Menuju konten utama

Hero Complex, Obsesi Jadi Pahlawan Demi Pengakuan

Laku baik seseorang memang diharapkan setiap individu, tetapi tidak dengan tingkah bak juru selamat saat tak dibutuhkan. Sebagian orang yang sering berperilaku seperti ini bisa jadi mengalami hero complex.



Hero Complex, Obsesi Jadi Pahlawan Demi Pengakuan
Ilustrasi hero complex. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Sebuah ciuman dari pangeran meluruhkan kutukan tidur sepanjang masa yang diterima Aurora dan Putri Salju. Kedatangan putra mahkota ke rumah Cinderella seraya membawa sepatu kaca juga berhasil memerdekakan perempuan itu dari perundungan keluarga tirinya. Ketika Lois Lane terancam, Superman akan dengan sigap mendatangi dan melindunginya. Rama pun tidak tinggal diam saat mengetahui Sinta disandera Rahwana.

Dari era ke era, kisah-kisah penyelamatan jamak ditemukan dalam banyak kebudayaan. Semakin sering cerita dengan pola seperti ini disampaikan, semakin melekat ia melekat di benak seseorang. Akhirnya, dongeng menjelma jadi realitas di kepala orang-orang. Inginnya jalan hidup serupa kisah-kisah tersebut. Harus ada aksi herois, harus ada status yang diangkat oleh sang penyelamat, harus bertemu jodoh karena bila tidak, artinya hidup seseorang menyedihkan dan tak lengkap.

Lazimnya, perempuan yang membayangkan sebagai sosok yang diselamatkan. Sebaliknya, paparan dongeng-dongeng ini membuat banyak laki-laki berimajinasi selalu bisa jadi jagoan pada setiap kesempatan.

Saking melekatnya gambaran tokoh-tokoh dongeng tersebut, di dunia psikologi dikenal istilah Cinderella complex. Pada awal 1980-an, Collete Downing memperkenalkan istilah yang merujuk pada kecenderungan untuk selalu ingin diselamatkan dan mengecap hal-hal romantis ini.

Mungkin tidak masalah bila keinginan-keinginan semacam ini cuma berhenti di alam fantasi. Perkaranya, ada orang-orang yang memaksakan hal ini menjadi kenyataan. Saat penyelamatan dilakukan pada waktu tak tepat atau bahkan sama sekali tidak diharapkan, aksi tersebut sangat potensial membuat orang lain terganggu. Bahkan dalam beberapa konteks, hal itu bisa mengancam nyawa orang.

Pada 2009, seorang relawan pemadam kebakaran, Caleb Lacey (19), nekat membakar rumah keluarga Vanegas di Lawrence, New York. Menurut jaksa, setelah Lacey membakar rumah Vanegas, ia bergegas kembali ke pos pemadam kebakaran dan menunggu telepon dari keluarga Vanegas. Dengan begitu, ia bisa kembali ke sana untuk memadamkan api dan dipandang sebagai penyelamat dalam peristiwa tragis yang diciptakannya. Malang, kenyataan tidak sesuai skenarionya. Morena Vanegas (46) dan anak-anaknya—Saul Preza (19), Andrea Vanegas (13), dan Susanna Vanegas (9)—dilaporkan tewas dalam kebakaran yang direkayasa tersebut.

Aksi Lacey ini juga diduga didasari kecemburuannya terhadap Saul Preza. Pasalnya, laki-laki itu dikabarkan dekat dengan pacar Lacey.

infografik hero complex

Kecenderungan untuk ingin menjadi pahlawan seperti yang dialami Lacey dikenal dengan hero complex. Dalam definisi psikoanalis, Carl Jung, complex merupakan ketidaksadaran yang berkisar pada pola memori, emosi, persepsi, dan keinginan tertentu. Hal ini terbentuk dari pengalaman dan reaksi atas pengalaman individu. Lebih lanjut, complex sangat dipengaruhi ketidaksadaran kolektif yang bisa diteruskan melalui keluarga, peristiwa-peristiwa khusus, atau aneka simbol dalam budaya masyarakat.

Hero complex merupakan kondisi ketika seseorang mencari pengakuan dengan cara beraksi seperti pahlawan. Ia berusaha menciptakan keadaan di mana mereka bisa menjadi juruselamat dan mendapat pujian. Tidak jarang orang dengan hero complex melakukan hal-hal melanggar hukum demi memenuhi keinginannya. Beberapa pihak dengan profesi terkait keamanan dan nyawa manusia dilaporkan berpotensi mengalami hero complex seperti pemadam kebakaran, perawat, polisi, dan petugas keamanan.

Ada beberapa hal yang menyebabkan perkembangan hero complex. Ketidakmampuan memenuhi ekspektasi dalam lingkungan tertentu seperti keluarga, pekerjaan, atau relasi lain adalah alasan pertamanya. Paparan produk-produk budaya populer semisal dongeng atau iklan-iklan di media massa juga berkontribusi terhadap perkembangan hero complex.

Orang-orang yang mengalami hero complex senantiasa merasa dirinya tidak pernah cukup baik di mata orang lain. Demi memperoleh apresiasi atau memompa penilaian diri, mereka akan berupaya menyenangkan orang-orang sekitarnya. Kesulitan yang dialami kerabat atau kenalan si pengidap hero complex akan dianggap sebagai tantangan yang mesti dipenuhi, terlepas dari kerabat atau kenalannya tersebut menginginkan bantuannya atau tidak.

Dalam konteks relasi romantis, aksi herois tak dibutuhkan bisa jadi malah membuat hubungan tidak sehat. Misalnya, saat melihat si perempuan digoda orang lain, si laki-laki tanpa tedeng aling-aling memburu si penggoda dan melakukan aksi kekerasan terhadapnya. Kondisi lain, si laki-laki terus menerus menyuplai finansial si perempuan tanpa diminta. Alih-alih kagum terhadap reaksi si laki-laki, tindakan penyelamatan yang dilihatnya tersebut dapat menciptakan citra buruk atau bahkan trauma bagi si perempuan.

Aksi sok pahlawan semacam ini juga dapat menyiratkan misogini. Perempuan selalu dipandang sebagai pihak yang lemah dan dependen. Kenyataannya, tidak semua perempuan dan tidak dalam semua keadaan mereka ingin disokong oleh laki-laki.

Bagi pengidap hero complex, keinginan untuk terus menolong orang terdekat mendatangkan banyak mudarat untuknya. Perasaan cemas atau takut, rasa bersalah, dan depresi dapat mengekorinya sepanjang hidup. Sekali ia ditolak oleh orang yang ingin ia tolong, penilaian dirinya akan kian jatuh. Ibarat meminum air laut, kehausannya akan penerimaan dan penghargaan tidak bisa terpenuhi dengan melakukan hal-hal tak perlu kepada orang sekitar.

Baca juga artikel terkait PSIKOLOGI atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Suhendra