Menuju konten utama

Herbal & Obat Tradisional Berlandaskan Agama Selalu Menyehatkan?

Beragam gaya hidup sehat termasuk yang mengusung konsep keagamaan dan naturalis, sah-sah saja dijalankan, asal ada dasar ilmiahnya.

Ilustrasi obat herbal. FOTO/iStock

tirto.id - Promosi beragam herbal kesehatan seolah tak henti meramaikan lini masa media sosial. Dari kurma, madu, buah zuriat, sari lemon, hingga jus-jus buah detoks. Hal ini seakan-akan jadi anomali: ketika ilmu pengetahuan semakin maju dan teknologi semakin canggih, mengapa obat herbal tradisional malah kian marak?

Belakangan tengah populer akun-akun kesehatan yang mempromosikan kiat hidup sehat ala nabi dan kepercayaan tertentu. Beberapa di antaranya dikelola oleh dokter yang mengklaim pro-herbal dan mengampanyekan jalan menuju sehat berdasar ajaran kitab dan sunah Rasul. Unggahan akun tersebut rata-rata berisikan amalan atau resep jejamuan.

“Hanya bermodalkan daun serai kita bisa menyehatkan tubuh.”

“Saya minum habbatsauda baru satu bulan sudah garis dua (hamil).”

Kurang lebih begitulah kalimat yang ada dalam unggahan mereka. Tak jarang akun-akun kesehatan ini mengunggah ulang percakapan dengan para pengikut atau pasien mereka yang berisi testimoni keberhasilan terapi. Tapi apakah klaim-klaim tersebut bisa dipercaya dan nyata kebenarannya?

Dewi, 28 tahun, adalah salah satu pengikut akun kesehatan semacam itu. Sudah setahun ia rajin mempraktikkan berbagai macam ramuan herbal untuk meningkatkan kebugaran. Resep andalannya adalah berbagai macam infused water, kurma, makanan sayur dan buah, dan minyak kelapa murni (VCO) yang diminum tanpa olahan.

“Kalau lihat komentar orang yang berhasil program hamilnya lewat itu (resep herbal) jadi semangat banget,” ungkap Dewi. Saat ini ia memang sedang memperbaiki pola makan untuk mempersiapkan masa kehamilan.

Pertama kali Dewi mengenal akun salah satu dokter pro-herbal dari seorang teman yang mengunggah resep herbal di Instagram. Kini gantian dia yang lebih sering melakukan aktivitas tersebut dan memengaruhi pengikutnya dengan kalimat semacam: “Bekal detoks hari ini terdiri dari campuran...”

Dewi mengaku menjalankan cara makan ala Rasul dengan jadwal konsumsi madu, tiga butir kurma, dan buah di pagi hari. Setengah jam sebelum makan siang ia meminum VCO. Dewi juga menghindari tepung serta gula berlebih. Kebiasaan itu ia akui membikin penyakit lambungnya jarang kambuh, padahal biasanya bisa kumat hingga tiga kali dalam seminggu.

“Sampai gue catetin semua ramuan promil, detox rahim lah, detox reproduksi lah dari si dokter pola makan sehat. Nyesel kenapa baru dilakuin.”

Sekarang jika merasakan gejala penyakit ringan seperti sakit kepala, batuk, atau mual, Dewi biasa hanya meminum rebusan jahe sebagai obat. Bila gejalanya tak kunjung sembuh hingga dua minggu lamanya, barulah ia berkonsultasi ke dokter.

Perkembangan Herbal

Sebagai seorang muslim, pola makan yang dijalani Dewi membikin tubuhnya semakin bugar. Semboyan “Hidup sehat untuk Allah” dari sang dokter panutan selalu ia pegang. Motivasi berbalut narasi keagamaan ternyata juga dipopulerkan umat kristiani dengan melakukan diet Mediterranean atau diet Daniel.

Diet Mediterranean mengajak orang untuk menjauhi konsumsi daging merah dan memperbanyak sayur serta buah-buahan. Sementara diet Daniel menganjurkan konsumsi rutin makanan berbasis tumbuhan dan minum banyak air. Prinsip semua gaya hidup sehat itu sebenarnya sama: memotivasi makan sehat dan beralih ke olahan yang lebih natural.

Kecenderungan menjaga kesehatan dengan gaya hidup natural pernah dan tengah populer meski sebagian orang berpendapat praktik tersebut usang. Tirto pernah menulis tentang sejarah obat-obatan herbal nusantara. Setidaknya sampai akhir abad ke-19, para dokter Eropa sangat tertarik pada praktik pengobatan herbal penduduk pribumi.

Antusiasme mereka terhadap tumbuhan berkhasiat di Hindia Belanda baru berkurang sejak awal abad ke-20 karena dua alasan. Pertama, munculnya paradigma bakteriologi, yakni kerangka berpikir ilmu kedokteran yang meyakini kemunculan penyakit disebabkan patogen spesifik. Praktik terapeutik pun lebih banyak difokuskan untuk mencari patogen tersebut di laboratorium ketimbang alam.

Kedua, dalam kerangka kolonialisme, munculnya paradigma itu juga merupakan wujud dominasi sains yang dibawa orang-orang Eropa. Suatu penyakit akhirnya bisa didefinisikan secara lebih spesifik, dan pengobatannya dapat dilakukan dengan jelas. Tapi era kejayaan pengobatan herbal belum berakhir.

Herbal malah kembali dilirik oleh masyarakat dan ilmu kesehatan modern. Amerika Serikat sebagai negara yang maju sains dan teknologi kesehatannya dapat menghabiskan USD 591 juta untuk menjajal pengobatan herbal (2000). Jumlah orang yang menggunakan terapi komplementer, termasuk obat herbal, pijat, vitamin, dan homeopati di AS juga melonjak sembilan persen selama tujuh tahun (1990-1997).

“Terdapat 75 dari 117 sekolah kedokteran Amerika menawarkan kursus pengobatan alternatif,” ungkap NIH's National Center for Complementary and Alternative Medicine (NCCAM), ditulis ulang oleh WebMD (2001).

Yang Alami Lebih Unggul?

Banyak orang percaya hal-hal yang berbau alam atau herbal lebih sehat ketimbang sintetis. Mereka menganggap terapi atau obat-obatan herbal tidak bersifat kimiawi; minim, atau bahkan tanpa, efek samping; serta lebih manjur dibanding obat kimia.

National Center for Complementary and Integrative Health (NCCIH) mengungkapkan preferensi tersebut muncul dengan melibatkan serangkaian ide, termasuk keyakinan bahwa alam itu murni dan lebih unggul daripada produk buatan manusia. Kepercayaan ini yang kemudian memengaruhi keputusan kesehatan menjadi bias terhadap produk herbal.

Padahal tidak semua produk herbal terbukti efektif. Malah setelah diteliti beberapa herbal menunjukkan nihil manfaat. Seperti Echinacea yang tidak bisa melawan flu, Ginkgo faktanya tidak membantu mencegah atau memperlambat demensia, St John Wort juga tidak menyembuhkan depresi berat.

Bahkan beberapa yang lain punya efek samping serius. Contohnya tanaman kava dari pulau Pasifik Selatan yang dipercaya bisa meredakan cemas ternyata punya efek samping merusak liver. Lalu Ephedra, tanaman sejenis semak dari Asia Tengah dan Mongolia dengan khasiat mengatasi pilek dan demam dikaitkan dengan masalah jantung serta risiko kematian.

Infografik Herbal Tak Selalu Bikin Sehat

Infografik Herbal Tak Selalu Bikin Sehat. tirto.id/Quita

Pada 2004 The Food and Drug Administration (FDA) juga sudah melarang penjualan suplemen makanan yang mengandung alkaloid efedrin (alkaloid turunan dari Ephedra) untuk alasan keamanan. Selama ini kata “kimia” memang diidentikan dengan racun, sintetis, dan harus dihindari, sehingga masyarakat seolah anti dengan hal-hal berbau kimiawi.

Padahal bahan herbal—bahkan udara dan manusia sendiri pun—tersusun dari senyawa kimia. Alam juga punya bahan kimia beracun layaknya merkuri, racun ular, arsenik, dan risin dari biji jarak. Beberapa bahan kimia alam seperti zat besi dan oksigen yang diperlukan untuk hidup pada dosis tinggi pun bisa beracun bahkan menyebabkan kematian.

“Obat herbal juga punya dosis dan batasan,” kata Michael Cirigliano, spesialis penyakit dalam dan asisten profesor di Fakultas Kedokteran Universitas Pennsylvania, dilansir dari WebMD. Cirigliano termasuk dokter yang mempelajari dan memberikan kuliah ilmu kesehatan herbal.

Sebab itulah, maka sangat mungkin obat-obatan herbal juga memiliki reaksi efek samping. Terlebih jika digunakan berbarengan dengan dengan obat sintetis atau herbal lainnya. Cirigliano menyarankan, pemakaian herbal sebaiknya didahului konsultasi dengan tenaga kesehatan profesional. Bukan asal konsumsi seperti yang selama ini lazim dilakukan masyarakat, apalagi berdasarkan testimoni dari media sosial.

Baca juga artikel terkait OBAT HERBAL atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Eddward S Kennedy