Menuju konten utama

Hilangnya Jutaan Lagu Akibat Migrasi Server: Akhir dari Myspace?

Myspace pernah jadi raksasa media sosial sebelum akhirnya runtuh karena kedigdayaan Facebook.

Hilangnya Jutaan Lagu Akibat Migrasi Server: Akhir dari Myspace?
Courtney Holt, presiden MySpace Music, berpose untuk potret di kantor Myspace di Beverly Hills, California, Selasa, 17 Maret 2009. (AP Photo / Chris Pizzello)

tirto.id - Kabar buruk datang untuk pengguna Myspace. Lagu-lagu yang disimpan dalam rentang waktu 2003 hingga 2015 tidak lagi dapat diakses, alias hilang. Tak hanya lagu, foto dan video pun raib, demikian lapor The Verge, Senin (18/3).

Pihak perusahaan, sebagaimana diwartakan Vox, menyatakan bahwa hilangnya arsip lagu yang disimpan selama 12 tahun disebabkan oleh “migrasi server data”. Total, ada sekitar 50 juta lagu dari 14 juta musisi yang hilang karena proses ini.

“Sebagai akibat proyek migrasi server, setiap foto, video, dan data audio yang Anda unggah lebih dari tiga tahun lalu mungkin tidak lagi tersedia di Myspace,” terang perusahaan dalam pernyataan resminya. “Kami minta maaf atas ketidaknyamanannya.”

Raja Sebelum Facebook

Myspace adalah platform media sosial yang didirikan oleh Chris DeWolfe dan Tom Anderson pada Agustus 2003, lima bulan sebelum Mark Zuckerberg merilis Facebook dari kamarnya semasa kuliah di Harvard. Sebagaimana konsep media sosial pada umumnya, Myspace dibikin dengan semangat menghubungkan orang lewat internet. Di Myspace, Anda bisa bertukar tentang apa saja: musik favorit, film kesukaan, hingga kabar tentang rutinitas sehari-hari.

Mengutip laporan Financial Times berjudul “The Rise and Fall of MySpace” (2009), tak butuh waktu lama bagi Myspace untuk meledak. Rata-rata, dalam satu hari, Myspace dikunjungi sekitar 70 user. Pada pertengahan 2004, jumlahnya meningkat hingga satu juta user per bulan. Pencapaian tersebut membikin News Corp, perusahaan milik taipan media Rupert Murdoch, membeli Myspace dengan harga $580 juta pada 2005.

Selama empat dekade lebih, Murdoch dan News Corp telah membangun reputasi sebagai raksasa media. Kerajaan bisnisnya mencakup beragam lini: surat kabar, film, dan saluran televisi. Tapi itu belum cukup. Murdoch beranggapan semakin ke sini semakin sedikit orang─terutama dari kelompok muda─yang menonton televisi dan membaca surat kabar. Murdoch butuh mainan baru.

Bersama News Corp, Myspace bertambah besar. Beberapa bulan selepas akuisisi, Myspace meneken kontrak iklan berdurasi tiga tahun dengan Google senilai 900 juta dolar. Google mengalahkan dua pesaingnya, Yahoo dan Microsoft. Dari segi pendapatan, Myspace berhasil mengumpulkan 50 juta dolar per bulan dari yang semula hanya sejuta.

Separuh pendapatan berasal dari oleh iklan yang dijual News Corp dan Google. Lingkup pasar mereka pun meluas hingga Jepang, Korea Selatan, dan Cina. Sampai September 2005, pengguna Myspace mencapai angka 27 juta.

Namun, bulan madu Myspace tak berlangsung lama. Awal 2008, Facebook memperoleh momentumnya untuk lebih cepat tumbuh dibanding Myspace. Tampilan dan fitur-fitur yang ramah pengguna membuat Facebook menarik minat para loyalis Myspace.

Keadaan diperburuk dengan sempitnya ruang untuk berinovasi akibat tuntutan Murdoch yang meminta Myspace memperoleh pendapatan sebesar satu miliar dolar dari iklan.

“Ada banyak tekanan untuk mendorong [kenaikan] pemasukan,” tutur Shawn Gold, mantan Kepala Pemasaran dan Konten Myspace, kepada Businessweek. “Ada hal-hal yang menurut kami akan memudahkan pengguna dalam mengakses Myspace, tapi tidak segera kami eksekusi karena kami takut hal tersebut mengganggu pendapatan dari iklan.”

Ini bisa dilihat dari kasus implementasi “Ajax”, sebuah program yang memungkinkan pengguna untuk mengirim pesan, email, atau komentar pada halaman teman-teman mereka tanpa harus membuka jendela browser baru. Facebook sudah dengan cepat menerapkan Ajax, tapi tidak Myspace. Alasannya: ketika Ajax diterapkan, Myspace berasumsi halaman situs akan berkurang dan berdampak pada pendapatan iklan.

Walhasil, tampilan di Myspace cukup berantakan yang banyak diisi iklan kecantikan sampai penurun berat badan. Tampilan yang bobrok itu membuat para pengguna perlahan meninggalkan Myspace dan beralih ke Facebook. Myspace baru sadar akan manfaat program Ajax pada 2009. Saat itu, Facebook makin susah dikejar.

Kejatuhan Myspace juga disebabkan oleh sikap keras kepala para petingginya yang tidak mau menjalin kerjasama dengan pihak ketiga dalam pengembangan konten. Berbeda dengan Facebook, yang membiarkan pengembang dari pihak ketiga membikin berbagai aplikasi mulai 2007, Myspace berpegang teguh pada prinsip bahwa mereka dapat membikin produknya sendiri.

Alih-alih membuat produk tepat guna, Myspace justru menawarkan sejumlah produk yang berantakan dan membingungkan. Akhirnya mereka pun sepakat mengajak pihak pengembang untuk bekerjasama. Lagi-lagi, upaya ini terlambat.

Di lain sisi, Myspace punya masalah pula dengan citranya di publik. Jaringan Myspace lebih banyak diisi akun-akun porno. Pada 2006, investigasi otoritas Connecticut terkait dugaan eksploitasi dan pornografi anak di bawah umur memperkuat opini masyarakat bahwa Myspace bukan tempat yang aman.

Faktor-faktor inilah yang kemudian mengakhiri kejayaan Myspace. Pendapatan dari iklan gagal memenuhi target, kantor-kantor cabang internasional mereka ditutup, sekitar 40 persen karyawannya diberhentikan, dan selama tiga tahun (2008-2011) Myspace telah kehilangan sekitar 40 juta pengguna.

Pamor Myspace kian anjlok ketika dibeli Specific Media hanya dengan harga $35 juta. Angka tersebut $65 juta lebih rendah dari permintaan News Corp, dan $500 juta lebih murah dari yang dibayarkan News Corp saat mengakuisisi Myspace pada 2005.

“Myspace didirikan oleh orang-orang dari industri hiburan, bukan oleh pakar teknologi. Karena itulah mereka tidak dapat berinovasi dengan kecepatan yang dibutuhkan untuk bersaing,” ungkap Connie Chan, analis Chess Media Group, perihal kejatuhan Myspace, kepada HuffPost.

Berjasa Besar untuk Dunia Musik

Kabar hilangnya puluhan juta lagu di Myspace adalah mimpi buruk bagi para (mantan) penggunanya. Pasalnya, terlepas dari kegagalan Myspace dalam hal bisnis, platform ini punya andil besar dalam perkembangan dunia musik. Myspace menyediakan ruang secara cuma-cuma bagi banyak musisi untuk memperkenalkan karya dan menikmati karya musisi lain─dari yang brilian hingga yang paling receh.

Berkat Myspace, publik dapat mendengarkan album Around the Sun rilisan R.E.M secara gratis pada 2004. Berkat Myspace pula Arctic Monkeys dapat terkenal. Lagu-lagu mereka dipromosikan oleh para penggemar di Myspace dan menarik perhatian orang label.

Namun, yang paling diingat dari Myspace dan hubungannya dengan dunia musik adalah kerjasama dengan tiga label besar, Universal, Sony BMG, dan Warner Music pada 2008. Hasilnya? Lahirlah Myspace Music.

Infografik Myspace

undefined

Dalam wawancaranya dengan Wired, salah satu pendiri Myspace, Chris DeWolfe, mengatakan bahwa Myspace Music adalah layanan musik streaming yang memungkinkan penggunanya untuk menikmati musik secara gratis dengan katalog yang lengkap─sekalipun ada iklan yang muncul di sana. Tak hanya itu, pengguna juga dapat membeli merchandise dan tiket konser band di Myspace Music.

Apabila pengguna Myspace benar-benar menyukai sebuah lagu, mereka dapat membelinya dengan satu klik dan langsung diarahkan ke iTunes atau Windows Media Player melalui layanan unduhan bikinan Amazon. Sebagaimana diwartakan CNN, CEO Amazon, Jeff Bezos, menyatakan bahwa aliansinya dengan Myspace “sangat masuk akal”. Kombinasi keduanya, terang Bezos, mampu mendongkrak pangsa pasar sekaligus memepet Apple yang sudah lebih dulu perkasa dengan iTunes-nya.

Dilansir dari The New York Times, ada dua faktor yang melatarbelakangi pendirian Myspace Music. Pertama, pihak manajemen ingin menebus kegagalan Snocap, layanan musik digital Myspace yang dirilis pada 2006 dan gagal di pasaran. Kedua, Myspace Music hadir untuk menekan pesatnya pembajakan yang telah menyebabkan keuntungan dari penjualan musik turun sampai $3,5 miliar pada 2006─dari yang awalnya $15 miliar pada 1999.

Kehadiran Myspace Music memperlihatkan bahwa pada masanya platform tersebut punya andil besar dalam dunia musik. Dengan Myspace, publik, sekali lagi, dapat menikmati begitu banyak ragam musik secara gratis, membikin playlist sesuka hati, dan membagikannya kepada pengguna lain.

Sedangkan bagi para musisi, Myspace adalah media pemasaran yang sangat berguna untuk mendapat sorotan publik. Myspace tak ubahnya jembatan yang menghubungkan musisi dengan penggemarnya, dengan sesama musisi, dan akhirnya dengan label.

Benarkah raibnya jutaan lagu karena “migrasi server” adalah akhir dari Myspace? Mungkin. Yang pasti, Anda akan lebih sulit (jika bukan mustahil) melacak lagu-lagu apa saja yang pernah diunggah di Myspace demi, misalnya, menarik perhatian gebetan.

Baca juga artikel terkait STREAMING atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Musik
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf