Menuju konten utama

Hikayat Sekarat Kali Bekasi: Tercemar, Bau, Hitam, dan Diabaikan

Belasan tahun tercemar, daerah aliran sungai Bekasi tak pernah menjadi prioritas untuk dipulihkan.

Hikayat Sekarat Kali Bekasi: Tercemar, Bau, Hitam, dan Diabaikan
Sampah yang tersumbat di pintu air bendungan Bekasi, Sabtu (15/09/2018). tirto.id/Hadi Hermawan.

tirto.id - Kali Bekasi terselimuti busa putih sejak pertengahan Agustus lalu. Penampakan macam ini karena sungai yang membelah Kota Bekasi itu jadi pusat pembuangan limbah industri. Ia bikin kali terlihat menghitam dan kotor. Warga yang bermukim di sepanjang kali pun mengeluhkan bau busuk yang menyengat.

Pertengahan September lalu, saya mendatangi titik pencemaran kali dan lokasi pertama yang saya tuju adalah Bendungan 1, Pekayon, Bekasi Barat. Penampakan buih putih bak salju ini, yang jadi omongan warga dan pemberitaan, rupanya sudah menguap. Hanya terlihat air sungai hijau pekat dan bau busuk yang samar.

Di bawah jembatan bendungan, seorang pria paruh baya terlihat menebar jala. Padahal biota sungai sekarat. Ikan sapu-sapu, spesies ikan paling bandel saja meregang nyawa di kali tersebut.

Saya melanjutkan perjalanan ke kawasan Parigi, Cileungsi, Bogor, lokasi yang diduga jadi pencemaran sungai cukup berat, sekitar 10 kilometer dari Pekayon. Salah satu lokasi terdampak pencemaran kali adalah perumahan Vila Nusa Indah 5. Halaman belakang perumahan ini adalah Sungai Cileungsi dengan bantaran cukup curam.

Bau menyengat tercium dari jarak 100 meter dari pinggir sungai. Bukan bau sampah, tapi lebih mirip bau pahit menyengat dari bahan kimia, persis seperti bau limbah pabrik di sebuah kawasan industri. Air sungai berwarna hijau kehitaman dan menebarkan busa putih bak sekawanan awan begitu jatuh di curug rendah tapi lebar. Beberapa bangkai ikan bergelimpangan di pinggir sungai. Saat saya ke sana, tak ada seorang warga pun terlihat beraktivitas di bantaran kali.

Sodikun, ketua rukun tetangga setempat dari kompleks perumahan itu, berkata kualitas sungai dalam "kondisi terbaik" dalam beberapa waktu terakhir saat saya datang. “Kalau Anda datang dua minggu lalu, saya jamin Anda tidak akan kuat," tambahnya.

"Baunya sudah tercium bahkan dari pintu masuk kompleks,” ujar dia. Jarak pintu kompleks sekitar 300 meter dari pinggir sungai.

Selain bau, air sungai hitam pekat. Ini terjadi saban pabrik membuang limbah, biasanya dilakukan pada malam hari. Paginya, limbah itu berubah jadi busa putih, menutupi hampir seluruh permukaan sungai dibarengi bau pahit.

Masyarakat Vila Nusa Indah menilai mereka masih bisa menenggang hidup sehari-hari terhadap kualitas sungai air yang tercemar dan kotor menghitam. Tapi tidak ketika sungai mulai menguarkan aroma busuk hingga bikin mereka pusing dan mual.

Perumahan tempat tinggal Sodikun ini sempat disambangi Wakil Ketua DPR Fadli Zon, awal September lalu. Zon berjanji pencemaran Kali Cileungsi akan mendapat perhatian dari DPR, “Saya akan membawa persoalan pencemaran kali ke Komisi DPR dan Kementerian Lingkungan Hidup untuk dapat ditindak sesuai prosedur."

Namun, janji politikus dari Gerindra itu belum terbukti sampai laporan ini dirilis.

Infografik HL Indepth Kali Bekashit

Bukan Pencemaran Pertama

Kali Bekasi yang tercemar sampai berbuih putih dan menguarkan bau kotor dan berubah warna hitam bukanlah kali pertama terjadi pada tahun ini.

Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air Kota Bekasi mencatat kejadian macam ini sudah berlangsung delapan tahun terakhir. Sementara kondisi air sungai Bekasi yang menghitam sudah berselang selama 15 tahun terakhir. Lazimnya puncak keluhan warga atas perubahan dramatis kualitas sungai tersebut saat musim kemarau—tahun ini musim kemarau berlangsung lebih lama dari April hingga awal November, menurut prediksi badan klimatologi BMKG.

Kali Bekasi merupakan pertemuan dua sungai: Sungai Cileungsi (berhulu di Babakan Madang) dan Sungai Cikeas (berhulu di Sentul). Ia bermuara di Muara Karang, kawasan padat Penjaringan di Jakarta Utara. Bersama tiga sub daerah aliran sungai lain, kedua sungai itu membentuk daerah aliran sungai Bekasi seluas hampir 147 ribu hektare dengan panjang sekitar 100 km.

Di sepanjang Sungai Cileungsi terdapat sekitar 1.200 perusahaan, dengan 800 di antaranya berada di sepanjang aliran Kali Bekasi. Hampir seluruhnya diduga membuang limbah cair pabrik ke kali tanpa lebih dulu ditangani melalui teknologi pengolahan limbah. Ada macam-macam perusahaan pencemar kali. Dari pabrik pengolahan logam, tekstil, plastik, semen, detergen, hingga minyak.

Pencemaran sungai terutama dari air limbah terlihat tak kentara bila musim hujan karena cepat terkuras oleh air hujan. Namun, problem ini jadi perhatian publik pada musim kemarau. Tengku Imam Kobul dari Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air Kota Bekasi menyebutnya sebagai "titik nol."

“Artinya, air yang mengalir saat ini di DAS Bekasi seluruhnya merupakan limbah,” ujar Imam.

Pada musim hujan, hulu daerah aliran sungai Bekasi bisa mencapai debit maksimal hingga 254,9 meter kubik per detik. Sementara pada kondisi titik nol, hulu sungai tak mengalirkan air sehingga debit air minimal yang bisa dihasilkan hanya 1,5 meter kubik per detik. Jika saat ini Kali Bekasi masih memiliki debit air cukup besar, praktis bisa dipastikan seluruhnya mengandung limbah.

Dengan kondisi seperti itu, air Kali Bekasi masuk dalam "kategori non-kelas," sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 82/2011 tentang baku mutu sumber daya air. Juga kandungan BOD (kebutuhan oksigen biologis) dan COD (kebutuhan oksigen kimia) Kali Bekasi yang diduga sudah di ambang batas dari Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 05/2014 tentang baku mutu air limbah.

Artinya, air Kali Bekasi tak bisa dimanfaatkan untuk apa pun.

Kali Bekasi Diabaikan

Belasan tahun sekarat, nyatanya DAS Bekasi tak kunjung mendapat penanganan serius untuk dinormalisasi. Melewati dua kabupaten atau kota Bekasi membuat daerah aliran sungai ini seharusnya menjadi tanggung jawab lintas sektoral, Pemerintah Kota Bekasi, Pemerintah Kabupaten Bogor, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, hingga Kementerian Pekerjaan Umum.

Tanggung jawab lintas sektoral ini membuat penanganan limbah kerap bentrok wewenang antarwilayah administratif. Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Bekasi Jumhana Luthfi mengaku kesulitan karena lokasi Kali Bekasi berada di hilir.

“Kami kesulitan menjaga mutu,” ujar Luthfi kepada saya, pertengahan September lalu. Luthfi mengatakan sempat melakukan komunikasi, bahkan meneken nota kesepahaman dengan pemerintah Kabupaten Bogor, guna mengatasi pencemaran sungai. Nyatanya, persoalan limbah DAS Bekasi masih berjalan di tempat.

“Artinya, sinergi antarwilayah tidak berjalan?”

Luthfi enggan menjawab secara eksplisit tapi hanya bergumam, “Kami hanya monitoring wilayah kami saja.”

Sialnya, saat persoalan ini dibawa ke pusat, DAS Bekasi tidak menjadi prioritas buat dibereskan. Padahal, dalam cakupan DAS Ciliwung-Cisadane, DAS Bekasi merupakan terbesar kedua, yakni sebesar 27 persen. Jauh lebih luas ketimbang DAS Ciliwung yang hanya 8 persen dengan luas 44 ribu hektare.

“Yah... mungkin karena Ciliwung melewati Jakarta, maka menjadi prioritas,” kata Tengku Imam Kobul dari Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air Kota Bekasi.

Di tingkat pusat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan justru mengklaim polemik pencemaran DAS Bekasi merupakan tanggung jawab provinsi.

“Jika sudah melewati dua kabupaten atau kota artinya itu tanggungjawab provinsi,” ujar Sugeng Priyanto, direktur pengaduan, pengawasan dan sanksi administrasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kendati demikian, pihaknya mengklaim tengah melakukan "investigasi" soal pelaku pencemaran DAS Bekasi.

“Kami sedang melakukan uji lab untuk melihat kandungan limbah dari sampel yang kami ambil di Sungai Cileungsi,” imbuh Sugeng.

Hingga laporan ini dirilis, belum ada respons dari Pemprov Jawa Barat untuk mengatasi problem akut hikayat sekarat Kali Bekasi.

Padahal, tanpa perhatian serius dari para pemangku kebijakan, baik dari tingkat daerah hingga pusat, kita akan melihat Kali Bekasi serupa gelandangan di jalan raya: diabaikan, dibicarakan saat mengganggu lingkungan sekitar, dan dibiarkan sekarat. Sangat mungkin nasibnya serupa Citarum: menjelma menjadi limbah terbesar di ujung timur Jawa Barat.

Baca juga artikel terkait PENCEMARAN SUNGAI atau tulisan lainnya dari Restu Diantina Putri

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Restu Diantina Putri
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam