Menuju konten utama

Hobi NIKE Merangkul Atlet Pemberontak

NIKE tidak hanya sekali membuat heboh dengan iklan-iklannya.

Hobi NIKE Merangkul Atlet Pemberontak
Iklan Nike menggambarkan gadis berhijab memainkan skateboard. FOTO/Nike

tirto.id - Per Maret 2018, Phil Knight berada di peringkat ke-28 orang terkaya dunia versi Forbes. Lewat NIKE, salah satu brand olahraga terbesar di dunia yang ia dirikan 54 tahun lalu, pendapatan Knight mencapai 34 miliar dolar. Perusahaan yang dia dirikan itu mempunyai 74.000 karyawan di kantor yang tersebar di 52 negara. Namun siapa yang bisa mengira kalau slogan perusahaan itu berasal dari kata-kata terakhir seorang pembunuh yang akan dihukum mati.

Menurut Timothy Bella dalam "'Just Do It': The Suprising and Morbid Origin Story of Nike’s Slogan" di Washington Post, NIKE sempat limbung pada tahun 1988. Saat itu, perusahaan yang didirikan di Oregon, Amerika Serikat, tersebut mendapatkan saingan usaha dari Reebok, brand olahraga asal Inggris. Agar bisa bertahan, NIKE kemudian meminta bantuan dari Dan Wieden, seorang eksekutif di bidang periklanan.

Dalam usahanya membantu NIKE, Weiden teringat kejadian yang menimpa Gary Gilmore. Pada 17 Januari 1977 Gilmore akan dihukum mati karena menjadi tersangka kasus pembunuhan pegawai SPBU juga seorang manajer motel di Utah, Amerika. Ia akan menjadi orang Amerika Serikat pertama yang akan dieksekusi mati dalam rentang hampir satu dekade. Dan sebelum regu tembak mengakhiri hidupnya, Gilmore mengucapkan kata-kata terakhir yang akan selalu mematung dalam ingatan Weiden: “Let’s do it”.

Gilmore mengucapkan kata-kata itu dengan tegas, seperti mencoba melawan peluru yang segera menembus batok kepalanya. Dari situ, Weiden mempunyai ide untuk membuat slogan bagi NIKE. Ia suka kata-kata terakhir Gilmore tersebut, mengubahnya sedikit menjadi “Just do it”, lalu menyampaikan idenya itu kepada Phil Knight. Sayangnya, Weiden justru mendapatkan omelan dari Knight, “Kami [NIKE] tidak membutuhkan sampah semacam itu.”

Weiden tidak menyerah. Knight akhirnya menerima idenya itu, mau menggelontorkan dana 40 juta dolar untuk mengiklankan kampanye barunya itu. Berkat logo itu, NIKE makin dikenal dan akhirnya berdiri kokoh hingga sekarang. Seperti ucapan Gilmore yang mematung dalam ingatan Weiden, slogan “Just Do It” ternyata juga selalu menempel dalam ingatan penggemar NIKE di seluruh penjuru dunia.

Esensi Just Do It

Baru-baru ini, NIKE menjadikan Colin Kaepernick, mantan quarterback di American Football, sebagai duta kampanye 30 tahun Just Do It”. Menurut Gino Visanotti, Nike’s Vice President of Brand di kawasan Amerika Utara, kampanye itu ditujukan untuk anak berusia 15 hingga 17 tahun. Tagline kampanye itu berbunyi “Believe in something. Even if it means sacrificing everything.” Namun, rekam jejak Colin Kaepernick ternyata membuat kampanye itu menjadi sebuah kontroversi.

Pada tahun 2016 lalu, dalam sebuah pertandingan pra musim, Kaepernick tidak mau berdiri saat lagu kebangsaan Amerika Serikat dikumandangkan. Sikapnya itu merupakan bentuk protes dari penembakan yang dilakukan oleh polisi terhadap warga kulit hitam.

Dilansir dari New York Times, Kaepernick mengatakan, “Masalah ini bukan hanya tentang [American] Football. Saya merasa egois bila mengesampingkan yang terjadi. Ada jasad yang berbaring di jalan dan pembunuhnya tetap dibayar dan dibiarkan begitu saja. Saya harus membela orang yang tertindas. Apabila ada yang membatalkan sponsornya kepada saya, setidaknya saya tahu bahwa saya sudah melakukan hal benar.”

Sikap Kaepernick tersebut tentu menimbulkan protes dari berbagai kalangan, termasuk dari Donald Trump, presiden Amerika Serikat. Dilansir dari CBS, Trump mengatakan, “Kamu tidak boleh tidak menghormati negaramu, benderamu, dan lagu kebangsaanmu. Kamu tidak bisa melakukan itu.”

Protes terhadap kontrovesi kampanye “Just Do It” itu juga dilakukan dengan aksi nyata. Ada yang membakar produk NIKE yang sudah mereka beli, ada juga yang menyobek kaus kaki merek NIKE karena merasa kesal. Mereka beramai-ramai melakukan boikot terhadap NIKE.

Yang menarik, menurut Benjamin Allbright, mantan pemain NFL, orang-orang yang mengambil sikap tersebut justru terlihat konyol. NIKE tentu sudah melakukan perencanaan matang untuk menjadikan Kaerpenick sebagai duta kampanyenya. Sebagai perusahaan besar, mereka sudah tentu menghitung untung ruginya.

Maka, melalui akun Twitter pribadinya, Allbright berkata, “Anda membakar perlengkapan NIKE tapi tidak merugikan NIKE sama sekali, dan justru memberikan mereka iklan gratis. Mereka akan menjual barang lebih banyak karena kampanye itu. Anda pikir sebuah perusahaan multi miliar dolar tidak mempelajari untuk rugi dari iklan itu?”

Albright memang tidak salah tapi juga tidak sepenuhnya benar. Bagi NIKE, kampanye “Just Do It” tersebut bukan hanya menyoal untung rugi. Kampanye itu sebetulnya juga ingin menunjukkan esensi dari slogan “Just Do It”. Hal itu sendiri diuangkapkan oleh, Liz Dolan, mantan chief marketing NIKE. “Ini bukan hanya perkara NIKE mengatakan tentan apa yang harus kamu lakukan. Ini perkara NIKE mengatakan kepadamu bahwa kamu harus melakukan apa yang menurutmu benar. Seperti apa yang telah dilakukan oleh Kaepernick,” ujar Dolan.

Dari prinsip itu, Kaepernick sebetulnya bukan satu-satunya duta iklan NIKE yang menimbulkan kehebohan. Pada masa lampau, NIKE juga pernah menimbulkan kontroversi soal iklannya: mereka kerap merangkul “para pemberontak”.

Infografik Colin Kaepernick

Para Pemberontak dalam Iklan NIKE

Pada tahun 1995 lalu, NIKE setidaknya mengeluarkan tiga iklan yang menimbulkan perdebatan. Pertama, pada Februari, mereka menjadikan Ric Munoz, seorang pelari marathon pengidap HIV/AIDS, sebagai model iklan. Kedua, pada bulan Agustus, mereka mengeluarkan iklan berjudul "If You Let Me Play Sport" untuk mengkampanyekan bahwa kaum perempuan akan hidup lebih baik jika mereka juga berolahraga. Dan ketiga, pada Oktober, mereka menyambut kembalinya Eric Cantona dari masa hukuman dengan sebuah iklan dengan tagline “He’s been punished for his mistake. Now it’s someone else turn.”

Dalam iklan Munoz, NIKE dianggap melakukan kesalahan karena membicarakan AIDS secara terbuka. Sedangkan dalam iklan "If You Let Me Play Sport", NIKE dianggap menyederhanakan masalah tentang perempuan. Lalu iklan Cantona ternyata tidak populer di Inggris. Menurut Rob Smyth di The Guardian, dalam iklan itu Cantona dianggap tidak tulus dalam meminta maaf.

Cantona dihukum karena melakukan tendangan kungfu terhadap Matthew Simmons, seorang penggemar Crystal Palace. Apa pun alasan Cantona melakukan hal tersebut, perbuatannya tentu tidak dapat dibenarkan. NIKE, yang saat itu menjadi sponsor Cantona, juga menyadarinya.

“Kami menyesalkan segala tindakan kekerasan dalam olahraga,” ujar Simon Taylor, kepala pemasaran NIKE pada saat itu, dilansir dari The Independent. ”Eric tahu bahwa apa yang ia lakukan salah dan kami tidak akan membenarkannya dengan cara apa pun.”

Yang menarik, daripada memecat Cantona, NIKE justru bisa mengambil keuntungan darinya. Mereka tahu bahwa Cantona memang pemain bermasalah, tapi mereka juga tahu bahwa Cantona adalah pemain yang berbeda. Ia benar-benar contoh yang bagus untuk atlet profesional lainnya: tidak pernah datang terlambat saat latihan, sering menghabiskan waktu lebih lama daripada pemain lainnya di tempat latihan untuk mengasah kemampuannya, juga sering kali melayani para penggemarnya melebihi batasan.

Dari situ, NIKE menilai bahwa Cantona punya nilai jual sangat tinggi. Meski iklan sambutannya terhadap Cantona tidak populer, kiprah Cantona setelah itu menegaskan bahwa NIKE tak salah mengambil keputusan. Seperti berjuang seorang diri, Cantona berhasil membawa Manchester United meraih gelar ganda Premier Legue dan Piala FA pada akhir musim 1995-1996.

Jauh hari setelah itu, NIKE kembali memunculkan iklan yang tak kalah menarik. Pada tahun 2017 mereka mengeluarkan iklan "Equality", dibintangi Serena Williams, LeBron James, juga Kevin Durant, untuk membicarakan kesetaraan sosial. Beberapa bulan setelahnya, iklan berjudul "What Will They Say About You?" muncul. Dalam iklan berdurasi 1 menit 10 detik tersebut, NIKE seolah menggambarkan bahwa kaum perempuan di Timur Tengah tidak dianggap wajar saat berolahraga.

Setelah iklan Kaepernick membuat heboh, tujuan NIKE dalam membuat iklan-iklan tertentu memang masih dipertanyakan. Apakah mereka benar-benar membuat iklan itu berdasarkan prinsip “Just Do It”, dengan memberikan pesan tertentu? Atau, apakah hanya menyoal fulus saja?

Menyoal itu, Anand Giridharadas, seorang jurnalis asal Amerika mempunyai pendapat menarik. Ia mengatakan bahwa beberapa perusahaan hanya, “berdampingan dengan keadilan sosial, pada dasarnya, untuk mengubah citra mereka dengan cara yang paling murah.”

Baca juga artikel terkait NIKE atau tulisan lainnya dari Renalto Setiawan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Renalto Setiawan
Editor: Nuran Wibisono