Menuju konten utama

Herman Herry: DPR Tak Mau Didikte Soal Pembahasan RKUHP

Penyelesaian RKUHP masih menyisakan pasal krusial seperti pasal penghinaan presiden.

Herman Herry: DPR Tak Mau Didikte Soal Pembahasan RKUHP
Sejumlah anggota DPR menghadiri Rapat Paripurna DPR di antara bangku yang tak terisi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (20/8/2019). NTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/hp.

tirto.id - Wakil Ketua Komisi III DPR, Herman Hery tak mau diburu-buru dalam menyelesaikan pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Menurutnya, pekerjaan tersebut tak bisa dipaksakan selesai dengan cepat meskipun masa kerja DPR periode 2014-2019 akan berakhir satu bulan lagi.

"Kami DPR tidak bisa dengan dipaksa, disuruh atau ditahan atau dipercepat. Kami bekerja secara profesional, biar saja bergulir," ujar politikus PDIP itu di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (28/8/2019).

Komisi III tetap menargetkan RKUHP bisa selesai dibahas DPR periode saat ini, tapi ia menyampaikan jika masih ada pasal-pasal krusial yang tak selesai di periode ini, akan dilanjutkan DPR periode berikutnya.

"Namun jika nanti belum bisa selesai karena ada [pasal] yang krusial, ya, tentu tidak kami teruskan," ucapnya.

Herman menambahkan, Komisi III tetap akan menyerahkan pembahasan ini ke seluruh anggota DPR terkait kemampuan untuk menyelesaikan undang-undang ini. Ia pun menjelaskan Panja RKUHP masih menerima masukan dari masyarakat agar undang-undang ini bisa lebih sempurna dari sebelumnya.

"Perlu diingat dalam sebuah keputusan politik, terkait UU atau apa pun, tergantung suara mayoritas dalam DPR ini, kalau mayoritas katakan selesai, ya, selesai. Tidak ada pihak yang mempercepat atau memperlambat," jelasnya.

Sementara itu, Anggota Panja RKUHP, Arsul Sani menyebutkan salah satu isu krusial yang masih dibahas adalah pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Arsul menyebut pasal tersebut sulit dihapus karena tak ada penolakan dari DPR maupun pemerintah. Untuk menyiasatinya, ia berkatam akan memperbaiki substansi dan rumusan redaksional pasal tersebut.

"Pada prinsipnya tidak ada yang menolak di internal DPR dan pemerintah. Jadi yang bisa kami lakukan adalah memperbaiki substansi dan rumusan redaksinya. Kalau substansi kami, kan, sudah bilang itu jadi delik aduan supaya tidak menabrak putusan MK," ujar Arsul di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu siang.

Pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden diatur dalam pasal 223 dan 224 draf RKUHP. Dua pasal itu mengancam orang yang menghina presiden dengan hukuman maksimal 3,5 tahun dan 4,5 tahun penjara.

Pasal krusial lain yang belum tentu pembahasannya adalah soal pasal kesusilaan. Untuk pasal ini, Arsul menyampaikan masih ada perdebatan substansi dari DPR dan elemen masyarakat sipil.

"Tapi kalau pasal-pasal terkait kontrasepsi yang diributkan, tidak ada masalahnya untuk kita mengadopsi elemen-elemen masyarakat sipil," katanya.

Baca juga artikel terkait RKUHP atau tulisan lainnya dari Bayu Septianto

tirto.id - Politik
Reporter: Bayu Septianto
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Widia Primastika & Mufti Sholih