Menuju konten utama

Hidup Tanpa Kuota Bagai Sayur Kurang Garam

Gen Z mengandalkan ponsel untuk mengakses informasi, berkomunikasi, hingga mencari jati diri dan berekspresi.

Hidup Tanpa Kuota Bagai Sayur Kurang Garam
Ilustrasi kumpulan remaja bermain handphone. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Tiada masa paling indah, masa-masa di sekolah

Tiada kisah paling indah, kisah-kasih di sekolah....

Sepenggal lirik lagu “Kisah Kasih di Sekolah” ini mengisahkan masa-masa SMA sebagai masa paling manis. Tak cuma soal asmara, nyatanya banyak momen bersama teman sebaya yang memang layak untuk dikenang.

Dalam jurnal Child Development (2017), para peneliti psikologi klinis di University of Virginia mengungkap hasil penelitian jangka panjang terhadap 169 orang yang membina persahabatan lebih dari 10 tahun, yakni sejak mereka berumur 15 hingga 25 tahun. “Studi kami mengonfirmasi bahwa membentuk persahabatan menjadi salah satu bagian terpenting dalam pengalaman sosial remaja,” ungkap Joseph Allen—salah satu peneliti yang juga seorang profesor psikologi Hugh P. Kelly di University of Virginia.

Bagaimana tidak, hampir setiap hari para remaja menghabiskan waktu bersama teman sebaya. Tak heran bila kemudian penelitian Yunia Widi Astuti dan rekan-rekannya dari Universitas Negeri Madiun (2019) menunjukkan bahwa dukungan teman sebaya (peer group support) sangat memengaruhi sikap remaja dalam beradaptasi maupun menghadapi masalah. Pertemanan itu sendiri terjadi karena adanya kesamaan interes dan afeksi yang mendalam. Ketika beberapa remaja sepakat membentuk kelompok, identitas mereka pun otomatis terbentuk.

Dunia Remaja dalam "Lady Giga"

Identifikasi kelompok berdasarkan kesamaan-kesamaan ini dengan tepat ditunjukkan oleh serial web Lady Giga yang diawali dengan kisah pengelompokan murid di sebuah SMA. Ada golongan pintar; golongan cantik dan gaul; anak bandel dan pembuat onar; dan anak-anak yang tak termasuk dalam kelompok manapun—murid biasa yang tak menarik, tak pintar, apalagi terkenal—alias golongan “antara ada dan tiada”.

Anya, si narator sekaligus tokoh utama, termasuk dalam golongan terakhir. Namun ia ingin mengubah reputasi dengan memenangkan gelar Murid Ter-Hitz di sekolah. Anya dan keempat temannya—Maikel, Bray, si kembar Wara dan Wiri—kemudian membentuk #GengGaulGue bernama Geng Bel (Geng Berani Eksis Lho).

Ketika bicara soal remaja, kita tak lagi membahas tentang milenial yang telah “melangkah jauh” dari masa itu. Ingat bahwa semua menua pada waktunya. Sebutan ‘remaja’ kini identik dengan Gen Z, yaitu mereka yang lahir tahun 1995 sampai 2010, atau berumur 9–23 tahun pada tahun ini.

Nah, jika generasi-generasi sebelumnya menjadikan selebritas sebagai panutan, Gen Z yang begitu akrab dengan teknologi berkiblat pada influencers (riset mandiri Tirto, 2017). Mereka mengandalkan ponsel—dan tentu saja internet—untuk mengakses informasi, berkomunikasi, hingga mencari jati diri dan berekspresi. Menurut data Kementerian Komunikasi dan Informatika (2014), setidaknya 30 juta anak dan remaja di Indonesia merupakan pengguna internet, dan media digital menjadi pilihan utama saluran komunikasi yang mereka gunakan saat ini.

Sesuai zaman, eksistensi remaja masa kini tak bisa lepas dari peran media sosial. Maka langkah pertama Geng Bel adalah membuat akun Instagram @lady.giga.official. Demi menjadikan Anya populer dalam waktu 30 hari, lima sekawan ini bahu-membahu menaikkan jumlah konten dan followers.

Dalam bukunya, Raising Children in Digital Era, psikolog Elizabeth T. Santosa mengungkap bahwa, selain optimisme dan pola pikir terbuka, kepercayaan diri yang tinggi merupakan ciri Gen Z. Berbekal kepercayaan diri itulah Gen Z berupaya mendapatkan pengakuan lewat jumlah followers dan likes. Penerimaan dan pengakuan teman sebaya merupakan elemen penting yang memengaruhi kebahagiaan remaja.

Anya—sebagai Lady Giga—mengunggah konten-konten menarik di Instagram dengan bantuan teman-temannya. Bray yang seorang atlet e-sport sekolah membantu membuat konten games, sedangkan ide memasak datangnya dari si kembar Wara dan Wiri. Sementara itu, Maikel bertugas mengabadikan semua momen dalam bentuk foto maupun video. Mereka berburu konten di mana dan kapan saja.

Kuota Besar untuk Pelajar

Omong-omong, barangkali kamu penasaran, bagaimana bisa Geng Bel memiliki kuota internet memadai? Apalagi dengan uang saku yang pas-pasan, mungkinkah kuota melimpah bisa didapat dengan mudah?

Semua menjadi masuk akal karena Smartfren menghadirkan #KuotanyaKitaKita, yaitu Super 4G Kuota 5 GB untuk mendukung kebutuhan internet para pelajar di seluruh Indonesia. Hanya dengan Rp12.500, sekarang kamu bisa menikmati 1,25 GB kuota 24 jam, 2,75 GB kuota malam, dan 1 GB kuota chat dengan kecepatan full 4G yang berlaku selama 30 hari!

Infografik Advertorial Smartfren

Infografik Advertorial Sahabat & Kuota Adalah Segalanya. tirto.id/Mojo

Kartu perdana superhemat dengan akses full 4G ini satu-satunya yang pas di kantong pelajar. Kuota cukup besar bisa kamu manfaatkan untuk memaksimalkan potensi diri atau menggali kreativitas, seperti Geng Bel yang terus mencari inspirasi konten dari kehidupan sehari-hari alih-alih menggunakan internet untuk hal negatif.

Jika ingin lebih hemat, tinggal #KuotakanMaumu, misalnya menentukan jam browsing pada pagi hari dan mengunggah konten hanya pada siang atau sore hari menggunakan kuota 24 jam, sementara kuota malam khusus dipakai untuk gaming, streaming, dan mengunduh materi atau tugas sekolah. Cara ini juga diterapkan oleh Anya dan teman-temannya saat memproduksi konten maupun IG live.

Berkat pertemanan yang positif, Geng Bel dinobatkan sebagai Geng Ter-Hitz di sekolah. Pada akhirnya Anya memang gagal menjadi Murid Ter-Hitz, tetapi bukankah penghargaan terbesar justru didapat dalam wujud sahabat-sahabat sejati? Pertemanan sehat jauh lebih langgeng ketimbang popularitas yang sifatnya sementara.

Lagipula cerita indah masa SMA tak lengkap bila hanya tentang diri sendiri, terlebih era digital membuat hari-hari kian berwarna untuk dijelajahi bersama sahabat.

Siap merangkai momen-momen luar biasa tanpa terhalang kuota?

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis