Menuju konten utama

Hillary yang Tak Bisa Lari dari Oligarki

Hillary Clinton digadang-gadang akan menang telak dalam pemilihan presiden 8 November 2016 mendatang. Penampilan yang sangat meyakinkan saat debat presiden ditambah citra buruk Donald Trump sebagai lawan membuat peluang Hillary membesar. Namun, Hillary bukanlah tokoh tanpa cela. Ada oligarki yang membayang di belakangnya.

Hillary yang Tak Bisa Lari dari Oligarki
Pemain basket NBA Lebron James (ka) memperkenalkan calon presiden Amerika Serikat dari partai Demokrat Hillary Clinton dalam sebuah reli kampanye di Cleveland, Ohio, Amerika Serikat, Minggu (6/11). ANTARA FOTO/REUTERS/Carlos Barria/cfo/16

tirto.id - Hillary Clinton menang telak dalam tiga kali debat presiden Amerika Serikat yang telah berlangsung beberapa bulan belakangan ini. Analisis dari media-media besar internasional seperti Wall Street Journal, The Guardian dan Washington Post turut menunjukkan keunggulan Hillary. Hampir semua memperkirakan Hillary akan melenggang menuju kursi presiden Amerika Serikat.

Ibarat seorang striker yang bergentayangan di muka gawang, Hillary hanya membutuhkan satu sentuhan akhir untuk menggolkan dirinya sebagai pemimpin AS. Namun, selayaknya seorang striker pula, Hillary hanya menyelesaikan satu keping terakhir dari sebuah permainan. Di belakang Hillary ada gelandang, bek, dan kiper yang berjuang untuk menahan serangan, merebut bola, dan memberikan umpan terakhir kepadanya.

Lalu, siapakah para gelandang, bek, dan kiper yang selalu mendukung Hillary? Sederhananya, siapakah kekuatan-kekuatan utama di balik pencalonannya?

Selayaknya politikus yang baik, Hillary menunjuk satu nama: rakyat Amerika. Ini tercermin dalam pidatonya saat mengakhiri debat sesi terakhir.

“Kita membutuhkan semua orang untuk mengarahkan negara ini sesuai jalurnya: untuk menumbuhkan ekonomi, membuatnya lebih adil, dan membuat semua orang merasakan dampaknya. […] Saya akan berdiri di depan keluarga-keluarga Amerika untuk menghadapi kepentingan-kepentingan mereka yang merasa berkuasa, untuk melawan para korporasi,” tandas Hillary.

Kita tentu saja tidak dapat menelan mentah-mentah perkataan Hillary. Dalam kenyataannya, dukungan publik bukanlah satu-satunya bahan bakar untuk memenangi persaingan menjadi presiden. Pencalonan presiden AS adalah proses yang sangat berliku dan mahal, sehingga, diperlukan uang dalam jumlah berlimpah untuk menjalaninya. Sementara itu, sebagian besar perputaran uang di AS dikendalikan oleh para korporasi besar.

Kembali kepada penyataan Hilllary di atas, bagaimana jika sebenarnya posisi Hillary terbalik: justru ia yang berada di depan korporasi untuk menghadapi para warganya?

Oligarki di AS

Hillary Clinton dan suaminya, Bill Clinton, adalah aktor-aktor politik senior di AS. Karier politik mereka telah merentang selama 40 tahun, yang dirintis dari kampung halaman mereka di Little Rock, negara bagian Arkansas, sampai ke tingkat nasional. Sepanjang lini masa tersebut, mereka menjalin hubungan, tidak hanya dengan aktor-aktor politik, namun juga pelaku-pelaku ekonomi penting.

Politik di AS memang selalu berkelindan dengan ekonomi. Aktor-aktor ekonomi penting di negara adidaya itu sebagian besar hampir dipastikan turut aktif pula dalam politik. Kondisi di mana aktor politik dan aktor ekonomi berkolaborasi satu sama lain lazim disebut dengan istilah “oligarki”.

Kata “oligarki” berasal dari bahasa Yunani “oligarkhia”. Ungkapan tersebut berasal dari gabungan kata “oligos” yang berarti “sedikit/beberapa” dan “arkhein” yaitu “memerintah”. Oligarki secara sederhana dapat diartikan sebagai “pemerintahan oleh segolongan orang tertentu”.

Jeffrey A.Winters, profesor ilmu politik dari Northwestern University, mengemukakan bahwa oligarki, khususnya di Amerika Serikat, terdiri dari “sekelompok kecil masyarakat yang menduduki institusi-institusi besar di masyarakat dan memiliki status sosial tinggi sekaligus keistimewaan akses terhadap pendidikan, keuangan, dan standar hidup yang baik”.

Jejaring oligarki cenderung eksklusif dan tertutup. Mereka secara sadar memisahkan dirinya dari masyarakat untuk alasan-alasan tertentu. Para oligarki terbiasa khawatir dengan elemen masyakarat yang lain karena dianggap sewaktu-waktu dapat merebut berbagai privilese yang mereka kuasai. Oleh karena itu, oligarki selalu lekat dengan jaringan kekuasaan.

Oligarki kemudian menciptakan perkawinan antara aktor-aktor politik, ekonomi, aparat, bahkan hingga institusi pendidikan. “Perkawinan” ini tercipta karena tujuan utama oligarki, menurut Jeffrey Winters, adalah mengamankan akses terhadap sumber-sumber kekuasaan, khususnya uang. Dalam konteks ini, terjadi pertukaran sumber daya antara aktor-aktor yang terlibat dalam jaringan oligarki. Aktor politik memberikan perlindungan politik, aktor ekonomi menyalurkan uang, aparat memberikan perlindungan bersenjata, sedangkan institusi pendidikan memberikan legitimasi ilmiah.

Sebuah penelitian hasil kolaborasi antara Northwestern University dan Princeton University bertajuk “Testing Theories of American Politics : Elites, Interest Groups, and Average Citizens” medio 2014 menyimpulkan bahwa sistem pemerintahan Amerika Serikat dibangun berdasarkan jaringan oligarki.

Studi ini melibatkan 1.800 kebijakan yang dihasilkan pemerintah AS dalam kurun waktu 1981 sampai 2002. Selanjutnya, kebijakan-kebijakan tersebut dibandingkan dengan preferensi yang ditunjukkan oleh masyarakat kelas menengah AS dan masyarakat kaya di negara tersebut. Hasilnya, tim peneliti menemukan bahwa pemerintahan AS cenderung memiliki bias pemihakan kepada para elite ekonomi.

“Para elite ekonomi dan kelompok kepentingan yang mewakili pebisnis punya pengaruh pribadi yang sangat kuat dalam kebijakan pemerintah. Sementara itu, kelompok kepentingan berbasis massa dan warga negara biasa hanya punya sedikit—atau bahkan tidak memiliki—pengaruh,” beber penelitian tersebut.

Selanjutnya, bagaimanakah jaringan oligarki yang membentang di sekitar Hillary Clinton?

Siapa di Balik Hillary?

Oligarki ala Hillary dan Bill

Washington Post dalam investigasi bertajuk “Two Clintons, 41 Years, $3 Billions” menyebutkan bahwa pasangan Hillary Clinton dan Bill Clinton memiliki kedekatan dengan banyak tokoh di berbagai bidang, mulai dari politik, ekonomi, pendidikan, hingga dunia keartisan. Tokoh-tokoh ini tidak hanya berasal dari AS semata, namun juga dari negara lain seperti Kanada, Perancis dan Inggris.

Kawan-kawan pasangan ini tidak sekadar teman bercengkrama biasa. Mereka selalu sigap memberikan donasi dalam setiap langkah politik yang dilakukan oleh pasangan ini. Selama 40 tahun berkiprah di politik, menurut catatan Washington Post, pasangan Bill-Hillary telah mengakumulasikan donasi sekitar 3 miliar dolar AS. Dari jumlah tersebut, sejumlah 2 miliar dolar di antaranya masuk ke lembaga amal Clinton Foundation.

Pasangan Hillary-Bill tercatat menangguk donasi dari 336.000 pihak, baik berupa individu, korporasi, serikat pekerja, bahkan pemerintah luar negeri, demi proyek-proyek politik maupun program amal mereka. Beberapa nama besar yang tercatat sebagai “langganan” penyumbang antara lain Steven Spielberg, George Soros, taipan media Haim Saban, hingga jutawan tambang asal Kanada, Frank Giustra.

Ada beberapa saluran tempat orang-orang ini mengalirkan sumbangannya kepada Hillary dan Bill. Mereka dapat menyumbang kampanye politik mereka secara langsung, memberikan bantuan hukum, menyumbang ke lembaga amal, bahkan mentrasfer uang langsung ke rekening pribadi mereka. Selain itu, sumbangan dapat mengalir saat mereka menyewa Bill atau Hillary untuk memberikan pidato. Jumlah yang dihasilkan dari jalur “pidato berbayar” ini sangat menggiurkan : sekitar 150 juta dolar AS dalam 15 tahun terakhir.

Pasangan Bill dan Hillary memiliki kemampuan untuk lobi politik yang sangat baik. Mereka dapat mengesankan dirinya sebagai politisi yang luwes sehingga sukses merayu pihak-pihak yang berlawanan secara ideologis untuk mendukung mereka. Sebagai contohnya, masih dari catatan Washington Post, Bill dan Hillary dalam waktu bersamaan mampu menarik sumbangan sebesar 69 juta dolar AS dari perusahaan-perusahaan di Wall Street sekaligus menangguk 21 juta dolar AS dari serikat pekerja. Padahal, kedua entitas tersebut dikenal memiliki ideologi yang berbeda.

“Hillary tidak terbiasa meminta uang secara langsung. Namun, ia memiliki orang-orang yang rela bekerja untuknya, bicara atas namanya, dan Hillary sangatlah menghargai mereka yang telah berjasa kepadanya,” ujar Susie Tompkins Buel, salah satu donatur Hillary dan pendiri merek dagang Esprit.

Kedekatan Bill dan Hillary dengan oligarki, khususnya Wall Street, pada akhirnya turut terbawa ke dalam kebijakan-kebijakan mereka. Sebagai contohnya, saat pertama menjabat sebagai presiden pada 1993, Bill Clinton memasukkan nama Robert Rubin, co-chairman dari raksasa keuangan Goldman Sachs dan salah satu donatur terbesarnya, ke dalam pemerintahannya. Rubin kelak turut merancang cetak biru ekonomi pro-pasar “Rubinomics” yang sangat menguntungkan Wall Street.

Hillary sendiri juga pernah terbawa oleh sikap para pendonornya saat perdebatan “bankruptcy bill” pada 2001. “Bankruptcy bill” adalah undang-undang yang mengatur pemulihan aset dari perusahaan-perusahaan yang bangkrut. Pada awalnya, saat masih menjadi ibu negara, Hillary mengambil sikap untuk menentang undang-undang ini. Ia disebut-sebut berhasil mempengaruhi sang suami untuk memveto undang-undang itu. Namun, angin politik berubah setahun kemudian.

Hillary akhirnya berhasil terpilih menjadi senator untuk pertama kalinya pada 2001. Saat itu, Hillary didukung oleh perusahaan-perusahaan Wall Street yang menyumbang hingga 2,1 juta dolar AS bagi pencalonannya. Hasilnya mudah ditebak: Hillary akhirnya mengubah sikap dan menerima rancangan undang-undang tersebut. Ia berdalih undang-undang versi 2001 jauh lebih baik dibandingkan versi 2000 yang diveto oleh suaminya.

Di tengah-tengah persiapan pemungutan suara dalam pemilihan presiden AS berikutnya, dua pertanyaan kembali mengemuka: akankah Hillary tak ingkar janji? Atau, ia memang tak bisa lari dari oligarki?

Baca juga artikel terkait PILPRES AS atau tulisan lainnya dari Putu Agung Nara Indra

tirto.id - Politik
Reporter: Putu Agung Nara Indra
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Maulida Sri Handayani