Menuju konten utama

Hikayat Podcast

Di Amerika Serikat, podcast alias iPod brodcasting berkembang dengan apik.

Hikayat Podcast
Ilustrasi Podcast. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Dunia seperti apa yang Anda ingat dalam 20 tahun yang lalu? Jawabannya pasti bermacam-macam.

Di dunia teknologi, memang tak ada yang bisa mengimbangi kecanggihan hari ini. 20 tahun lalu, kamera film sangat digdaya, dan mendominasi dunia fotografi. Siaran televisi, saat itu, masih sebatas memanfaatkan antena yang menjulang tinggi ke angkasa dengan tak lebih dari 10 saluran televisi yang bisa dinikmati. Mendengarkan radio sambil berkirim pesan menjadi ialah kegiatan yang masih banyak dilakukan orang.

Hari ini, di tengah perkembangan teknologi yang begitu pesat, perilaku manusia dalam mengkonsumsi fotografi, televisi, maupun mendengarkan radio, jelas telah berubah. Praktis, kamera film, hampir hilang ditelan zaman. Televisi, kini tak lagi pilihan utama. Ada beragam layanan streaming yang lebih asyik dinikmati manusia masa kini.

Di dunia radio, perubahan pun terjadi. Perubahan itu bermuara menjadi, salah satunya, podcast.

Menilik sejarahnya, podcast lahir seiring kelahiran iPod bikinan Apple yang diperkenalkan Steve Jobs pada 2001. Podcast bisa dibilang sebagai “iPod broadcasting” alias siaran dengan menggunakan iPod. Berbeda dengan radio FM/AM konvensional, podcast tak menyiarankan siarannya secara linear. Podcast yang serupa dengan Youtube itu merupakan platform siaran suara on demand.

Kala seseorang ingin mendengarkan, ia tinggal mengunduh seri podcast keinginannya, tanpa perlu menunggu waktu tertentu selayaknya radio konvensional yang melakukan siaran di saat-saat tertentu. Karena sifatnya yang on demand itu pula, suatu siaran podcast, bisa didengarkan berulang-ulang.

Alex Blumberg, salah seorang pendiri seri podcast bernama “StartUp”, mengungkapkan, “Sekarang (siaran) audio berpindah pada jenis on demand.”

Seperti asal-muasal namanya, podcast terutama bisa dinikmati melalui aplikasi Apple Podcast. Lainnya, ada aplikasi Spotify, Pocket Cast, Overcast, dan Google Play Music yang bisa digunakan untuk mendengarkan suatu seri podcast. Dan karena sifat podcast yang diunduh memungkinkan aplikasi pemutar musik biasa juga bisa dimanfaatkan untuk mendengar siaran podcast.

Mengutip New York Magazine, podcast hadir dalam beragam jenis. Ada podcast perihal perbincangan politik, olahraga, komedi, hingga serial podcast yang menyajikan materi fiksi secara berkelanjutan. Beberapa contoh podcast sukses ialah “Serial”, podcast yang menyajikan drama fiksi kriminal yang diproduseri Sarah Koenig. Ada juga “99% Invisible”, podcast yang berbincang perihal kampanya Kickstarter (kampanye pengunpulan dana bagi suatu proyek) yang dipandu Roman Mars, dan “StarUp”, podcast yang mengisahkan kesuksesan Alex Blumberg mendirikan siaran podcast-nya sendiri.

Merujuk Edison Research, terdapat 39 juta pendengar podcast di Amerika Serikat di akhir bulan. Sementara merujuk data Statista, 24 persen orang dewasa di Amerika Serikat, mengkonsumsi siaran podcast. Data lainnya, merujuk pemberitaan Business Insider, diestimasi bahwa 20 persen penduduk Amerika Serikat yang berumur antara 18 hingga 49 tahun, setidaknya mendengarkan satu kali siaran podcast tiap bulannya. Publisher atau penerbit podcast yang populer ialah NPR, WNYP Studios, dan HowStuffWorks.

infografik podcast

Angka-angka tersebut jelas berkorelasi dengan baik dengan pendapatan yang bisa diraih. Merujuk pemberitaan Wall Street Journal, para pengiklan di Amerika Serikat, diestimasi menggelontorkan uang senilai $35 juta pada 2016 guna beriklan di podcast. Angka itu naik sebesar 2 persen dibandingkan nilai yang digelontorkan pada 2015.

Tentu ada banyak alasan mengapa podcast populer. Mengutip Forbes, beberapa poin yang menyebabkan podcast kian populer ialah semakin beragamnya jenis siaran yang diusung serta kemampuan para pembawa acara yang kian baik. Selain itu, investasi yang digelontorkan pada kanal media baru tersebut, juga semakin kencang. Diketahui, WNYC, salah satu publisher podcast, menerima kucuran dana senilai $2 juta. Sementara itu, Gimlet Media, menerima investasi Seri A senilai $6 juta.

Memang, jika ditilik, nilai-nilai investasi pada podcast tidaklah semegah investasi pada platform lainnya. Namun, investasi yang terbilang bernilai biasa saja itu lahir dari kenyataan bahwa biaya produksi podcast memang terbilang murah.

New York Magazine bahkan hanya menyebut beberapa perangkat “rumahan” yang bisa digunakan untuk menciptakan suatu siaran podcast, terlepas dari kerjasama misalnya dengan Spotify untuk menyebarluaskan konten podcast. Perangkat seperti microphone, aplikasi Audacity, dan hosting murahan sebagai tempat bersemayan konten podcast di internet, cukup untuk menjadi ramuan membikin konten-konten podcast.

Meskipun murah, podcast memiliki nilai keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan platform media lainnya. CPM atau cost per “M”, di mana M merujuk pada angka Romawi yakni 1.000, yang diraih podcast jauh lebih besar dibandingkan TV, radio, maupun situsweb.

CPM merujuk pada penghitungan pembayaran iklan. Semisal, jika harga CPM ialah Rp50.000, artinya, impresi atau klik sebanyak 1.000 kali, dihargai Rp50.000. Mengutip New York Magazine, CPM podcast ialah $20 hingga $45. Sementara CPM radio konvensional berada di angka $1 hingga $18, TV berada di angka $5 hingga $20, dan situsweb berada di angka $1 hingga $20.

Jelas, podcast unggul jauh merujuk angka-angka tersebut. Secara sederhana, dengan nilai investasi yang lebih sedikit, podcast memberi keuntungan yang lebih menggiurkan.

Meskipun podcast di Amerika Serikat terbilang populer, di Indonesia podcast bisa dikatakan belum berkembang. Dicari di aplikasi Spotify, sukar rasanya menemukan siaran atau konten podcast buatan orang Indonesia. Hasil “googling” di internet pun, tidak mendapatkan siaran atau konten podcast dalam negeri yang sepopuler dengan apa yang terdapat di Amerika Serikat.

Padahal, di Amerika Serikat, podcast telah bersalin rupa dengan apik. Salah satunya ialah konten audiobook, buku versi suara. Hampir tidak ada audiobook dari buku-buku Indonesia.

Tentu, kekosongan tersebut, bisa dimanfaatkan dengan baik di dalam negeri. Mumpung podcast belum populer di sini, konten atau siaran podcast dalam negeri bisa dibuat dengan gayanya sendiri. Mulai hari ini.

Baca juga artikel terkait TEKNOLOGI INFORMASI atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Reporter: Ahmad Zaenudin
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Zen RS