Menuju konten utama

Hindia Bangkrut Gara-Gara Perang, Muncullah Modal Asing di Jawa

Situasi ekonomi pasca-Perang Jawa tidak berhasil dipulihkan melalui sistem Tanam Paksa.

Hindia Bangkrut Gara-Gara Perang, Muncullah Modal Asing di Jawa
warga mengunjungi kawasan wisata benteng van den bosch di kelurahan pelem, kab. ngawi, jawa timur, selasa (9/8). benteng van den bosch merupakan bangunan peninggalan belanda yang dibangun pada tahun 1839 dan merupakan salah satu objek wisata sejarah di wilayah ngawi. antara foto/fikri yusuf/foc/16.

tirto.id - Kebijakan investasi asing atau penanaman modal asing (PMA) tidak henti-hentinya diperbincangkan di muka publik. Presiden Joko Widodo kembali menyinggung pentingnya investasi dalam acara di Sentul International Convention Center (SICC) Bogor, Minggu (14/7/2019) lalu. Jokowi mengaku kecewa lantaran kinerja investasi di Indonesia saat ini sangat loyo.

Peraturan baru mengenai penanaman modal asing sudah pernah disahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007. Seperti apa yang menjadi harapan presiden, penanaman modal asing dipercaya sebagai faktor yang bisa mempercepat pembangunan ekonomi nasional.

Kepercayaan itu jugalah yang melatarbelakangi penanaman modal asing di Hindia Belanda, 150 tahun silam. Kala itu, pemerintah kolonial merasa perlu menarik investor asing ke Hindia guna mempercepat pemulihan ekonomi pasca-Perang Jawa (1825-1830) yang tidak berhasil diatasi melalui sistem Tanam Paksa.

Dari Tanam Paksa ke UU Agraria

Setelah berhasil menaklukkan Pangeran Diponegoro, Belanda menegaskan diri sebagai penguasa tanah Jawa. Para raja dan bupati beramai-ramai tunduk menyerah kepada kumpeni yang dianggap sedang berdiri di atas angin. Padahal, kenyataan di balik tirai berkata lain. Perang telah berhasil membuat perekonomian pemerintah kolonial terseok-seok.

Menurut Peter Carey dalam Asal Usul Perang Jawa: Pemberontakan Sepoy & Luisan Raden Saleh (2004: 1), untuk mempertahankan kedaulatan di Hindia Belanda, Kerajaan Belanda harus mengeluarkan tidak kurang dari 20 juta gulden (kira-kira tiga miliar dolar Amerika dalam uang sekarang). Uang tersebut diberikan dalam bentuk pinjaman kepada pemerintah di negara koloni.

Jumlah tersebut cukup memberikan pukulan kepada pejabat kolonial yang tinggal di Hindia Belanda. Dalam kondisi lemah selepas berperang, mereka tidak akan mampu mengembalikan utang tersebut. Terlebih, jumlah ekspor dari negara tropis itu merosot sejak tahun 1820 akibat persaingan dengan Inggris.

Untuk mengembalikan uang tersebut, pada 1829, Raja Wiliam I mengirim Johannes van den Bosch ke Hindia Belanda sebagai Gubernur Jenderal yang baru. Van den Bosch adalah sosok cekatan dan berpengalaman menangani segala urusan Hindia Belanda dengan inisiatif sendiri.

Catatan Robert van Niel dalam Sistem Tanam Paksa di Jawa (2003: 220) menyebut van den Bosch pulalah yang menelurkan ide Tanam Paksa. Tugas Bosch hanya satu, yakni mengisi kembali kantong Kerajaan Belanda dengan cara meningkatkan ekspor setinggi-tingginya dari negara koloni.

Menurut van Niel, Tanam Paksa yang berlaku sejak 1830 telah menebalkan gagasan bahwa desa adalah kekuatan produktif paling pokok di Jawa. Desa kemudian menjadi suatu entitas otonom dengan hilangnya para elite Jawa dalam kegiatan administrasi perkebunan rakyat.

Para pegawai administrasi Belanda bisa dengan mudah berurusan langsung dengan kepala desa yang mewakili para para pemilik tanah. Berdasarkan penelitian Djulliati Suroyo dalam Eksploitasi Kolonial Abad XIX (2000: 190), para utusan Belanda yang datang kala itu merupakan pengusaha-pengusaha yang terikat kontrak dengan pemerintah kolonial untuk melakukan pembelian hasil bumi dari petani.

Kembali ke penelitian van Niel, pada akhirnya pola kepemilikan tanah di Jawa yang semula sarat akan unsur feodal menjadi pora-poranda akibat tanam paksa. Kondisi ini mendorong upaya penyelidikan pada tahun 1867 untuk menentukan hak-hak tanah di Jawa.

Dengan hilangnya pengaruh elite pribumi, kaum liberal dalam Parlemen Kerajaan Belanda memandang inilah saat yang tepat untuk kembali mengangkat gagasan ekonomi liberal. Mereka menganggap pemerintah sepatutnya menjauhkan diri dari kehidupan ekonomi negeri jajahan dan menyerahkan sepenuhnya kepada swasta. Hal itu yang diungkap D.H. Burger dalam Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia (1962: 204).

Kecenderungan yang nampak sepanjang 1860-an tersebut mendorong lahirnya sistem sewa tanah dari desa kepada pengusaha Eropa. Jan Breman melalui karya Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa (2014: 325) menunjukkan pada periode yang sama, parlemen Belanda sudah punya keinginan untuk menghapus Tanam Paksa dan mengesahkan sistem perekonomian yang baru di Hindia Belanda melalui penetapan Undang-Undang Agraria (Agrarisch Wet) tepat pada 1870.

Liberalisme dan Serbuan Modal Asing

Ekonomi liberal sebenarnya sudah pernah digagas oleh Gijsbert Karel van Hogendorp pada awal abad ke-19. Akan tetapi, ideologinya ini kalah nyaring dibandingkan yang dikeluarkan van den Bosch. Liberalisme ekonomi pun hanya sedikit memberi pengaruh kepada Raja William I, yang pada akhirnya lebih memilih gagasan Tanam Paksa buah pikir van den Bosch.

Jan Breman, dalam laporan penelitiannya, mengkisahkan bahwa sebelum Perang Jawa berakhir pada 1830, sudah pernah terjadi percobaan untuk menarik modal asing dengan mendirikan perusahaan-perusahaan berskala besar. Akan tetapi, hasil awalnya tidak begitu memuaskan. Sistem Tanam Paksa dijadikan pilihan tercepat untuk mengeruk kekayaan Hindia Belanda.

Dua puluh tahun kemudian, Dirk van Hogendorp, anak dari G.K. van Hogendorp, menulis kembali usulan ekonomi liberal dalam sebuah laporan. Hogendorp mengulang ucapan ayahnya yang menyatakan dukungan agar Hindia Belanda mengimpor modal dan pengetahuan dari Eropa guna membuka lahan liar.

Menurut Breman, meskipun ayah dan anak van Hogendorp menentang pemaksaan dalam kebijakan ekonomi negara koloni, pada hakikatnya mereka tidak pernah secara langsung bersimpati kepada petani. Apa yang mereka lakukan murni mewakili golongan pemodal Eropa yang semakin gencar ingin berpartisipasi dalam kegiatan eksploitasi negara jajahan.

Dalam laporanya, van Hogendorp tidak sedikit pun menyinggung upaya untuk memperbaiki keadaan ekonomi para petani. Sebaliknya, ia malah berpendapat bahwa para kolonis kulit putih sudah sepatutnya menjadi sumber kepatuhan para pribumi menggantikan para pemimpin feodal.

Infografik Sejarah Modal Asing di Jawa Masa Kolonial

Infografik Sejarah Modal Asing di Jawa Masa Kolonial. tirto.id/Sabit

Menyambut pembukaan terusan Suez pada 1870, gelombang kedatangan pekerja swasta dari Eropa menyapu Hindia Belanda. Cornelis Fasseur dalam The Politics of Colonial Exploitation: Java, the Dutch, and the Cultivation System (1992: 18) mencatat bahwa pada 1860, hanya ada 22.663 orang Eropa yang tinggal dan bekerja di Hindia Belanda. Lebih dari separuhnya bekerja di kemiliteran. Angka ini melonjak 160 persen dalam kurun 20 tahun.

Dari catatan Bernard Hubertus Maria Vlekke dalam Nusantara: A History of Indonesia (1960: 314), diketahui bahwa orang Eropa yang bekerja di kantor pemerintahan jumlahnya menurun drastis. Sejak 1892, kelas pengusaha dan pekerja pada perusahaan swasta jumlahnya sudah mengungguli pegawai kolonial Belanda.

Di saat bersamaan, perusahaan swasta sudah berhasil mengambil alih sebagian besar perkebunan di Hindia Belanda. Perkebunan tebu dan teh menjadi beberapa lahan pertama yang diambil alih permodalan asing kala itu.

Untuk mendorong investasi asing, Kerajaan Belanda melalui Trading Company mulai gencar meminjamkan modal kepada perusahaan-perusahaan rintisan. Tercatat, pada 1875, institusi yang berada di bawah William I itu mengeluarkan sekitar 10 juta gulden untuk mendorong sirkulasi modal di bidang perkebunan.

Kenaikan ekspor di bidang perkebunan lantas meningkatkan jumlah perusahaan dagang dan bank yang permodalannya berasal dari kantong-kantong pengusaha Eropa. Kendati terdengar menggembirakan, kondisi tersebut secara tidak langsung berhasil menarik Nusantara ke tengah pusaran kepentingan ekonomi bangsa asing di seberang lautan.

Baca juga artikel terkait INVESTASI ASING atau tulisan lainnya dari Indira Ardanareswari

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Indira Ardanareswari
Editor: Maulida Sri Handayani