Menuju konten utama

Herman Warner Muntinghe, Sang Penyulut Perang Menteng di Palembang

Belanda mesti berperang selama dua tahun untuk menaklukkan Kesultanan Palembang yang dipimpin Sultan Mahmud Badaruddin II.

Ilustrasi Herman Warner Muntinghe. tirto.id/Fuadi

tirto.id - Pada awal abad ke-19, wilayah Kesultanan Palembang Darussalam menjadi rebutan Belanda dan Inggris. Untuk mengamankan wilayah tersebut, Belanda mengirimkan Herman Warner Muntinghe, seorang sarjana hukum yang menjabat sebagai komisaris pemerintah kolonial di kawasan Palembang dan sekitarnya.

Selain disibukkan oleh warga tempatan yang dianggap kerap mengacau, Belanda juga mewaspadai keberadaan Inggris yang pada tahun 1818 bercokol di Bengkulu.

Pada masa itu, Kesultanan Palembang dipimpin oleh Sultan Mahmud Badaruddin II. Wilayah kekuasaannya adalah salah satu penghasil lada. Sementara Bangka Belitung yang juga masih termasuk ke dalam kekuasaannya, merupakan daerah penghasil timah. Menurut MC Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200–2008 (2008), Sultan Badaruddin II tidak menjalin persahabatan dengan Belanda.

Ketika Inggris menyerbu Jawa pada tahun 1811, Sultan Badaruddin II menyerang garnisun Belanda di Palembang. Penyerangan yang dilakukan Kesultanan Palembang itu menewaskan 87 orang, 24 di antaranya orang Belanda totok.

Sultan Badaruddin II tak hanya membuat Belanda jengkel, tetapi juga berkali-kali membuat Inggris kesal karena tak mau tunduk. Hal tersebut membuat Inggris marah dan akhirnya menggulingkannya untuk diganti oleh Sultan Ahmad Najamuddin II, adik Sultan Badaruddin II.

Pada 1818, dua tahun setelah Belanda merebut kembali kekuasaannya dari Inggris, Muntinghe datang ke Palembang dan mengasingkan Sultan Ahmad Najamuddin II ke Betawi. Ia juga mengangkat kembali Sultan Badaruddin II sebagai Sultan Palembang.

“Meskipun dialah (Sultan Badaruddin II) yang dahulu membunuh sakalian orang [yang] mengisi benteng Belanda di Palembang, tetapi Tuan Muntinghe percaya juga akan dia,” tulis GJF Biegman dalam Hikajat Tanah Hindia (1894:98).

Sementara untuk menghadapi Inggris yang masih bercokol di Bengkulu, Muntinghe mengirimkan pasukan ekspedisinya. Biegman bahkan menulis “sekali peristiwa pada tahun 1819, Tuan Muntinghe berangkat ke udik hendak memeriksa perbuatan orang lnggris di situ.”

Ma’moen Abdullah dalam Sejarah Daerah Sumatera Selatan (1991:120) menyebut Muntinghe mengirimkan dua gelombang pasukan yang jumlahnya ratusan orang. Pertempuran antara Inggris dan Belanda yang terjadi di Muara Beliti itu berakhir damai.

Belanda Sempat Kewalahan

Setelah masalah dengan Inggris selesai, Muntinghe kembali ke Palembang dan mendapat masalah baru.

“Adapun Sultan Badaruddin menaruh khianat dalam hatinya, maka sepeninggal Toean Muntinghe (ke pedalaman), disuruhnya rakyatnya mengamuk [kepada] orang Belanda di Palembang,” tulis Biegman.

Sementara menurut Ma’moen Abdullah, Muntinghe menuduh Sultan Badaruddin II sengaja bersekongkol dengan para perusuh dan dituntut untuk bertanggungjawab atas tindakan para pengikutnya. Muntinghe pun memintanya untuk menyerahkan putra sulungnya sebagai jaminan. Tuduhan dan tuntutan tersebut membuat Sultan Badaruddin II marah, dan perang pun pecah.

Menurut Sartono Kartodirdjo dalam Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900: Dari Emporium sampai Imperium (1987:275), pada tanggal 12 Juni 1819, kapal-kapal Belanda ditembaki pasukan Kesultanan Palembang. Esoknya, pasukan Belanda melakukan serangan balik dan berusaha merebut keraton kesultanan, tetapi gagal. Muntinghe dan pasukannya dipecundangi bala tentara Sultan Mahmud Badaruddin II.

Infografik Herman Warner Muntinghe

Infografik Herman Warner Muntinghe. tirto.id/Fuadi

Dalam catatan Biegman, kekalahan Belanda itu karena pasukan mereka kalah jumlah yang mengakibatkan Muntinghe dan pasukannya mundur dari pertempuran. Kekalahan tersebut membuat Gubernur Jenderal Van der Capellen mengerahkan pasukan untuk menaklukkan Palembang.

Dua ribu pasukan Belanda yang dipimpin Laksamana Wolterback tiba pada 22 Agustus 1819. Perang jilid II antara Belanda dengan Kesultanan Palembang pun berkobar. Mula-mula, pasukan Belanda yang melintasi Sungai Musi digempur meriam dari arah Pulau Kembaro (kini bernama Pulau Kemaro) dan Plaju. Selain itu, rantai besi juga direntangkan di untuk menghambat laju kapal Belanda.

Jenderal Mayor Marcus de Kock dengan jumlah pasukan yang lebih besar harus turun tangan ke Palembang. “Kraton Sultan Palembang baru dapat diduduki oleh Belanda pada tanggal 1 Juli 1821,” tulis Ibrahim Alfian dan kawan-kawan dalam Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Sumatra Selatan (1983:52).

Belanda membutuhkan waktu sekitar dua tahun untuk mengalahkan Sultan Badaruddin II dan pasukannya. Ia kemudian dibuang ke Ternate hingga wafat pada tahun 1862. Perang tersebut kemudian diabadikan oleh orang Palembang dalam Syair Perang Menteng yang diambil dari nama Muntinghe.

Belanda kemudian menunjuk putra Sultan Ahmad Najamuddin II untuk memimpin Kesultanan Palembang yang sudah ditaklukkan. Warsa 1823, Sultan tersebut diberhentikan dan Palembang tidak lagi berbentuk monarki. Sultan yang diberhentikan ini sempat melawan sebelum akhirnya ditangkap dan diasingkan ke Manado pada 1841. Sementara Muntinghe kemudian berdinas di Jawa dan tutup usia pada 1827 di Pekalongan.

Menurut Dedi Irwanto Muhammad Santun dalam Venesia dari Timur (2011:41), sejak tahun 1821 sampai awal abad ke-20, pemerintah kolonial tidak mendirikan bangunan apapun Palembang. Namun setelah Palembang menajdi kotapraja barulah pembangunan fisik mulai dilakukan.

Pahlawan Perang Menteng, Sultan Mahmud Badaruddin II, namanya terus dikenang, di antaranya dijadikan nama bandara dan wajahnya menghiasai uang pecahan sepuluh ribu rupiah.

Baca juga artikel terkait SEJARAH KERAJAAN atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh