Menuju konten utama

Hoax Harga Rokok Rp 50.000 Adalah Kita

Bagaimana hoax harga rokok Rp 50 ribu membuat para politisi terlihat seperti sekumpulan badut dan media-media arus utama semakin tidak bisa dipercaya.

Hoax Harga Rokok Rp 50.000 Adalah Kita
Sejumlah buruh menyelesaikan lintingan rokok di pabrik rokok Desa Munjung Agung, Tegal, Jawa Tengah, Rabu (29/6). [Antara foto/oky lukmansyah/ama/16]

tirto.id - Alurnya begini: Sebuah lembaga penelitian di sebuah universitas ternama merilis hasil penelitian di angka berapa harga rokok bisa bikin tobat para pengisapnya, ketemulah Rp.50.000 per bungkus, dengan perkiraan jumlah perokok akan terjun bebas hingga 70 persenan. Hasil penelitian itu dipaparkan di sebuah forum ekonomi kesehatan nasional tapi berbahasa Inggris; portal-portal berita abal-abal kemudian menurunkan berita berkepala "Kebijakan Pemerintah!! Mulai Hari ini Harga Rokok Naik Menjadi Rp.50.000/Bungkus". Berita itu kemudian tersebar secara massif di berbagai media sosial, dengan modifikasi macam-macam yang cukup canggih, dengan meme-meme, dengan gambar palsu daftar harga rokok di minimarket, bahkan foto-foto itu tersebar di berbagai grup aplikasi pesan seperti LINE, Telegram, dan Whattsapp. Kabar bohong menyebar dari pintu ke pintu hingga masuk ruang paling pribadi.

Mendapati kenyataan semua orang bicara harga rokok Rp.50.000, media-media yang dikenal cukup kredibel merasa rugi kalau tidak nimbrung di percakapan publik yang sedang menjadi trending topic. Mereka pun mulai memproduksi berita-berita serupa, caranya dengan memintai pendapat para politisi mengenai "rencana" atau "wacana" tersebut tanpa mengonfirmasi terlebih dahulu dari mana asal si kabar, para politisi ngoceh setuju dan mendukung.

Demikianlah hoax bersimaharajalela. Tak terbendung. Siapa dalangnya? Para aktivis prorokok menuding kelompok antirokok berada di belakangnya, spekulasi berkeliaran, teori konspirasi bermunculan, komentar-komentar bodoh (sesekali ada, sih, yang pintar tapi apa yang bisa anda harapkan dari kerumunan?) berebut cari panggung, segalanya menjadi nonsens.

Pada mulanya adalah 3rd Indonesian Health Economics Association (InaHEA) Congress di Yogyakarta. Dalam kongres yang diselenggarakan pada 28 Juli itu, Hasbullah Thabrany, Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, menyatakan bahwa harga rokok seharusnya dinaikkan dua kali lipat demi menurunkan prevalensi perokok.

Benarkah demikian? Menurut Hasbullah, berdasarkan survei yang dilakukan lembaganya terhadap 1.000 orang melalui saluran telepon dalam kurun waktu Desember 2015 sampai Januari 2016, sebagian besar perokok itu akan kapok jika harga rokok melambung tinggi. "Sebanyak 72 persen bilang akan berhenti merokok kalau harga rokok di atas Rp50.000," kata Hasbullah.

Apakah para perokok mendukung skenario Hasbullah? Masih berdasarkan studi Hasbullah dan rekan-rekannya, seperti ditulis Kompas Health, 76 persen perokok setuju harga rokok dan cukai dinaikkan.

Mulai awal Agustus, beberapa situs yang alamat dan susunan redaksinya tidak jelas menyiarkan kabar hasil penelitian Hasbullah tersebut dengan judul provokatif. Salah satunya Populerkan.id, yang pada 4 Agustus menurunkan judul berita yang bikin panik para perokok: "Kebijakan Pemerintah!! Mulai Hari ini Harga Rokok Naik Menjadi Rp.50.000/Bungkus!"

Berita Populerkan.id yang surplus tanda seru itulah yang menjadi viral, tautannya disebarkan dan berbagai situs sejenis lain menyalin-tempel kontennya dan dengan senang hati ikut serta dalam arus penyebaran kabar burung kenaikan harga rokok—antara lain TriibunNews.com, dengan dua "i". Hasilnya, di Facebook, hingga tulisan ini dibuat, 38.264 orang membicarakan "harga rokok" dan 4.579 orang mengetikkan kata kunci "harga rokok naik".

Isu ini semakin panas dan topiknya semakin masak setelah pada dua pekan terakhir media-media arus utama latah memberitakan hal yang sama. Media-media tersebut tanpa verifikasi menyebutnya sebagai "wacana pemerintah" atau "rencana pemerintah" lalu meminta tanggapan dari tokoh-tokoh politik, ada yang menyebutnya wacana atau rencana saja tanpa penjelasan yang utuh, bahkan ada pula yang memberitakannya sebagai rencana Kementerian Perindustrian.

Gayung bersambut. Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Para politisi tentu saja suka bicara, apalagi jika yang keluar dari mulutnya diabadikan media dalam sebuah berita.

Djarot Saiful Hidayat, Wakil Gubernur DKI Jakarta, langsung menanggapi pertanyaan wartawan di Balai Kota DKI dengan antusias, "Wah, bagus itu. Jadi untuk menekan para perokok, ya, naikkan saja [harganya]," kata Djarot pada 11 Agustus. "Kasih pajak juga yang tinggi, terutama untuk rokok yang banyak penggemarnya."

Jika para politisi biasanya waspada terkait siapa dicalonkan siapa atau kelompok apa, dan cenderung bertanya balik dari mana kabar tersebut, dalam isu kenaikan harga rokok ini mereka seperti kehilangan kehati-hatian. Ketua DPR Ade Komarudin, ketika ditanya wartawan di Kompleks DPR RI, langsung memberikan pernyataan mendukung. "Saya setuju dengan kenaikan harga rokok," kata Ade pada 19 Agustus.

Di tengah simpang-siurnya pemberitaan, riuhnya percakapan media sosial, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (DBJC Kemenkeu) akhirnya mengeluarkan klarifikasi. Pada Sabtu, 20 Agustus, melalui akun Twitter @beacukaiRI, DBJC mengumumkan: "Menanggapi isu yang beredar mengenai harga rokok yang beredar di media sosial/pesan berantai/media lainnya, kami sampaikan bahwa berita tersebut tidak dapat dibicarakan kebenarannya. Karena sampai saat ini belum ada aturan terbaru mengenai Harga Jual Eceran (HJE) rokok."

Menurut Heru Pambudi, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, pemerintah tahun depan memang berencana menaikkan tarif cukai rokok—sebagaimana dilakukan di hampir setiap tahun. Rencana tersebut seiring dinaikkannya target penerimaan dari cukai hasil tembakau (CHT) menjadi Rp149,88 triliun—naik 5,78 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2016 yang sebesar Rp141,7 triliun.

Namun, Heru mengaku pihaknya masih mengkaji besaran kenaikan tarif CHT dan angka Rp149,88 triliun masih belum final. Kalau pun ada perubahan, pelaku industri rokok akan diberitahu paling lambat tiga bulan sebelum kebijakan berlaku—agar pelaku industri bisa melakukan penyesuaian, dan pemerintah bisa menyiapkan pita cukai dan tetek-bengek administrasi yang diperlukan.

“Supaya produsen dan penjual rokok bisa menyesuaikan harga jual, masyarakat pengonsumsi rokok juga bisa mengantisipasi kenaikan harga. Kami upayakan pengumumannya seawal mungkin,” kata Heru.

Tapi berita bohong telanjur beredar. Kepanikan telanjur menjalar. Banyak perokok yang kalap membeli rokok berslop-slop karena khawatir harga rokok kesayangannya bulan depan akan naik.

Di media sosial, debat klise antara kelompok pembenci dan pecinta rokok kembali mengemuka.

Baca juga artikel terkait ROKOK atau tulisan lainnya dari Arlian Buana

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Arlian Buana
Penulis: Arlian Buana
Editor: Arlian Buana