Menuju konten utama
Seri Intelijen Revolusi

Herman Agerbeek, Intel Belanda di Front Jakarta

Herman Agerbeek pernah dinas di Aceh sebagai perwira KNIL. Ia kemudian menjadi perwira NEFIS di Jakarta pada masa Revolusi.

Herman Agerbeek, Intel Belanda di Front Jakarta
Ilustrasi pasukan APRA. tirto.id/Lugas

tirto.id - Herman Agerbeek dapat duit banyak di tahun 1927 setelah lulus ujian bahasa Aceh. Uang yang diperolehnya sebesar 1.000 gulden. Duit itu dijadikan uang muka satu unit mobil merek Ford seharga 1.900 gulden, yang dibelinya di Medan. Sisa pembayaran akan diangsurnya. Sebagai perwira dengan pangkat kapten, gajinya ratusan gulden. Tidak akan sulit hidupnya dengan cicilan itu. Mobil tersebut lalu dibawanya berdinas ke Aceh.

Aceh tak jauh dari kehidupan perwira ini. Dinas pertamanya sebagai serdadu adalah di Aceh pada 1913 hingga 1916, waktu masih berpangkat letnan. Pada 1923, dia ditempatkan lagi di tanah rencong ketika pangkatnya sudah Kapten. Tak heran, dia bisa lulus ujian bahasa Aceh dengan mudah di tahun 1927 itu.

Mobil Ford milik Agerbeek kemudian dibawa ke Blang Kajeren, tempatnya jadi komandan militer dari 1925 hingga 1928. Jadilah Agerbeek sebagai orang pertama yang memperkenalkan mobil kepada rakyat Blang Kajeren. Kala itu belum ada jalan raya ke Blang Kajeren. Mau tidak mau, anak buahnya dibikin repot. Mobil itu dibongkar dan komponen-komponennya harus ditenteng dari Lawe Aunan. Mereka melewati jalan-jalan untuk kuda, juga jembatan-jembatan yang dibangun pasukannya.

Tiba di Blang Kajeren, komponen-komponen itu dipasang kembali jadi mobil. Pastor Huybrechts tak mau ketinggalan dalam menyambut kedatangan mobil pertama di Blang Kajeran. Konon, sang pastor menuangkan sampanye di karburatornya.

Menumpas Pemberontakan Mohamad Din

Di tahun yang sama ketika Agerbeek membawa mobil ke Blang Kajeren, sempat meletus pemberontakan orang-orang komunis di Tanah Gayo. Pemimpin pemberontakan itu adalah Mohamad Din. Meski Agerbeek ikut melawan mereka, ia memuji Din. Kepada seorang kawan penerjemahnya, Agerbeek mengaku, “Mohamad Din seorang pemuda yang fanatik. Saya menghormati keberaniannya kendati saya harus memukul habis aksinya, sebab wibawa pemerintah harus ditegakkan demi keamanan dan ketertiban rakyat.”

Soal penumpasan pemberontakan itu, seperti dicatat Dutch Colonial War in Acheh (1990), “Ia [Agerbeek] memimpin pasukan Belanda dalam pertempuran menghadapi pasukan Aceh yang dipimpin Teungku Dôlah di Lhông pada 1933” (hlm. 264).

Meski beberapa bawahannya terbunuh, pasukan Belanda tetap menang. Agerbeek dan pasukannya berhasil menyita 6 karaben lawan. Waktu itu dia sudah naik jadi mayor dalam dinas ketiganya di Aceh dari 1932 hingga 1935. Sebelum dia meninggalkan Aceh sebentar—dari 29 Juni hingga 19 Juli 1935—dia jadi komandan pasukan Marsose nan legendaris dan kejam itu.

Di Aceh, Agerbeek dikenal sebagai pejabat militer yang sering bikin jalan, jembatan, dan irigasi. Itu dianggap pemujanya sebagai usaha untuk kemakmuran rakyat Aceh. Jika dihitung, 14 tahun dia dinas di Aceh—daerah yang sangat berbahaya bagi pejabat kolonial.

Agerbeek juga sangat mengenal tanah Gayo. Ia pernah membuat catatan etnografi amatir tentang daerah Gayo, tempat dirinya pernah bertugas. Catatannya meliputi bagaimana orang Gayo menikah, bahasa Gayo, dan dongeng Gayo. Itu semua berkat kedekatannya dengan orang-orang Aceh, yang kadang-kadang sering diajaknya berburu. Catatan itu dibawa ke tempat-tempat dinas selanjutnya. Namun di zaman Jepang, hasil ketekunan Agerbeek itu hilang.

Masuk Kamp Jepang

Sebelum balatentara Jepang mendarat, Agerbeek sebetulnya sudah masuk usia pensiun dengan pangkat terakhir mayor. Seorang pensiunan mayor KNIL di era kolonial bisa tinggal nyaman di rumah gedong dan dilayani para babu dan jongos. Bahkan mereka bisa punya mobil, yang kala itu dianggap barang mewah. Agerbeek harusnya bisa hidup enak di rumahnya sebelum Jepang datang di Bidaracina, Jakarta Timur. Sayang, Jepang mengamuk di Perang Pasifik. Terganggulah masa pensiunnya.

Agerbeek pun seperti pensiunan KNIL lain: kena panggil untuk ditugaskan kembali dalam militer. Berdasarkan kartu tawanannya yang terdapat di "Stamboekgegevens KNIL-militairen, met Japanse Interneringskaarten, Inventaris nr. 417—koleksi Arsip Nasional Belanda", jabatan terakhirnya setelah ditugaskan kembali adalah Kepala II Kantor Staf Divisi I dengan pangkat tetap mayor.

Istri Agerbeek kala itu adalah Eveline Christine Wener. Waktu perang, istrinya tinggal di Jalan Sumbing, Magelang. Kartu tawanan juga menyebut, Agerbeek tertangkap di Ciranjang. Dia baru bebas dari kamp tawanan yang berisi orang-orang berkebangsaan Belanda itu setelah Perang Pasifik usai.

Agerbeek terhitung "anak Jakarta". Dia lahir di Meester Cornelis (sekarang kawasan Jatinegara, Jakarta Timur) pada 3 Oktober 1889. Ayahnya bernama Johannes Hendricus Agerbeek dan ibunya Maria Sophia Johanna Benjamins. Leluhur-leluhurnya adalah abdi pemerintah kolonial yang sudah lama berdiam di Hindia Belanda.

Soal karier militernya, menurut surat kabar Nederlandsche Staatscourant (2/8/1906), H. Agerbeek diterima masuk sekolah kadet pada 1 Agustus 1906. Kala usianya masih 17. Sekitar empat atau lima tahun setelahnya, dia sudah jadi letnan junior. Sebelum akhirnya dikirim ke Aceh.

"Perwira Pintar" di NEFIS

Di masa Revolusi Indonesia berkobar dan Agerbeek sudah bebas dari kamp tawanan Jepang, dia dilibatkan lagi dalam kemiliteran Belanda. Kali ini, dia ditempatkan di Netherlands Forces Intelligence Service (NEFIS), badan intelijen Belanda yang beroperasi di Indonesia. Dia memang perwira yang pintar. Tak mengherankan, dia diminta masuk ke badan intelijen.

Robert Cribb dalam Gejolak Revolusi Di Indonesia 1945-1949: Pergulatan Antara Otonomi Dan Hegemoni (1990) menyebut, “[Agerbeek] terkenal dengan operasi-operasi intelijen yang sangat efisien” (hlm. 84).

Belakangan, dia terkait dengan bekas kapten pasukan khusus Raymond Paul Pierre Westerling yang memimpin Angkatan Perang Ratu Adil (APRA).

Infografik Seri Intelijen Revolusi Herman Agerbeek

Waktu Sultan Hamid II diadili pada 1953 atas perkara makar yang melibatkan Westerling, inspektur polisi bernama Frans Najoan menyebut seorang perwira intelijen Belanda berpangkat overste (mayor) bernama Agerbeek. Frans Najoan mengaku diperintahkan komisaris polisi bernama M. Jasin (bukan Jasin pendiri Brimob) untuk masuk ke kelompok Westerling dan memberi laporan kepada Agerbeek. Agerbeek pun dianggap terlibat. Namun, Najoan kemudian lepas kordinasi.

Dalam "Laporan Kepolisian No.Pol.278/A.R./PAM/DKN/50 tanggal 21 Februari 1950" (ANRI, Kementerian Perdana Menteri RI Yogyakarta, Nomor 129), nama Agerbeek juga disebut. Bekas perwira intel militer Belanda ini dituduh mendirikan Ratu Adil Pemuda Islam (RAPI), yang merupakan bagian dari Detasemen Irene (DI). Dia terkait milisi penjaga kebun yang berhubungan dengan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Tapi, waktu Hamid diadili, Agerbeek sudah berada di Belanda.

“[...] Overste Agerbeek meninggalkan Indonesia dengan tidak memberitahukan apa-apa kepada saya,” aku Najoan di pengadilan Sultan Hamid II, seperti dikutip dalam Proces Peristiwa Sultan Hamid II (1955: 88).

Ketika Najoan tertangkap dan dicaci maki publik gara-gara pembantaian Westerling, barangkali Agerbeek sudah hidup nyaman sebagai pensiunan letnan kolonel KNIL di Belanda. Di negeri kincir angin itu, di kota 's-Gravenhage, Agerbeek tutup usia pada 2 Februari 1974.

==========

Sepanjang Oktober-November, Tirto menayangkan edisi khusus bertajuk "Seri Intelijen Revolusi". Serial ini hadir setiap Jumat.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan