Menuju konten utama

Hikikomori: Ketika Banyak Orang Jepang Mengasingkan Diri

Ratusan ribu remaja sampai dewasa Jepang menarik diri dari pergaulan sosial dan mengurung diri di kamar selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.

Ilustrasi hikikomori. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Bagi Hide, masalah besar dimulai ketika dia berhenti sekolah. Lantas, dia hilang dari pergaulan sosial, dan memilih untuk mengurung diri di kamar selama berbulan-bulan. Sepanjang hari yang ia lakukan cuma tidur dan duduk menonton TV.

"Aku mulai menyalahkan diri sendiri, dan orang tua juga menyalahkanku karena tidak pergi ke sekolah. Tekanan mulai menumpuk," kata Hide kepada BBC 2013 silam. "Lalu, lambat laun, aku menjadi takut untuk keluar dan takut bertemu orang. Dan kemudian aku tidak bisa keluar dari rumahku."

"Aku memiliki semua jenis emosi negatif," ujarnya lagi. "Kemarahan, kesedihan karena memiliki kondisi ini, takut terhadap masa depan, dan kecemburuan terhadap orang-orang yang menjalani kehidupan normal."

Kisah serupa dituturkan oleh Matsu. Dia ingin menjadi programer dan bekerja di perusahaan mapan. Namun sang ayah yang seorang seniman dan punya usaha sendiri ingin agar putra sulungnya itu meneruskan jejaknya. "Dia bilang jangan menjadi karyawan yang digaji."

Sikap keras sang ayah membuat Matsu terpukul dan terpuruk. Dia menjadi sangat marah manakala melihat adiknya bisa melakukan apapun yang ia inginkan. Maka dia turut mengurung dan mengasingkan diri dari kehidupan sosial.

Hide dan Matsu sama-sama melakukan apa yang disebut hikikomori. Ini adalah istilah untuk menyebut orang-orang yang menghindari kontak pribadi atau sosial dan hidup dalam pengasingan sendiri untuk jangka waktu yang lama, setidaknya enam bulan. Fenomena ini merebak di Jepang pada 1990-an.

Pada awal dekade 1990, Tamaki Saito, seorang psikiater yang mengamati fenomena hikikomori, terkejut dengan banyaknya orang tua yang mencari bantuan menangani anak-anak mereka yang mogok sekolah dan mengurung diri selama berbulan bulan bahkan bertahun-tahun. Para remaja ini kerap berasal dari keluarga menengah atas. Ketika itu, penderitanya hampir selalu laki-laki berusia sekitar 15 tahun.

"Pikiran mereka tersiksa," kata Saito yang menulis buku How to Rescue Your Child From Hikikomori (2002). "Mereka ingin keluar, mereka ingin berteman atau mencari cinta, tetapi mereka tidak bisa."

Bahkan pada medio 1980, Saito sudah menangani pasien yang punya ciri-ciri hikikomori: pria muda yang tampak lesu, tidak komunikatif, dan menghabiskan sebagian besar waktunya di kamar. Ketika itu, Saito belum punya julukan bagi kondisi tersebut. Awalnya Saito mendiagnosis pengasingan diri ini sebagai jenis depresi, gangguan kepribadian, atau skizofrenia. Seiring bertambahnya waktu, jumlah pasien dengan gejala serupa makin banyak. Akhirnya Saito memakai istilah hikikomori, dan dengan cepat istilah itu tersebar hingga menjadi rujukan populer.

Pada September 2016, Kantor Kabinet Jepang merilis hasil survei mereka yang menyatakan ada sekitar 541 ribu orang usia 15-39 tahun di Jepang yang melakukan pengasingan sosial akut. Sekitar 35 persennya telah mengisolasi diri selama tujuh tahun atau lebih. Jumlah hikikomori memang menurun ketimbang tahun 2010 yang jumlahnya mencapai 696 ribu orang.

Namun yang harus dicatat adalah: mereka yang mengasingkan diri lebih dari tujuh tahun justru malah meningkat. Ditambah, survei ini tidak mencakup mereka yang berusia di bawah 15 tahun dan di atas 39 tahun. Diperkirakan angka hikikomori lebih besar daripada hasil survei, apalagi mengingat banyak orang yang menyendiri itu tidak mengakses lembaga medis atau organisasi pendukung lainnya sehingga luput dari pendataan.

Prediksi GQ Magazine, tahun 2030 Jepang bakal menerima ledakan hikikomori berusia lanjut ketika banyak dari mereka menginjak usia 60 tahun atau lebih. Hikikomori usia lanjut bakal punya masalah baru karena mereka kehilangan orang tua dan kerabat terdekat yang selama ini menjadi tumpangan hidup. Selain makin menyulitkan upaya pengembalian hikikomori ke lingkungan sosial, pemerintah Jepang patut khawatir jika generasi penerus negeri Sakura banyak dihuni hikikomori.

Selain itu, makin ke sini, hikikomori tidak hanya didominasi oleh pria. Naohiro Kimura, seorang penyintas yang kini mendirikan portal Hikikomori News memperkirakan rasio orang yang terkucil dari lingkungan sosial hampir sama antara wanita dan pria. "Banyak yang mulai menyadari bahwa ada cukup banyak hikikomori yang merupakan ibu rumah tangga," ujarnya.

Infografik Anti sosial sosial Klub

Infografik Anti sosial sosial Klub

Apa Penyebabnya?

Usai Perang Dunia II, Jepang yang kalah perang dan harus hancur lebur kena hantam bom atom, harus memulai segalanya dengan kerja lebih keras. Hasilnya, penduduk Jepang yang tumbuh besar di era itu dianggap "kaku" serta hanya tahu soal kerja keras dan dapat gaji. Akibatnya, semacam ada gegar generasi. Yang muda menganggap generasi tua miskin imajinasi, tak punya kreativitas, dan kesulitan menyesuaikan diri dengan zaman baru. Sedangkan generasi tua melabeli yang muda sebagai anak-anak lembek dan mudah patah.

Bahkan hingga akhir 1990 di Jepang, depresi tidak diakui sebagai suatu kondisi yang butuh penanganan khusus. Malahan, depresi hanya dianggap alasan seseorang agar bisa cuti dari pekerjaan. Ini lantas menjadi salah satu muara yang menyebabkan hikikomori. Big Think pernah menyinggung bagaimana kehidupan sosial di Jepang yang disiplin dan penuh tekanan, bisa membuat seseorang yang melakukan beberapa kesalahan dapat berujung pada sikap menarik diri dari pergaulan sosial.

Sedangkan Saito yang telah merawat lebih dari 1.000 pasien hikikomori menyebutkan bahwa masalah pemicu hikikomori biasanya adalah hubungan antara orang tua dan anak. Misalkan anak kerap ditekan agar nilai akademisnya bagus, sukses di karier, jadi panutan adik, hingga diikutkan berbagai macam les.

Namun ada beberapa upaya untuk menyelesaikan masalah hikikomori ini. Salah satunya digagas oleh Noki Futagami dari New Start, sebuah organisasi non-profit yang bergerak mendampingi para hikikomori.

New Start menjalankan "Rental Sister", program upaya pemulihan kehidupan hikikomori. Mereka menyediakan teman bicara yang datang ke rumah pasien hikikomori dengan terlebih dahulu berkirim surat, mengobrol di telepon, sampai akhirnya bisa masuk ke rumah. Oguri Ayako wanita yang bekerja sebagai teman bicara mengklaim selama satu dekade terakhir sampai 2018 telah membantu antara 40 sampai 50 hikikomori keluar dari cangkangnya.

Baca juga artikel terkait DEPRESI atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Tony Firman
Editor: Nuran Wibisono