Menuju konten utama
3 November 1945

Hidup Mati Partai Politik & Titik Balik Sejarah Demokrasi Indonesia

Partai politik paling awal di Indonesia dapat dilacak pada mula abad ke-20. Surut ketika Belanda merepresi kaum pergerakan dan saat pendudukan Jepang.

Hidup Mati Partai Politik & Titik Balik Sejarah Demokrasi Indonesia
Ilustrasi Mozaik Maklumat 3 November disahkan. tirto.id/Tino

tirto.id - Dalam pertarungan politik kontemporer, partai politik menempati posisi yang paling sentral. Presiden Indonesia hanya dapat dicalonkan lewat rekomendasi partai politik dengan batas bawah perolehan suara tertentu (presidential threshold).

Sepanjang lintasan sejarah, corak, wujud, dan jumlah partai politik di Indonesia selalu berubah-ubah. Dalam dinamika itu, arti penting partai politik juga mengalami pasang surut. Namun demikian, seperti sempat diungkapkan Herbert Feith dalam The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (1962), kedudukan partai politik pada suatu periode dapat menunjukkan tingkat demokratisasi negara pada periode itu.

Dengan demikian, kedudukan partai politik yang mengalami kemerosotan pada masa Demokrasi Terpimpin (1959–1965) atau Orde Baru (1966/67–1998) mengindikasikan tingkat demokratisasi yang rendah.

Partai politik yang jadi tolok ukur demokrasi seharusnya ditempatkan dalam posisi menonjol dalam pembahasan sejarah. Namun, seperti sempat diungkapkan Daniel S. Lev lewat artikelnya “Political Parties in Indonesia” dalam Journal of Southeast Asian History (Vol. 8, No. 1), pembahasan mengenai partai politik dalam studi kesejarahan Indonesia masing sangat kurang.

Kelahiran partai-partai politik yang paling awal di Indonesia dapat ditarik mundur hingga akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20. Setelah mengalami kemandekan sejak sekitar akhir perlawanan Pangeran Diponegoro (1830), perlawanan terhadap sistem kolonialisme Belanda baru bangkit lagi pada akhir abad ke-19. Abad tersebut menyaksikan setidaknya tiga perubahan haluan pemerintah kolonial Belanda.

Ketika Jawa berhasil dipasifikasi pada 1830, pemerintah kolonial melakukan reformasi ekonomi dengan mencanangkan sistem tanam paksa yang menggusur sistem tanam tradisional petani Jawa yang subsisten—mengusahakan tanah sekadar untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal.

Kritik pertama terhadap sistem ini datang pada 1860 lewat roman satir Max Havelaar. Perubahan yang dibawa oleh novel karangan Eduard Douwes Dekker ini menghadirkan pembukaan pintu investasi swasta asing ke tanah jajahan. Pada periode ini, sekalipun sistem liberal justru semakin meningkatkan eksploitasi tanah jajahan, muncul pula minat akademik terhadap tanah jajahan. Pulau Jawa setidaknya banyak diteliti dari berbagai segi ilmu pengetahuan.

Dalam Antara Lawu dan Wilis (2021), mantan Residen Madiun (menjabat 1934–1938), Lucien Adam, menyajikan berbagai penelitian dalam bidang kehutanan, kesusastraan, arkeologi dan lainnya yang dilakukan oleh ilmuwan dan ahli purbakala seperti K.F. Holle yang menjelajah Jawa dan meneliti berbagai peninggalan kuno.

Pada periode selanjutnya, dimulai dari pidato Ratu Wilhelmina tahun 1901, berbagai pengetahuan tentang peradaban lokal tadi berkawin dengan ideologi Eropa yang dibawa ke tengah masyarakat lewat program edukasi Politik Etis. Organisasi-organisasi kebangsaan paling awal mendasarkan dirinya atas pengetahuan tadi yang dibenturkan dengan kenyataan kemandekan peradaban Jawa.

Para siswa yang berasal dari kalangan priayi menengah, yang mendirikan Budi Utomo pada tahun 1908 mengkritik kemandekan Jawa dan melihat kebisuan para priayi tinggi pro-Belanda sebagai sebab dari kemandekan. Oleh sebab itu, mereka menyuarakan “kebangkitan kebudayaan Jawa”. Namun, seperti yang tecermin dalam sumber sejarah himpunan C. L. M. Penders, Indonesia: Selected Documents of Colonialism and Nationalism, 1830–1942 (1977), Budi Utomo makin lama makin berpindah tangan ke golongan priayi tinggi yang tidak revolusioner.

Pihak-pihak yang lebih radikal akhirnya meninggalkan Budi Utomo dan bergabung dengan salah satu partai politik paling awal di tanah Hindia, yaitu Indische Partij (Partai Hindia), yang berdiri tahun 1912. Partai Hindia didirikan oleh seorang tokoh Indo-Eropa, Ernest Douwes Dekker—keponakan jauh dari Eduard Douwes Dekker si “Multatuli”, yang mencanangkan partainya sebagai wadah bagi “semua orang yang tinggal di Hindia”, alih-alih menurut asal daerah atau dasar kelompok yang eksklusif.

Sebelum bubar pada 1913, Partai Hindia memiliki keanggotaan sekitar tujuh ribu orang. Ini merupakan tonggak awal dari kemunculan kesadaran politik di Hindia (Indonesia). Sebelumnya, organisasi kebangsaan hanya bergerak dalam ranah sosio-ekonomi dan kultural. Pada masa yang hampir bersamaan, dibentuklah Perkumpulan Sosial-Demokratik Hindia (ISDV) pada 1914 yang menjadi embrio Partai Komunis Indonesia (PKI).

Dalam suasana demokrasi yang masih sangat muda, kelompok politik Marxis adalah yang paling radikal dalam menentang sistem kolonialisme. Pada periode itu, organisasi semacam Budi Utomo bercorak sangat moderat. Gagasan yang ditawarkan oleh organisasi kebangsaan awal lebih mendekati ide revisi terhadap kolonialisme daripada menghukum kolonialisme itu sendiri.

Pada periode yang bersamaan pula, tumbuh kekuatan politik Islam—Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII)—hasil transformasi dari Sarekat Islam yang sebelumnya bergerak di bidang sosio-ekonomi.

Dekade 1920 menyaksikan pertumbuhan partai politik yang pesat sejalan dengan haluan Politik Etis yang digaungkan pemerintah kolonial. Salah satu pemicu pertumbuhan pesat gerakan politik itu dimulai pada tanggal 18 November 1918 ketika Gubernur Jenderal Johan Paul van Limburg Stirum berjanji akan merombak sistem pemerintahan jajahan menjadi lebih demokratis lewat kehadiran suatu parlemen.

Dua tahun sebelumnya (1916), Volksraad (Dewan Rakyat) sudah dibentuk dan pada tahun 1918 sudah menjadi badan yang aktif. Namun, janji peningkatan fungsi Volksraad itu tidak sempat terlaksana hingga akhir masa kekuasaan Belanda. Salah satu sebab kemandekan ini adalah pemberontakan dan aksi massa yang dilakukan oleh PKI pada tahun 1926 dan 1927. Aksi PKI tersebut memukul mundur kepemimpinan dan muruah kaum etis di dalam parlemen negeri induk Belanda.

Infografik Mozaik Maklumat 3 November

Infografik Mozaik Maklumat 3 November disahkan. tirto.id/Tino

Tokoh utama kaum konservatif seperti Hendrik Colijn melancarkan kritik bahwa kehancurkan tata tenteram (rust en orde) Hindia Belanda terjadi akibat lembeknya kaum etis dalam menghadapi aksi penentangan golongan politik tanah jajahan. Bahkan, sempat muncul seruan dari golongan Eropa di tanah jajahan dalam pers Hindia terhadap Gubernur Jenderal Andries Cornelis Dirk de Graeff agar lebih tegas dalam memerintah.

Akhirnya, pemerintah kolonial sejak 1931 menjadi sangat reaksioner terhadap gerakan politik. Dinas Intelijen Politik (Politieke Inlichtingen Dienst) diubah fungsinya dari agensi untuk “mengenal” golongan kebangsaan menjadi agensi untuk “mengawasi” golongan kebangsaan. Partai-partai politik mengalami kemerosotan dalam dekade 1930 hingga kedatangan Jepang pada 1942.

Di bawah kepemimpinan negeri induk Asia yang baru, kekuatan partai politik dicukur habis. Masa ini, dalam pandangan Daniel S. Lev, merupakan zaman kemunduran partai politik dan kenaikan organisasi keagamaan. Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) didirikan Jepang pada tahun 1943 untuk mewadahi golongan Islam. Ia menjadi satu-satunya badan politik yang boleh bergerak leluasa pada masa pendudukan Jepang. Ketika Indonesia kemudian merdeka usai Perang Dunia II (1939–1945), organisasi politik menjadi aspek kebangsaan yang mati suri.

Oleh sebab itu, untuk kembali membangkitkan aktivitas politik, dan dalam usaha meyakinkan dunia internasional terhadap berdirinya negara Indonesia yang demokratis, Wakil Presiden Mohammad Hatta mengeluarkan maklumat pada tanggal 3 November 1945, tepat hari ini 76 tahun lalu, untuk mendorong pendirian partai-partai politik.

Daniel S. Lev menyebutkan bahwa pada saat itu sebenarnya muncul ide untuk membentuk sebuah partai nasional tunggal. Namun, para pemimpin pemerintahan memilih untuk mendorong pembentukan banyak partai dan membentuk model parlementer semu. Ini dilakukan untuk menangkis argumen Belanda yanh membingkai Indonesia sebagai negara pro-fasis buatan Jepang. Bentuk presidensial yang berat kekuasaan eksekutifnya akan memicu kesan tersebut. Maka itu, dalam hari-hari awal republik, sistem parlementer ditempelkan kepada sistem presidensial.

Segera setelah maklumat tersebut diterbitkan, partai-partai politik yang sempat mati suri sepanjang masa pendudukan Jepang kembali bangkit, baik dengan nama yang sama maupun berbeda. Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, PSII, Nahdatul Ulama (NU), dan PKI kembali berdiri. Selain itu, partai-partai dengan skala yang lebih kecil seperti Partai Sosialis Indonesia (PSI), Partai Murba, dan partai-partai keagamaan juga lahir. Pada saat Pemilu 1955 digelar, paling tidak sekitar 50 partai telah terbentuk dan maju mengikuti pemilu.

Baca juga artikel terkait SEJARAH PARTAI POLITIK atau tulisan lainnya dari Christopher Reinhart

tirto.id - Politik
Kontributor: Christopher Reinhart
Penulis: Christopher Reinhart
Editor: Irfan Teguh