Menuju konten utama

Histeria Anti-Vaksin: Agamawan Menyemai, Ilmuwan Memulai

Sumber ketakutan massal akan vaksin kerap dialamatkan pada media dan agamawan. Kongkalingkong ilmuwan dan bisnis jadi salah satu akar masalahnya.

Histeria Anti-Vaksin: Agamawan Menyemai, Ilmuwan Memulai
Geger Riyanto

tirto.id - Ketakutan terhadap vaksin boleh saja disebarkan oleh pesan-pesan tak bertanggung jawab bertungkus agama. Namun, pada mulanya sikap anti-vaksin lahir dari skandal ilmu pengetahuan.

Sebuah tim yang terdiri dari tiga belas peneliti medis pimpnan Andrew Wakefield, dokter pencernaan asal Inggris, meriset anak-anak yang mengalami berbagai gejala gangguan perkembangan. Dua belas anak-anak ini tumbuh wajar, namun mendadak terganggu. Ada yang di antaranya bahkan kehilangan kemampuan berbahasa.

Perhatian Wakefield dan koleganya kontan tertuju pada vaksinasi cacar, gondok, dan rubella (MMR). Oleh orangtua mereka, kedelapan anak ini dilaporkan mengalami gangguan yang tergolong sebagai gejala autisme selepas diimunisasi.

Autisme dan imunisasi, Wakefield menduga, boleh jadi berhubungan.

Penelitian Wakefield dan kolega lantas terbit dalam sebuah jurnal kedokteran prestisius, The Lancet, pada 1998. Tak berhenti di sana, Wakefield menggelar sebuah jumpa pers, selain merilis berita video melalui institusinya, Royal Free Hospital. Ia menyampaikan kepada para wartawan bahwa vaksin MMR harus ditarik. Awalnya, media terpikat dengan temuan kontroversialnya tersebut. Sosok Wakefield pun muncul di halaman depan koran-koran Britania Raya, mulai dari Independent hingga Guardian.

Dari waktu ke waktu, media tak berhenti mengolah temuan Wakefiled menjadi berita hangat nan sensasional.

Kita tahu lanjutan ceritanya. Para pesohor dan sosok berpengaruh menunjukkan secara blak-blakan bahwa mereka tak percaya vaksinasi. Sentimen anti-vaksin kembali mendunia.

Ketika editor Lancet menarik tulisan Wakefield dkkpada2010, semua sudah terlambat. Angka vaksinasi anak berusia dua tahun di Inggris turun hingga di bawah delapan puluh persen. Pemerintah Amerika Serikat mendeklarasikan negerinya bebas cacar pada tahun 2000. Namun, setelahnya hingga 2017, 2.216 kasus cacar dilaporkan terjadi di negeri Paman Sam.

Penolakan atas vaksin pun menjangkiti dunia. Di Indonesia, kita sudah cukup tahu apa yang terjadi. Di Nigeria, orang-orang menolak vaksin polio setelah muncul rumor bahwa vaksin dapat menyebabkan kemandulan. Akibatnya, pada 2008 jumlah kasus polio melejit di Nigeria. Delapan puluh enam persen dari kasus polio di Afrika terjadi di Nigeria.

Izin praktik Wakefield sebagai dokter sudah dicabut di AS. Ia pun tak diperkenankan membuka praktik di Inggris. Kredibilitas Wakefield memang sudah remuk sejak skandal penelitiannya terbongkar. Sewaktu melakukan penelitian, Wakefield tengah berusaha mematenkan vaksin cacarnya sendiri. Sejumlah orangtua yang menjadi informan penelitiannya sejak awal memang tengah menuntut produsen vaksin MMR karena merasa anaknya menjadi autis karenanya—dan Wakefield menerima uang sebesar £400,000 dari pengacara para orangtua ini.

Namun, ‘temuan’ Wakefield masih mengancam kesehatan anak-anak di banyak tempat hingga hari ini.

Tentu saja, citra vaksin yang kita jumpai sekarang dalam imajinasi orang-orang yang ditakut-takuti media dan sebagian pemuka agama sudah berbeda dengan citra vaksin yang dikampanyekan Wakefield. Para pemuka agama dan media yang menyusu dari ketakutan umat telah memelintirnya sedemikian rupa, sampai-sampai kini vaksin dianggap produk konspirasi Yahudi, mengandung darah babi, hingga sari pati monyet.

Seandainya Wakefield dan para kolega tak pernah melansir studi abal-abalnya, atau jika para pemeriksa naskah The Lancet lebih telaten, segala keruwetan dan malapetaka ini mungkin takkan pernah merebak di abad ke-21.

Bagi beberapa orang, gagasan yang disebarkan Wakefield tak ada bedanya dengan hoaks karena tak punya sandaran faktual. Ia sekadar membonceng ketakutan massal yang menghalangi daya pikir orang banyak. Pertanyaannya, mengapa ia tak berakhir di tong sampah digital layaknya banyak hoaks hari ini dan justru menjelma “hoaks medis paling mematikan” dalam seratus tahun belakangan?

Jawabannya: gagasan Wakefield pernah memperoleh stempel ilmiah.

Sadar atau tidak, praktik memberikan label ilmiah secara serampangan seperti yang dilakukan jurnal Lancet adalah ancaman laten bagi tiap lembaga keilmuan. Anggapan lembaga keilmuan sebagai benteng yang kokoh yang sucihama dari pengaruh politik dan motif ekonomi memang sudah seharusnya masuk liang lahat. Lembaga keilmuan seperti kampus dan institusi riset memang punya daya persuasi publik yang dahsyat, tapi acapkali dijalankan oleh orang-orang yang tak cukup peduli dengan perkembangan sains, entah karena kesibukan administratif atau memang sejak awal tak peduli.

Seperti yang dikatakan Richard Horton, editor jurnal The Lancet, studi Wakefield tak seharusnya lolos dari proses peer review yang teliti. Namun, kenyataannya ia lolos.

Melacurkan Sains

Dalam konteks yang lebih luas dari vaksin, tak mudah mendeteksi penyembunyian pendanaan riset atau bahkan penulisan yang bermasalah secara etis. Dan sialnya, dunia akademik sudah sering menciderai ilmu pengetahuan itu sendiri dengan praktik-praktik yang tidak etis.

Dalam sebuah surel tertanggal Februari 2015, William Heydens, seorang eksekutif perusahaan pertanian Monsanto, memerintahkan kepada para stafnya untuk mengarang sebuah kajian ilmiah tentang keamanan pestisida yang diproduksi perusahaannya. Apa cara yang dilakukan Heydens agar kajian tersebut dipercaya banyak orang? Sangat mudah: ia meminta sejumlah ilmuwan untuk mencantumkan nama mereka dalam kajian tersebut. Praktik serupa, ujar Heydens, pernah dilakukan Monsanto pada tahun 2000 dan berhasil.

Naif tentunya bila kita membayangkan praktik semacam hanya dilakukan oleh Monsanto.

Jurnal-jurnal medis di AS bahkan secara terang-terangan hidup dari bayaran perusahaan-perusahaan medis raksasa. Dalam studi yang dilangsungkan terhadap 52 jurnal medis berpengaruh di AS, Jessica J. Lie menemukan bahwa lebih dari separuh editornya menerima bayaran dari perusahaan farmasi dan produsen alat-alat medis. Mereka rata-rata memperoleh $27.564 dan ini belum mencakup biaya riset yang mencapai rata-rata $37.330.

Bagaimana dengan Indonesia?

Kehidupan akademik di Indonesia memang tidak mengorbit di jurnal. Namun, analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), yang berlangsung tak kurang dari 40.000 kali per tahun, adalah ruang di mana kredensial keilmuan jamak dilelang tanpa memedulikan kehidupan orang banyak.

Amdal Semen Indonesia adalah contoh besar yang bisa dirujuk: ia tak pernah mempertimbangkan kerusakan daya dukung hidup bagi lingkungan masyarakat di sekitar wilayah pabrik di pegunungan Kendeng. Barulah setelah perlawanan bertahun-tahun yang menghabiskan banyak sumber daya, orang berangsur-angsur menyadari dampak destruktifnya.

Persoalan yang kita hadapi cukup pelik. Namun, saya tak ingin menampik arti dari kerja keilmuan. Karya-karya para pekerja pengetahuan telah membantu menyingkirkan prasangka, muslihat, serta memungkinkan kehidupan yang lebih baik. Bukankah vaksin adalah hasil dari kerja-kerja saintifik? Bukankah antibiotik yang telah menyelamatkan jutaan nyawa juga lahir dari eksperimen-eksperimen melelahkan?

Namun, tak semestinya kita juga abai pada fakta bahwa tak sedikit ilmuwan yang justru menukarkan pengabdiannya untuk fakta dengan dedikasi untuk bisnis. Pada titik itu, mereka turut menciptaan budaya anti-sains, yang salah satunya terwujud dalam ketakutan massal akan vaksinasi.

Mereka punya kapasitas untuk menciptakan hidup. Mereka pun dapat merampasnya ketika abai dengan tanggung jawabnya.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.