Menuju konten utama

Hikayat Kontainer dan Pengiriman Barang yang Ambruk oleh Pandemi

Pandemi Covid-19 membuat produksi barang terganggu. Ketika produksi kembali menggelora, pengiriman barang tak sanggup melayani.

Hikayat Kontainer dan Pengiriman Barang yang Ambruk oleh Pandemi
Aktivitas bongkar muat di Terminal Peti Kemas Makassar yang dikelola oleh PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) IV (Persero) di Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (20/9/2021). ANTARA FOTO/Arnas Padda/yu/rwa.

tirto.id - Pada September 2020, iPrice, mesin pencari vertikal yang membandingkan harga barang dari pelbagai e-commerce, menyebut bahwa salah satu waktu terbaik untuk membeli PlayStation 5 versi kaset adalah enam bulan usai diluncurkan atau sekitar Mei 2021.

Menurut perkiraan mereka--membandingkan harga pembukaan PlayStation 5 yang berada di angka Rp 7,4 juta dengan nasib PlayStation 4--konsol game termutakhir dari Sony itu akan mengalami penurunan harga menjadi Rp 7 juta. Dan, seandainya penikmat video gim mau bersabar lebih lama, setahun setelah diluncurkan atau sekitar November 2021, iPrice memperkirakan harga PlayStation 5 akan berada di titik Rp 6,8 juta.

"Yes, ini semua benar!" terang iPrice, memperkirakan harga PlayStation 5 akan turun sebesar 6 hingga 8 persen, dalam email yang dikirimkan kepada saya.

Namun, sejak diluncurkan hingga saat ini, ternyata tidak ada PlayStation 5 yang dijual dengan harga yang diperkirakan iPrice, baik di toko video gim atau di e-commerce seperti Tokopedia, PlayStation 5 dijual dengan kisaran harga Rp 12 jutaan untuk versi kaset bergaransi internasional, dan Rp 14 jutaan untuk versi kaset bergaransi Sony Indonesia. Sementara PlayStation 5 Digital yang tak mendukung memainkan gim melalui kaset, dijual pada kisaran Rp 10 juta.

Dan tak hanya harga PlayStation 5 yang melambung. Pelbagai perangkat elektronik lain seperti laptop, graphical processing unit (GPU), hingga smartphone yang diluncurkan dalam rentan 2020-2021 mengalami nasib serupa. Hal ini membuat kelas menengah-atas yang teperdaya gawai mutakhir terpaksa merogoh kocek lebih dalam. Kondisi ini terjadi karena selain disebabkan chip/prosesor/System-on-Chip (SoC) tengah mengalami kelangkaan, rantai pasokan barang/bahan baku antarnegara juga tengah terganggu secara masif.

Kontainer sebagai Solusi

"Pada awal 1950-an, sebelum manusia mengenal kontainer (peti kemas), pengiriman barang antarnegara merupakan perkara yang teramat mahal," tulis Marc Levinson dalam The Box: How the Shipping Container Made the World Smaller and the World Economy Bigger (2006).

Proses pengiriman barang antarnegara memang membutuhkan pekerja dalam jumlah yang sangat besar, rumit, berbahaya, dan sangat lama.

Kala itu, proses pengiriman barang antarnegara harus dilakukan menggunakan kapal. Mula-mula pemilahan dan pengepakan barang dilakukan dari pabrik ke dalam truk atau kereta. Setelah itu, barang dibawa ke pelabuhan. Nahas, karena belum mengenal kontainer, proses bongkar muat terpaksa dilakukan memindahkan barang dari truk/kereta ke dalam kapal yang tengah bersandar.

Dan tatkala kapal yang telah diisi barang akhirnya lepas jangkar untuk tiba di lokasi tujuan, dalam urutan terbalik, pemilahan/bongkar muat/pengepakan hingga pengiriman melalui jalur darat dilakukan kembali. Hal ini menciptakan rantai proses yang tak sederhana dan lama.

Dalam proses panjang tersebut, dilakukan secara manual dengan mengerahkan banyak pekerja, yakni sekitar 1,9 hingga 2,5 pekerja tiap ton kargo. Jika barang yang hendak dikirim berukuran kecil dan memiliki berat ringan, pekerja melakukannya dengan mudah. Namun, jika sebaliknya, nyawa taruhannya.

Merujuk Levinson, dalam rentang 1947 hingga 1957, 47 dan 2.208 pekerja bongkar muat di pelabuhan Marseilles dan New York tewas tertimpa barang. Di pelabuhan Manchaster, Inggris, dalam rentang waktu yang sama, satu dari dua pekerja menjadi korban berbahayanya pengiriman barang antarnegara. Kondisi ini membuat para pekerja bongkar muat akhirnya diberi upah yang tinggi atas risiko yang juga tinggi.

Maka itu, pengiriman barang antarnegara membutuhkan ongkos yang sangat besar, hampir menyentuh angka $ 250 ribu setiap pengiriman. Setidaknya di awal 1950-an, ongkos pengiriman barang antarnegara setara dengan 25 persen biaya produksi barang. Hal ini membuat AS, misalnya, harus rela kehilangan 12 persen nilai ekspor dan 10 persen nilai impor hanya untuk membiayai pengiriman barang.

Namun mahalnya ongkos pengiriman barang antarnegara akhirnya sirna. Musababnya dipelopori oleh seorang pengusaha pengangkutan barang bernama Malcom Purcell McLean--pendiri McLean Industries. Ia berhasil memangkas jumlah pekerja yang dibutuhkan dalam proses pengiriman barang secara gila-gilaan. McLean memperkenalkan kontainer atau peti kemas berukuran 10 meter (lalu distandardisasi menjadi 12 meter), lengkap dengan sistem pengaitan (docking) menggunakan magnet dan derek (crane) raksasa yang dipasang di pelabuhan Newark, New York, sejak 1955.

Melalui sistem ini, bongkar muat hanya dilakukan di pabrik dan lokasi tujuan, tanpa perlu dilakukan di pelabuhan asal dan tujuan. Ini membuat ongkos pengiriman barang antarnegara jauh lebih murah 94 persen dibandingkan sebelumnya.

Mild Sebelum Adanya Container

Mild sebelum adanya container. tirto.id/Quita

Melalui kontainer dan berbagai sistem yang mendukungnya, seperti dipaparkan Levinson Outside The Box: How Globalization Changed from Moving Stuff to Spreading Ideas (2020), "biaya pengiriman berhasil dipangkas gila-gilaan, membuat para pengusaha seakan tidak membutuhkan lokasi strategis untuk membangun pabrik hingga membuat pelbagai kawasan di Asia menggelora atas ketersediaan buruh murah."

Lebih lanjut, sistem pengiriman barang antarnegara via kontainer ini membuat Toyota--yang akhirnya ditiru banyak perusahaan--dapat menerapkan sistem "Just In Time". Suatu sistem yang alih-alih memproduksi barang dalam jumlah banyak untuk disimpan di gudang menunggu pesanan, mereka justru memproduksi barang hanya sesuai pesanan. Suku cadang dikirim dari berbagai lokasi di dunia ke pabrik Toyota dan tiba di saat yang diperlukan.

Globalisasi barang tercipta gara-gara kontainer. Membuat barang yang diproduksi di Cina ataupun Vietnam menjadi mudah dan murah dijangkau konsumen Jerman, misalnya, begitu pun sebaliknya.

Ambruk oleh Pandemi

Sayangnya, sistem pengiriman yang telah berumur hampir tujuh dekade ini akhirnya terpeleset jua. Sebagaimana dilaporkan Peter S. Goodman untuk The New York Times, pandemi SARS-CoV-2 yang dimulai pada awal 2020 lalu membuat sistem pengiriman barang antarnegara berantakan. Ketika Corona pertama kali muncul, Asia sebagai tempat mayoritas pabrik-pabrik berada menjadi yang pertama yang diamuk, membuat produksi barang atau suku cadang sukar dilakukan.

Akibatnya, karena tak memiliki barang untuk dikirim, para pengusaha pengiriman barang antarnegara memilih memarkirkan kapal-kapal mereka beserta kontainernya di perbagai pelabuhan di Eropa dan Amerika. Dan tatkala Corona akhirnya mereda di Asia dan membuat pabrik-pabrik beroperasi kembali, di Eropa dan Amerika justru sedang ganas-ganasnya. Membuat barang-barang yang diproduksi tak bisa masuk pasar Eropa dan Amerika. Kondisi ini diperparah dengan musibah yang terjadi di Terusan Suez, Mesir.

Pandemi Covid-19 akhirnya menimbulkan penumpukan barang secara gila-gilaan di Asia. Membuat pabrik-pabrik memangkas jumlah produksi karena banyak barang yang tak sampai ke konsumen. Karena langka, permintaan barang kemudian meningkat. Ditambah dengan kelangkaan prosesor/chip/System-on-Chip (SoC), penawaran-permintaan yang tak seimbang ini kian mengggila, membuat misalnya harga PlayStation 5 menjadi membubung.

Baca juga artikel terkait PENGIRIMAN BARANG atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Irfan Teguh