menurunnya harga ekspor minyak hingga mencapai titik terburuknya dalam 12 tahun terakhir. Padahal ekspor minyak adalah sumber ekonomi andalan Venezuela.

Alejandro Velasco, seorang Associate Professor Amerika Latin di New York University, mengatakan pada The New York Times, model sosialisme pada masa oil boom yang terlalu bergantung pada minyak menjadi penyebabnya. Bukan sosialisme itu sendiri, kata Velasco, namun pada apa yang ia sebut sebagai “petro-sosialisme”.

Ketika harga minyak jatuh, krisis menghantam Venezuela karena negara ini gagal menciptakan sumber pertumbuhan ekonomi yang lain. Situasi ini seakan menghapus pencapaian Venezuela di masa kepemimpinan Hugo Chavez yang sempat membuat iri negara-negara maju dengan kualitas layanan pendidikan dan kesehatan yang mumpuni.

Pemerintah Venezuela juga terjebak dalam lingkaran setan. Mereka mencetak uang lebih agar masyarakat memiliki cukup uang di kantong. Namun, kombinasi dari pencetakan uang dan lesunya impor akibat jatuhnya harga minyak membuat inflasi naik lebih tinggi lagi. Di sisi lain, masyarakat menggunakan uang mereka untuk membeli barang yang harganya telah digelembungkan.

Infografik Venezuela Marah

IMF mengatakan terdapat kesalahan yang cukup besar dalam proyeksi Produk Domestik Bruto Venezuela dari 1999 hingga 2006. Selain itu, pada Oktober 2015, terungkap skandal bocornya berkas audio percakapan antara pengusaha Venezuela Lorezo Mendoza dan mantan politikus Ricardo Hausman yang mengungkapkan adanya upaya oposisi membangun kolaborasi dengan IMF menjelang pemilihan umum parlementer di tahun yang sama.

Di akar rumput, rakyat menderita kelaparan sebab pemerintah tak mampu menyediakan bahan pangan utama seperti telur, susu, dan tepung. Pada 2015, McDonald's di Venezuela bahkan dikabarkan tak mampu menyediakan kentang goreng. Kondisi ini tentu jadi bahan empuk bagi oposisi untuk kian keras menyerang pemerintah.

Situasi sulit yang dialami rakyat Venezuela inilah yang membuat oposisi bisa membangun sentimen anti-pemerintah. Demonstrasi tak henti-hentinya menyerang Maduro. Bentrokan dengan aparat kepolisian tak dapat dihindarkan. Para demonstran menyerang aparat dengan batu, bom molotov juga mortir buatan sendiri, sementara aparat bertahan dengan tembakan senjata.

Kendati terus dihajar oposisi dan keteteran membenahi situasi perekonomian, konstituen dan pendukung Maduro juga tidak kalah militan. Kekerasan di gedung parlemen, dari sisi ini, setidaknya memperlihatkan betapa Maduro juga didukung oleh massa yang tidak dapat dipandang remeh.

Tidak heran jika korban luka-luka meroket seiring makin intensnya bentrokan di jalanan. Sedikitnya, sudah 90 orang meninggal dunia akibat deretan bentrokan yang terjadi.

Manuver Maduro untuk mengontrol mata uang yang sudah dikenakan sejak zaman pemerintahan Hugo Chavez pada 2003 silam juga dianggap bukan solusi terbaik. Chavez pernah mencoba untuk meringankan dampak ekonomi akibat aksi mogok massal sejak Desember 2002 hingga Januari 2003.

Namun, hal inilah yang membuat transaksi penukaran uang di pasar gelap meningkat sehingga berdampak pada nilai mata uang yang semakin sulit dikendalikan. Masyarakat Venezuela sulit untuk menukar bolivar dengan dolar Amerika Serikat dan mata uang asing lain.

Baca juga artikel terkait KRISIS VENEZUELA atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Politik
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Zen RS