Menuju konten utama
8 Oktober 1929

Hikayat Stasiun Beos: antara Batavia dengan Lumbung Padi Karawang

Dengus loko di
kota. Sambung niaga
sampai Jakarta.

Hikayat Stasiun Beos: antara Batavia dengan Lumbung Padi Karawang
Ilustrasi Stasiun Jakarta Kota Beos. tirto.id/Sabit

tirto.id - Surat kabar lawas Java Bode edisi 17 Oktober 1929 menulis tentang peresmian suatu stasiun yang sangat mengesankan dan merupakan salah satu yang terbaik di belahan dunia timur.

Denah stasiun baru itu berbentuk huruf T. Pintu utamanya terletak di kakinya sementara dua pintu masuk lain di masing-masing ujung lengannya. Bangunan utama stasiun itu berlantai dua dan difungsikan sebagai kantor. Terdapat galeri luas yang memudahkan gerak pekerja dan penumpang yang datang.

Adalah arsitek Frans Ghijsels dari biro arsitektur Algemeen Ingenieur Architectenbureau (AIA) yang merancang bangunan stasiun ini. Kala itu, Frans Ghijsels sudah cukup termasyhur merancang beberapa gedung di Batavia. Di antara karyanya adalah Gedung Maintz & Co., Rumah Sakit Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM), dan hall baru Hotel Des Indes.

Untuk stasiun baru itu Frans Ghijsels membuat sketsa bangunan dengan gaya art deco—gaya arsitektur paling umum di awal abad ke-20. pintu depan yang lebar berfasade rendah berbentuk busur. Atap gedung bagian dalam pun dirancang berbentuk busur, menampilkan kesan hall yang luas dan megah. Sementara peron-peronnya dinaungi atap berbentuk V yang disangga struktur kontilever kolom tunggal dari baja.

Harian Kompas (24/1/1997) menyebut stasiun itu adalah karya terbaik Frans Ghijsels. Arsitek kelahiran Tulungagung, 8 September 1882, itu tentu tak main-main kala merancang stasiun yang jadi ujung awal dan akhir perjalanan kereta api di Batavia ini. Dan lagi, stasiun ini ada di jalur bersejarah, penghubung pertama antara Batavia dan Buitenzorg. Kini, kita mengenalnya dengan nama Stasiun Jakarta Kota.

Menggerakkan Ekonomi

Asal-usul Stasiun Jakarta Kota dapat dirunut pada permulaan pembukaan jalur kereta api Batavia-Buitenzorg. Adalah perusahaan partikelir Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij alias NIS yang mendapat konsesi pembangunan jalur ini pada 1864. Pembangunan seksi pertama jalur ini dilakukan pada 1869.

Seksi pertama sepanjang 9,27 kilometer ini menghubungkan Stasiun Kleine Boom di Pasar Ikan dan Stasiun Gambir. Jalur ini pertama kali melayani penumpang pada 1871. Harian Kompas (27/3/2014) menyebut bahwa di antara dua stasiun itu terdapat simpangan rel menuju Batavia Hoofdstation atau Stasiun Pusat Batavia. Dulu lokasinya berada di parkir Bank BNI Jakarta Kota saat ini.

Lalu seturut keterangan Olivier Johannes Raap dalam Sepoer Oeap Djawa Tempo Doeloe (2017, hlm. 26), jalur Kleine Boom-Batavia Hoofdstation sepanjang 3 kilometer kemudian di tutup pada 1885. Jadi Batavia Hoofdstation itu menjadi ujung paling utara jalur Batavia-Buitenzorg. Stasiun ini sendiri kemudian berganti nama jadi Stasiun Batavia Noord sejak 1913.

Mengapa disebut demikian? Alasannya, sebuah stasiun baru dibangun di sebelah selatannya pada 1887. Karena letaknya di selatan disebutlah ia Stasiun Batavia Zuid. Perusahaan operatornya pun beda. Stasiun Batavia Zuid dioperasikan oleh Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschappij (BOS).

Dari nama perusahaan BOS itulah stasiun itu kemudian oleh orang Betawi disebut Beos. Tetapi, ada pula yang menyebut bahwa asal nama Beos itu dari frasa “Batavia en Omstreken” atau “Batavia dan sekitarnya”. Maklum, BOS memang melayani jalur baru Batavia hingga Kedunggede, Karawang.

Pada akhir abad ke-19, pembukaan jalur Batavia-Karawang yang bermula dari Stasiun Beos membawa perubahan ekonomi bagi wilayah yang dilaluinya. Desa-desa sekitar Bekasi dan Karawang saat itu adalah produsen padi bagi Batavia. Adanya kereta api membuat distribusi beras jadi kian lancar.

Hal ini tercatat dalam sebuah syair karya penulis peranakan Tan Teng Kie. Pada 1890, Tan Teng Kie menerbitkan syair bertajuk Sja’ir djalanan kreta api. Syair itu secara umum menggambarkan dinamika sosial-ekonomi di jalur yang dioperatori oleh BOS.

Claudine Salmon mengulas syair ini dalam “The Batavian Eastern Railway Co. And the Making of a New ‘Daerah’ as Reflected in a Commemorative Syair Written by Tan Teng Kie, 1890”, terbit di jurnal Indonesia (no. 45, 1988).

Baginya, Sja’ir djalanan kreta api ini unik. Syair-syair penulis peranakan waktu itu biasanya berkisah tentang kunjungan-kunjungan kenegaraan pemimpin dunia ke Hindia Belanda. Syair Tan Teng Kie melawan arus karena berkisah tentang pembukaan jalur kereta api baru yang menghubungkan Batavia dan Kedunggede dekat Karawang. Sejauh penelusuran peneliti asal Perancis itu, Sja’ir djalanan kreta api adalah satu-satunya syair yang secara khusus berkisah tentang perkeretaapian di masanya (hlm. 51).

Tersurat bahwa Tan Teng Kie merasakan benar manfaat pembukaan jalur Batavia-Kedunggede oleh BOS. Yang paling merasakan manfaat itu adalah para tuan tanah dan petani padi di sekitar Bekasi dan Karawang. Pasalnya kini mereka dapat mengandalkan moda transportasi yang cepat, nisbi murah, tak terkendala cuaca, dan mampu mengangkut beras dalam jumlah besar.

Tan Teng Kie, sebagaimana dikutip Salmon (hlm. 60) dalam salah satu bagian karyanya menyebut demikian:

Tamboen Tjikarang ada stationnja,

Disitoe tempat djoewal kartjisnja,

Toewan-tanah hatinja girang semoewanja,

Sebab beras moedah milirnja.

Doeloe beras moewat di sampan,

Moewat sarat perahoenja papan,

Sijang dan malam boewat harapan,

Boleh sampe koetika kapan.

Dalam penelusuran Salmon memang jalur itu ternyata cukup ramai. Dalam setahun BOS melayani sekira 900.000 penumpang. Tak hanya memperlancar distribusi beras antara Batavia-Bekasi-Karawang, jalur itu juga menjadi jalur wisata bagi orang Batavia.

Namun, tak hanya berdampak positif bagi petani, jalur BOS itu juga membawa kerugian bagi sebagian warga lainnya. Yang paling banyak kehilangan mata pencaharian adalah para penyewa perahu dan pedati. Sebelum kereta api merambah Bekasi dan Karawang, dua moda transportasi itu adalah andalan warga sana untuk membawa hasil bumi ke Batavia.

Tentang ini Tan Teng Kie menulis:

Saja kira kahar koerangan,

Sebab tijada ada tambangan,

Toekang roempoet djoega kebingoengan,

Karena koeda ada djarangan.

Infografik Mozaik Stasiun Jakarta Kota Beos

Pembangunan Stasiun Baru

Menjelang pergantian abad di Batavia waktu itu ada tiga perusahaan kereta api yang beroperasi, yaitu NIS, BOS, dan satu lagi adalah perusahaan pelat merah Staats Spoorwegen (SS). SS sendiri melayani jalur Batavia-Tanjung Priok. Saat itu memang Tanjung Priok secara administratif masih berada di luar Kota Batavia.

Olivier, atau akrab disapa Pak Oli, menjelaskan bahwa adanya tiga operator dalam satu kota bikin pengelolaan jadi runyam. Ketiga susah bekerja sama sehingga pengelolaan infrastruktur rel di Batavia dan sekitarnya jadi tak efisien.

“Itulah alasan pemerintah Hindia Belanda memutuskan agar pengelolaan semua jaringan rel kereta api dilakukan oleh satu pihak saja, dengan mendahulukan SS yang merupakan perusahaan negara,” tulis Pak Oli yang pehobi kartu pos kuno ini dalam bukunya (hlm. 26).

Harian Kompas (27/3/2014) dalam salah satu artikel dari Seri Susur Rel-nya juga menyebut demikian. Usaha pertama SS mengintegrasikan pengelolaan jalur kereta api Batavia dalam satu atap dimulai pada 1897 dengan mengakuisisi jalur dan stasiun milik BOS. Lalu pada 1913 giliran jalur dan stasiun milik NIS berpindah kepemilikan.

Jadilah, stasiun Batavia Noord dan Batavia Zuid kini dikelola oleh satu operator. Dua stasiun dalam satu tempat berdekatan tentu sangat tidak efisien. Karenanya, SS mulai membikin rencana penyatuan kedua stasiun itu pada 1915.

Rencana itu baru terlaksana pada 1923 ketika Stasiun Batavia Zuid dirobohkan untuk dibangun lagi menjadi stasiun yang lebih besar. Untuk sementara seluruh layanan kereta api dialihkan ke Stasiun Batavia Noord.

Pembangunan stasiun baru yang diarsiteki Frans Ghijsels itu sempat tersendat pada 1924. Dana pembangunannya sebesar 40,5 juta gulden diselewengkan.

“Urusan ini mampu diselesaikan, hingga 8 Oktober 1929 [tepat hari ini 89 tahun lampau] stasiun baru diresmikan dengan nama Stasiun Benedenstad, sekarang dikenal sebagai Stasiun Jakarta Kota (Beos),” tulis Kompas.

Baca juga artikel terkait KERETA API atau tulisan lainnya dari Fadrik Aziz Firdausi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti