Menuju konten utama

Hindutva dan Politik Kekerasan terhadap Umat Islam di India

Setelah Rohingya di Myanmar dan Uighur di China, kini muncul lagi diskriminasi terhadap umat muslim lainnya di India.

Hindutva dan Politik Kekerasan terhadap Umat Islam di India
Orang-orang merusak sebuah mobil selama bentrokan antara kelompok yang memprotes RUU Amendemen Kewarganegaraan dan mereka yang mendukungnya, di New Delhi, India, Senin (24/2/2020). (AP Photo/Dinesh Joshi)

tirto.id - Dua buah foto yang diabadikan oleh fotografer Reuters, Danish Siddiqui, memperlihatkan dengan intens seperti apa kengerian yang dialami warga Muslim di India seiring dengan kerusuhan yang merebak di sana. Subjek dalam foto tersebut adalah seorang pemuda bernama Mohammad Zubair.

Foto pertama memperlihatkan Zubair tengah bersujud melindungi kepalanya di tengah kepungan massa yang bersenjatakan tongkat besi dan balok kayu. Di foto kedua, tampak seorang pemuda yang mengenakan helm full face, siap menggebuk Zubair yang sudah terkapar dalam posisi miring.

Sementara gamis yang dikenakan Zubair sudah bercampur lumuran darah dan noda hitam dari aspal, maka, rasa-rasanya, butuh semacam mukjizat baginya untuk dapat lolos dari amukan tersebut dalam keadaan bernyawa.

“Mereka meneriakan maro shale mulleko (bunuh bajingan Muslim) dan jai Sri Ram (slogan nasionalis Hindu),” tutur Zubair, yang ternyata masih mampu bertahan hidup, kepada Guardian.

“Benar-benar sebuah keajaiban aku bisa selamat.”

Namun, tidak demikian dengan Mohammed Afrazul, korban penganiayaan lainnya, yang kisahnya dilaporkan Al Jazeera: ia tewas dengan amat mengenaskan. Setelah dibawa ke tempat sepi oleh pelaku bernama Shambhu Lal, Afrazul segera dipukuli beramai-ramai oleh rombongan lain yang berada di sana. Tatkala sudah terkapar tak berdaya, Shambhu menyiram minyak tanah ke tubuh Afrazul, lalu membakarnya hidup-hidup.

Setengah tubuh pemuda itu dilahap api. Ia tewas di tempat.

Shambhu, sang pelaku utama, kemudian melanjutkan kejahatan lainnya. Di hadapan kamera yang merekam aksinya tadi, ia lantang berkata: “Kalian para jihadis, ini yang akan terjadi pada kalian. Berhenti ‘mencintai jihad’ di India atau kalian akan bernasib sama seperti Afrazul.”

Hingga kini, 35 umat Muslim tewas, dari sekitar 49 korban lainnya, akibat kerusuhan yang terjadi di India. Berdasarkan berbagai laporan yang diterima berbagai rumah sakit di sana, para korban terluka mendapat luka tembak, luka tusuk, luka bakar, hingga penganiayaan di alat kelaminnya.

Sengaja Dilakukan (?)

Isu sektarian di India bermula dari perbedaan pandangan soal kewarganegaraan. Perdana Menteri India, Narendra Modi, mengesahkan Undang-undang (UU) Anti-Muslim atau UU Amandemen Warga Negara (UU CAB).

Salah satu aturannya adalah memberi kesempatan bagi imigran ilegal dari Afghanistan, Bangladesh, dan Pakistan untuk pindah kesana dengan sebuah syarat: asalkan tidak beragama Islam. Dengan aturan yang sama pula, maka warga negara India yang muslim juga terancam kewarganegaraannya.

Sanjay Jha, juru bicara partai oposisi utama Partai Kongres, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa hukum itu adalah "bagian dari strategi politik Nasionalis Hindu, Partai Bharatiya Janata (BJP), yang memecah belah lebih dalam untuk mempolarisasi India".

Kerusuhan di India merebak tak berlangsung lama usai kunjungan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Kunjungan tersebut disinyalir beberapa pihak mendapat dukungan dari BJP yang mendukung Modi. Hasil investigasi polisi juga menyebutkan bahwa pemimpin BJP, Kapil Mishra, ikut memobilisasi massa dalam kerusuhan yang berakar akhir Februari 2020 tersebut.

Laporan Hindustan Times juga semakin memperkuat dugaan itu. Mishra memang mengancam akan bertindak tanpa mematuhi instruksi penegak hukum jika demonstrasi berlangsung lebih dari tiga hari. Alasannya: demi mengawal kunjungan Trump ke India.

Sementara Hakim Pengadilan Tinggi Delhi, lokasi di mana kerusuhan bermula, S. Muralidhar, mengkritik tajam pihak kepolisian yang tak kunjung mampu meredakan kerusuhan. Dia juga mendesak aparat untuk segera melakukan investigasi pada politikus BJP karena menganggap partai yang tengah berkuasa itu turut menghasut kekerasan. Namun, yang terjadi Muralidhar justru dimutasi ke negara bagian lain.

Dugaan lain adalah adanya 1.500-2000 orang yang sengaja dibawa ke Delhi untuk melakukan kerusuhan. Tuduhan ini dikemukakan oleh pimpinan Delhi Commission for Minorities, Zafarul Islam Khan. Kendati begitu, dia tidak menyebut pihak mana yang mengirim pasukan tersebut.

“Penemuan kita menunjukan ini adalah kekerasan yang telah direncanakan,” kata Khan seperti dilansir The Wire. “Orang-orang yang melakukan kerusuhan sengaja dibawa dari luar [Delhi]. Polisi dan intelijen harusnya bisa menemukan dari mana mereka berasal.”

Dari laporan yang telah ia susun, para terduga perusuh itu sengaja berdiam diri di sekolah selama 24 jam sebelum akhirnya meluncurkan serangan. Perbedaan pandangan tentang UU Amandemen Warga Negara pun segera berubah menjadi diskriminasi pada umat Muslim.

Kendati kepolisian Delhi mengaku telah menurunkan pasukan, Khan tidak melihat mereka sudah berusaha serius menghentikan kerusuhan. Setelah dua hari kerusuhan merebak, polisi baru mulai mengambil tindakan. Bagi Khan, polisi tidak menyelamatkan siapapun dari kerusuhan itu mengingat banyaknya rumah yang dibakar dan jumlah korban jiwa.

“Mereka tidak menyelamatkan apapun. Mereka membiarkan orang dan properti dibakar, membiarkan perusuh merusak rumah bahkan meledakannya,” ujar Khan.

Muslim Tidak Diinginkan

Vinayak Damodar Savarkar mungkin tak pernah menyangka hampir satu abad setelah dia menulis tentang Kehinduan atau Hindutva: Who is Hindu (1923), pemikiran itu kini menjadi salah satu pemicu pembantaian Muslim di India.

BJP yang diduga ikut mendukung kekerasan terhadap Muslim di India menjadikan Hindutva sebagai ideologi partai. Ideologi tersebut pula yang dianut oleh Modi selama ini. Dia tak segan-segan menunjukan dirinya sebagai nasionalis Hindu, dan sejumlah tindakannya pun dianggap merugikan umat Muslim India.

Profesor ilmu Politik dari Universitas Indiana, Sumit Ganguly, dalam tulisannya di The Conversation mencatat selama lima tahun pemerintahan periode sebelumnya, Modi memang sudah terlihat tak adil pada orang Muslim. Sampai tahun 2019, sebanyak 36 orang Muslim tewas dibunuh sampai digantung.

Perkara utamanya adalah nasionalisme Hindu yang menganggap sapi sebagai hewan suci. Prinsip ini pula yang digembar-gemborkan oleh BJP, sehingga berujung penghakiman sewenang-wenang dari masyarakat India yang mayoritas beragama Hindu, kepada orang Islam. Kisah berikut jadi salah satu contohnya.

Satu ketika, Mohammed Mazlum Ansari (35) dan bocah berusia 12 tahun bernama Imteyaz Khan, bermaksud menjual hewan kurban (sapi) ke tempat pemotongan hewan. Dalam perjalanan mereka dicegat, dipukuli hingga tewas, lalu digantung di pohon oleh massa yang tak dikenal.

Ayah Khan, Azad Khan, hanya bisa ketakutan dan bersembunyi di semak-semak, kendati mengetahui putranya dianiaya hingga tewas.

Pelarangan di 24 dari 29 provinsi di India ini tentu saja berefek tidak baik, terutama bagi negara yang mengaku sekular. Lantas apa yang dilakukan Modi? Dia diam saja, sekalipun korban jiwa bertambah. Bercokolnya Modi membuat kelompok Hindu sayap kanan semakin kuat dengan Hindutva terus menopang pemikiran mereka.

Aktivis kelahiran India, Kenan Malik, menyatakan Hindutva melihat Hindu adalah jalan hidup satu-satunya bagi India. Dengan prinsip itu, kaum Muslim dianggap tidak sepatutnya berada di India. Salah satu anggota parlemen BJP, Giriraj Singh, sempat menyebut bahwa seharusnya umat Muslim di India sudah minggat ke Pakistan sejak dulu, tepatnya pada 1947 ketika Muhammad Ali Jinnah mendirikan Pakistan.

“Jika saat itu orang-orang Muslim dikirim ke sana dan Hindu dibawa ke sini [India], kita tidak akan berada dalam situasi begini,” ucapnya seperti dikutip Business Standard.

Baca juga artikel terkait INDIA atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Eddward S Kennedy